"Kamu jelas sengaja ngelempar bola itu tepat kearah aku kemarin, aku liat itu" tuduhku terhadap partner jalanku
Pagi ini kami menuju kekelas dengan tangan penuh buku pinjaman dari perpustakaan untuk pelajaran pak Galuh guru B.Indo kami nanti.
"Bisa gak kalo ngomong itu sopan dikit, cewek kok galak banget, dah dibilang gak sengaja, paham" sahutnya protes
"Gak mungkin, itu bola tepat banget ngarah ke muka aku, km main voli apa main raket memangnya?" argumen ku tak mau kalah
"Yaelah kalo pun itu sengaja, harusnya kamu makasih, gara gara itu kan km jadi baikan ma Andre" mencoba memperbaiki letak buku dikedua tangannya.
"Hidung aku hampir patah, Yooooo !!!" teriak aku di koridor sekolah kelas XI
"Shutttt...Ea...km gila ya, ini sekolah bukan sirkus, dikira aku ngapa ngapain km lagi" baliknya, melihatku yang berhenti menatapnya geram.
"Bruggh....!!!" Seseorang menabrakku dari belakang.
Buku yang berada dikedua tangan jatuh berhamburan, aku diam membatu melihat buku itu berserakan dibawah.
"Ini kenapa lagi sih, pagi ini gini amat perasaan, dah andrea gak ada (wakil ketua kelas, jadi rada sibuk) jadi ngambil buku sama anak barbar satu ini, kemarin bola voli sekarang orang" batinku memegang kepalaku.
Tyo menatap, hanya menatap aku yang terdiam,
"Maaf" suara anak di belakang telingaku. Hendak mengambil buku yang terjatuh
" Jangan diambil !!" Perintah tyo terhadapku (jelas aku kaget).
"Biar dia yang ngambil !!" Tatapnya tajam kepada anak itu.
"Ah...dia mulai lagi, sekarang kelas berapa yang mau dia ajak duel" batinku melanjutkan rutinitasku yang tersela tadi.
"Aku dah bilng minta maaf" balas anak itu menatap Tyo dingin.
"Minta maaf itu harus ada tindakannya" tyo menimpali, balas menatap tajam anak itu.
"Dia berdiri ditengah jalan"
"Itu karena kami lagi ngobrol"
"Yang satu suka cari masalah dan yang satu lagi meladeni, cocok lah kalian berdua" batinku sembari menyusun buku buku di lantai.
"Owh..yang kudengar cuma suara teriakan tuh" jawab anak itu sinis
Tyo gak bisa digituin, aku tau sebentar lagi dia bisa mengamuk dan menghajar anak ini.
"Seriusan anak ini" senyumnya sinis berjalan mendatangi kami, siap siap mengepalkan tinjunya ke anak kurang ajar yang berani melawan dia itu.
"Kalau kalian berantem disini, anak lainnya bisa salah paham lho kalo kalian lagi ngerebutin aku" ucapku spontan masih menumpuk buku terakhir dan mereka hening.
"Haaahh....Kamu gila ya Ea???" perhatiannya teralihkan dengan memandangku jijik dengan kata kata ku barusan, sukses membuat Tyo melupakan apa yang akan dia lakukan tadi.
"Kalo gitu bantu aku, Yo. Taruh buku ini ditangan aku, buruan pak Hamdan keburu masuk ntar" perintahku.
Tyo menurut kali ini, sembari menatap anak itu dengan tatapan "selamat kamu hari ini ya" dia menaruh buku ditanganku dan aku menyeretnya menuju kelas kami, meninggalkan rombongan anak itu.
"Yak... awal pagi yang cerah, kurindu kursiku" batinku menjauhi masalah.
"Bukannya anak itu Rhea anak kelas XII IPA 1 ya? sesuai gosipnya ternyata" tanya teman anak itu sambil tertawa ringan
"Ampun dah teman cowoknya itu emosian banget" jawab wanita disebelahnya ketus
Sedangkan pria pelaku utama tabrakan itu hanya melihat dan menggumamkan sesuatu "Em..Rhea"
*******
"Ahhh nyamannya" pikirku sambil menikmati angin sepai sepoi di sela pelajaran b.indo.
Anak barbar ini bernama Arityo. Perawakan tinggi 170 cm (mungkin), badan atletis, kulit putih (daripada putih bersih dia keliatan putih pucat kayak mayat) dan rambut berwarna kecoklatan (aku tahu dia pasti mewarnainya).
Singkatnya, dia berandalan kelas dengan tampang dan badan yang mumpuni, acak acakkan tidak rapih dengan kata kata yang kasar cendrung provokatif.
Gak seperti Andrea yang masuk ke XII IPA 1 di tahun kedua. aku dan si barbar itu masuk dari kelas X kami.
Dulu kami gak akrab akrab amat, setegoran aja enggak, tapi karena teman sebangkuku anak yang pinter bergaul jadi kami mulai mengenal di kelas XI (bisa dibilang Tyo ini sahabat Andrea).
Soal keluarga, aku dan tyo gak ada beda dari segi ekonomi. Dia anak pertama dari dua bersaudara, ku gak tau soal saudaranya, tapi yang aku tau ibu nya seorang guru sekolah menengah pertama dan ayahnya, dia gag pernah cerita ataupun ada desas desus tentang ayahnya itu (yah kalo orang itu masih mau hidup dengan baik, memang diam lebih baik).
Bel berbunyi dua kali menandai berakhirnya pelajaran kami, anak anak mulai berlari berhamburan keluar kelas.
" aku mau dikelas aja" pikirku sambil memejamkan mata bersender pada jendela yang terbuka, menikmati angin lembut yang membelai rambutku yang terkuncir kuda. Terdengar suara teriakan histeris anak perempuan melihat permainan bola basket siswa di lapangan pas di samping kelasku.
"Ea, gak kekantin ??" Tanya anak dengan suara serak bass yang familiar (toh satu satunya orang di kelas ini yang manggil aku "Ea" ya cuma anak itu).
"Enyah lah anak barbar" batinku masih dalam posisi yang sama.
"Ea...!!!Woyyy....Eaa.....!!! dengerin aku ngomong gak !!! Teriaknya.
"Memang ini anak gag bisa dikacangin" batinku lagi