Jakarta, Desember 2004
Setelah rangkaian kisah dari Reza pekan kemarin, kami dihadapi dengan ujian akhir semester satu yang agak sulit dijalani. Memang secara kasat mata, Mama sudah benar-benar berubah. Namun, aku curiga dengan gelagat Mama yang sering berada di teras dan memegang ponsel.
Apakah ia bertemu lagi dengan lelaki itu?
Jujur saja, itu sangat membuatku terganggu. Beruntung segalanya bisa diredam dengan ajakan Reza untuk belajar bersama pada pekan ujian. Meskipun aku harus berdamai dengan Trisna dan Tita yang secara ajaib juga ikut serta.
Kami menghabiskan waktu di kafe dekat rumah setiap pulang sekolah. Kadang aku meminta kepada Reza untuk tetap berada di kafe hingga tutup agar tidak bertemu Mama atau Papa.
Beruntung, lelaki itu terus menyanggupi keinginanku.
Ia selalu mengantarkanku hingga ke depan rumah saat kafe sudah tutup ketika jam menunjukkan pukul sepuluh. Ia tampak begitu berhati-hati dengan Mama, sepertinya Reza tidak ingin mencampuri lagi urusanku. Namun, itu justru membuatku tidak nyaman.
Mama juga tampak menghindari Reza.
Aku masih belum memahami, apakah Reza memang mengancam Mama untuk melakukan ini karena rahasia yang dipegang lelaki itu? Sejujurnya, aku tidak peduli lagi kalaupun Mama lebih memilih lelaki itu. Karena aku yakin ada alasan kuat mengapa Mama sampai gelap mata.
“Ma,” panggilku ketika selesai mandi. “Emang bener, Mama pernah jalan sama cowok laen?”
Mama tampak terhentak hebat. Ia bahkan membuat wajahnya agar aku tidak bisa melihat ekspresinya saat ini. Namun, aku mendapati tangannya gemetar saat pertanyaan itu terlontar.
Ia menghela napas beberapa kali dan mengangguk pelan.
“Kenapa, Ma? Kenapa Mama juga harus ngelakuin itu?”
Ia masih tertunduk. Tangannya terasa begitu dingin bersama dengan genggaman yang terasa kaku, menarikku perlahan untuk duduk di ruang tengah. Ia menatap langit-langit ruangan sambil menghela napas beberapa kali.
“Reza udah cerita?” tanya Mama pelan.
Aku mengangguk.
“Berarti Mama udah gak perlu lagi sembunyiin itu di depan kamu, Nab. Mama akui, Mama salah juga tentang ini. Tapi, dia juga tiba-tiba hadir dengan segala keindahan yang gak pernah Mama dapetin dari Papa.
“Mungkin, sekarang kamu mikir, keluarga ini udah ancur. Ya emang itu kenyataannya dari awal, Nab. Papa kamu udah selingkuh sejak kamu kecil. Papa kamu marah besar saat tahu Mama hamil kamu. Katanya, Mama gak becus itung masa subur.
“Selama ini, Papa selalu andelin uang Mama buat jalanin rumah tangga. Pas Mama lahiran kamu, tentu aja Papa yang harus kerja. Boro-boro kerja, yang ada Papa terus marah-marah, minta harta bagian keluarga dari Nenek kamu buat hidup.
“Pas Mama nolak, Papa langsung pergi. Dia lebih milih sama cewek laen dan tinggalin Mama. Sampe beberapa tahun lalu, Mama gak sengaja kenal cowok ini. Dia masih muda, sayangnya udah kawin.
Aku mengangguk, mungkin alasan Mama tidak melanjutkan hubungan ini karena mengetahui bahwa lelaki itu sudah menikah. Namun, aku juga tidak sama sekali membenarkan tindakan tidak setia Mama.
“Lah, emang pas ketemu gak pernah tahu?”
Ia menggeleng pelan. “Sejak awal, Mama cuma tahu kalo masih ada laki-laki sebaik itu. Dia gak pernah ambil kesempatan, selalu kasih yang terbaik, dan yang pasti gak egois.
“Dia emang gak sehangat atau romantis cowok-cowok yang pernah jadi mantan Mama. Tapi, dia selalu bisa tahu gimana memperlakukan perempuan dengan baik.”
Apakah itu kakaknya Reza?
Karena Mama seolah-olah mendeskripsikan seseorang seperti Reza, hanya saja lelaki itu sudah menikah. Akan tetapi, aku tidak pernah tahu bahwa Reza memiliki saudara laki-laki. Setidaknya Tita pernah bercerita, Reza hanya memiliki adik perempuan.