Richard

yuyun septisita
Chapter #3

Berkhayal #3

Aku merasa berjalan menyusuri kebun bunga yang indah. Sinar matahari menembus sela- sela pepohonan yang teduh di sekelilingku.

Mengenakan mahkota melati disertai buket mawar putih di genggamanku, semua orang melihatku dengan tatapan takjub.

Sebagian menatapku dengan wajah yang sinis, para wanita tentunya. Kemudian teman - teman kerjaku melempari tubuh indah ini dengan kelopak bunga-bunga sembari tersenyum bahagia.

Dalam benak, sempat kubertanya dalam hati langkah ini sedang menuju ke mana sebenarnya. Aku berjalan dengan gaun indah serta riasan berat bagaikan sedang memakai topeng.

Lalu seorang pria tiba-tiba saja muncul di antara para tetamu kemudian menyambut di hadapanku.

Ya Tuhan, kenapa Pak Richard ada di situ.

Dia menyambut tanganku sambil tersenyum hangat sekali.

"Mas, kita mau kemana?" Bisikku, kok aku jadi manggilnya 'Mas' sih !

Pak Richard hanya diam dengan mata tajam menghujam di relung hatiku. Lalu dia menyelipkan tanganku di antara lengan dan tubuhnya.

Ah bukan, menjepit tanganku di ketiak lebih tepatnya, sambil menatapku seraya tersenyum tak adil.

Tentu saja tak adil, jika hanya dia yang merasakan alasan untuk bisa bahagia sedangkan aku tidak.

"Kamu sudah siap untuk hari besar ini, bukan?" Suaranya yang macho banget itu, bertanya dengan nada mesra.

Sudah siap untuk hari besar? Tentu saja. Meskipun otak ini mendadak kosong tak ada isinya sama sekali bagai terhisap black hole.

"Sudah ada penghulu, lagi nungguin kita, Intan. Kamu bahagia menikah denganku?" sambungnya lagi sambil menyentuh hidungku.

Seharusnya Pak Richard tak perlu bertanya lagi karena semua jawaban menyangkut rasaku untuknya, semuanya 'iya'.

Bahkan jika dia minta aku untuk salto, akan kulakukan detik ini juga.

Engh ... jangan salto deh, nggak elegant banget.

Menyanyi atau baca puisi lebih manusiawi sepertinya, kalau salto, terlalu sirkus. Aku tersenyum bahagia sekali, sambil glendotan manja mirip orang habis terkilir kakinya.

Aku malah beberapa kali mengusap-usap wajah di bahunya. Apaan banget sih ini, please kemesraan ini janganlah cepat berlalu.

Tolong Tuhan, jangan sampai ini semua hanya mimpi.

Aku tak rela, tak tak tak ...

"Tan, Intan !" Suara yang sama seperti pria di mimpiku, dengan nada lebih nge- bass seolah membuyarkan akad nikah yang sudah di depan mata.

Bisa kurasakan bagaimana penghulu dan tetamu kecewa saat akad itu batal. Karena cuma mimpi.

Astaga.

Kubuka mataku dan mendapati Pak Richard berdiri mematung menyodorkan tissu basah, "lap dulu liurnya, nyenyak banget kayak tidur di hotel," ujarnya mengolok.

Aku cengar-cengir, sambil menyeka seluruh wajah dengan tissu pemberiannya. Kulihat jam di ponsel sudah setengah tujuh malam, ya ampun ternyata dua jam lamanya aku tunggu Pak Richard di luar.

Sampai senja loh, untung aku mimpi indah, nggak kesurupan atau diculik Alien.

"Ayo kita pulang, Tan, sudah sadar kan?"

"Sudah, Pak. Sadar banget ini malah," jawabku sambil menggerutu, mengingat tak jadi menikah padahal seandainya dia mau menunggu lima menit lagi, niscaya aku sudah jadi istrinya.

Dalam mimpi.

"Nih minum dulu, tadi kamu dibuatin juss buah malah disemutin, ya sudah dibawa ke dalam lagi sama pembantunya Tony," kata Pak Richard.

Disodorkan sebotol air mineral bekasnya. Eh bukan, baru kok.

Waktu dibuka tutupnya masih bunyi 'krek' dan segera kuteguk hingga hampir setengah. Antara haus dan lelah karena tak jadi menikah.

"Kita balik yuk." Pak Richard membawa lagi pulang segambreng barang-barang bawaannya dan seperti sebelumnya, dia tidak mau dibantu.

Lihat selengkapnya