Jakarta & Bali, Desember 2004
Hari yang ditunggu tiba. Meskipun Mama masih belum memberikan restu, aku sudah mempersiapkan segalanya. Benar saja dugaanku, sebuah sedan hitam besutan Bavaria kembali terparkir di depan.
Mama juga tampak menunggu sedari tadi, karena ia langsung keluar rumah dengan pakaian seadanya. Sesungguhnya, aku tidak nyaman melihat Mama hanya mengenakan pakaian itu, tetapi Reza tetaplah Reza.
Sedikit banyak aku mendengar ada hentakan suara dari ruang tamu. Sepertinya, Mama terlihat marah kepada Reza. Aku tidak bisa berbuat banyak, hanya duduk di ujung ranjang sambil berharap segalanya akan baik-baik saja.
Satu koper sedang dan tas punggung sudah kusiapkan. Aku harus bersiap dengan baik atau buruknya keputusan yang diambil Mama. Tidak perlu restu dari Papa, karena ia sudah mengirimkanku pesan singkat kemarin.
Papa menyetujui ini, meskipun aku tidak membutuhkannya.
Tiba-tiba suara pintu terbuka, Reza menatapku dengan sorot yang tidak biasa. “Nab, gue mohon sekali ini mau gak nurutin gue.”
“Ma-maksud lo, Za?”
Ia menghela napas sambil menatap ke arah tangga. “Please, sebelum gue jemput lo ke kamar, jangan ngintip ke bawah. Ada hal yang harus gue lakuin sama Tante Mirna.”
“Kenapa gue gak boleh tahu?”
Reza menggeleng. “Gue takut kelepasan kayak kemaren.”
Aku sedikit merinding mendengar ucapan Reza. Namun, sebelum kengerian itu sempat terlintas, Mama sudah berdiri di belakang Reza. Napasnya begitu terburu bersama amarah yang terlihat dari sorotnya.
“Mama izinin kamu jalan, asalkan Mama juga ikut.”
Reza menghela napas dan tersenyum lega. Tampaknya memang jawaban itu yang diinginkan Reza saat ini. Sekali lagi, entah sihir apa yang dimiliki Reza sehingga bisa membuat Mama takluk dengan mudah.
Di ruang tengah, aku menunggu Mama bersiap. Kami berjalan menuju ke rumahnya Reza untuk ternyata juga mendapati bahwa ada Tante Santi berada di sana bersama Tita. Reza juga mengajak Alila serta, tentunya ada Alexandra di sana.
Alih-alih menggunakan transportasi darat, Ayahnya Reza mengajak kami semua menaiki pesawat komersil ke Bali. Jujur saja, ini adalah kali pertama aku bepergian dengan moda transportasi udara milik negara ini.
Kedua orang tua Reza duduk di baris depan, kata mereka kelas bisnis. Sementara aku, Alexandra, Alila, Tita, Mama, Tante Santi, dan Reza duduk di kelas ekonomi. Kami berenam duduk dalam satu deret, sementara Reza memilih menyendiri di dekat pintu darurat; tepat di sisi sayap pesawat.
Perjalanan terasa menegangkan, karena selain daya tarik pesawat ini begitu luar biasa ketika lepas landas, suara bising dari mesin di sayapnya juga begitu mengganggu. Namun, Alexandra tampak begitu tenang. Ia malah memperhatikan mesin bising yang terlihat bagian depannya itu.
Ia bergumam sendiri, sesekali mencoba untuk mengalihkan pandangan ke arah Reza. Kebetulan Alexandra duduk di jendela, Tita di tengah, sementara aku di koridor. Reza duduk tepat di belakang Alexandra. Gadis itu masih saja terus berusaha untuk mencari perhatian Reza. Beruntungnya, Reza selalu menyambut itu dengan hangat.
Sementara, aku tidak pernah bisa mendapatkan itu dari Reza. Entah mengapa, ia selalu saja memasang wajah dingin yang tidak beralasan. Padahal, aku sudah berusaha sekeras mungkin agar menjadi seperti apa yang ia inginkan.
Aku akhirnya tidak ingin tahu apa pun. Lebih baik aku berusaha tenang dengan memejamkan mata untuk sedikit menenangkan pikiran yang sedari tadi berkelana.
Rasa belum lama kami mengudara, tetapi pengumuman bahwa pesawat akan mendarat terdengar di sela-sela bisingnya mesin wahana ini. Alexandra masih saja mencari kesempatan kepada Reza. Mereka mengobrol banyak hal, teknis terkait pesawat.
Aku bahkan tidak tahu, gadis itu memiliki ketertarikan dengan hal-hal seperti ini. Bahkan mereka bermain tebak-tebakan, arah mana pesawat akan mendarat.