Aku dan Pak Gideon serta juru mudi panik bukan kepalang. Bagaimana tidak jika speed yang kami tumpangi melaju tidak terkendali semakin jauh dari dermaga.
Dari kejauhan kulihat Pak Richard melambai-lambaikan tangannya. Aku berada di antara kesal sekaligus senang kalau begini.
Lalu kuingat tadi dia menyebut handphone.
"Tan, gawat-gawat. Kamu bisa berenang toh?" ujar Pak Gideon terengah-engah.
Wajahnya penuh keringat dan sedikit gelap. "Kenapa memangnya, Pak?"
"Ini sepertinya kita baru bisa berhenti kalau BBM nya habis kayaknya. Kecuali ...."
"Kecuali?"
"Kita menabrakkan diri kayak di film, terus kapalnya jumpalitan meledak terbakar." Pak Gideon sungguh berapi-api mengatakan skenario anehnya itu.
Dia seperti hilang akal, enteng sekali mengatakan hal yang paling menakutkan seperti itu.
Dia kira enak apa terbakar hidup-hidup. "Ap-pa? Nggak, Pak. Aku pilih berenang-renang ke tepian, jangan nabrakkan diri. Nanti tubuh kita hancur berkeping-keping, Pak." Aku hampir saja menangis sambil memeriksa ponselku dan ternyata banyak sekali panggilan tak terjawab.
Jangan-jangan ini dari orang kantor, tapi tidak ada nama yang tertera di layar. Siapapun yang menelpon, ini waktu yang tidak tepat karena nyawaku sedang dipermainkan oleh kedua laki-laki tak bertanggung jawab ini.
Dalam keadaan terguncang hebat dan putus asa, aku menelfon kembali ke nomer itu. Padahal sebenarnya aku tak terlalu konsentrasi karena kondisi ketakutan tak karuan begini.
"Hallo Intan, Tan. Kamu nggak apa- apa?" Serius nih suara pak Richard.
Aku terkejut ingin tertawa bahagia tapi rasanya bertolak belakang dengan kekhawatiran dalam kepalaku.
Sumpah, suaranya aku rasa lebih lembut ketimbang aslinya. Besar, dalam dan macho sekali pokoknya.
"Pak, Bapak di mana?"
"Tan, kamu tenang ya. Saya nggak akan ninggalin kamu kok."
Perfect.
Nice Pak.
Jangan pernah meninggalkan saya seorang diri mengapung dan hampir terbakar bersama dua manusia aneh dan menyebalkan ini.
Rasanya dadaku langsung mirip langit yang mau hujan, banyak guntur bersahut-sahutan di sana.
Pak Richard hanya bertanya begitu namun rasanya dia sedang mengajakku berpacaran. Bahagia banget ya ampun.
"Pak, saya takut. Pak Gideon meminta saya berenang atau speed nya akan menabrak ke dermaga sampai meledak," ucapku sangat panik sekaligus mencari perhatian. Supaya terlihat lemah dan butuh perlindungan.
"Tidak usah terlalu kamu fikirkan, Intan. Ini pasti bukan yang pertama mereka alami. Orang-orang ini sudah bertahun-tahun bekerja di bidang jasa transportasi begini, pasti ada solusinya." Aku sedikit tenang, bukan hanya karena kata-kata Pak Richard. Tetapi dari nada bicaranya aku tahu bahwa Si dia mencemaskan keadaanku yang terlunta-lunta di tengah laut dengan dua manusia nggak jelas ini.
Kapal speed yang kami tumpangi berlalu-lalang berputar-putar tak tentu arah, sampai akhirnya mesin tersendat karena bahan bakarnya habis dan mati tak jauh dari dermaga.
Di kejauhan Pak Richard nampak bicara dengan beberapa orang di dermaga. Untung saja kemudian akhirnya speed yang kami tumpangi berhasil berhenti juga karena kehabisan bahan bakar.
Pak Richard yang tadinya berteduh di loket penjualan karcis, buru-buru turun ke tepian dermaga. Tangannya melambai-lambai sambil mengulas senyum, baju Pak Richard nampak basah oleh keringat.
Kubayangkan saja aroma pangkal lengan itu pasti sangat maskulin setelah terbakar matahari sangat terik seperti ini.
Kenapa jadi mikirin aroma pangkal lengan sih ini.
Ya ampun. Aku tersipu malu dengan segala angan-angan konyol ini. Bagaimana jika setibanya di daratan, Pak Richard menyambutku dengan pelukan hangat nan erat seakan takut berpisah.
"Apa tadi kubilang, Tan. Nggak usah panik begitu dong. Biasa sajalah, santai." Pak Gideon mulai mengoceh tak karuan.
Padahal tadi dia yang membuat keadaan tambah panik dengan segala skenario-skenario bodohnya itu. "Nggak tahu, ah. Tadi siapa yang bilang supaya orang berenang sama ide mau nabrakin kapal sampai meledak coba!" sungutku mendengar perkataannya.
"Kan siapa tahu kapalnya mau tenggelam gitu loh, Tan. Haduh lama banget ini kapal yang jemput, sudah pengen ke toilet saya."
Aku abaikan saja pak Gideon karena masih kesal dengan semua tingkahnya tadi.
Tapi nggak apa-apa juga sih, semua pasti ada hikmahnya. Salah satu hikmah yang kurasakan adalah Pak Richard ternyata sangat baik.
Kapal penyelamat speed kami akhirnya tiba merapat, mengikatkan tali tambang menarik kami ke tepian. Pak Richard buru-buru menyambut kami dengan wajah merah mirip kepiting rebus karena kepanasan, mengulurkan tangannya agar dapat kujadikan pegangan.