Beberapa waktu berselang, aku mendapatkan suatu kabar bahagia sekaligus mengejutkan, yang membuatku harus angkat kaki dari perusahaan itu.
Ini sebenarnya bukan alasan emosional yang kuambil di saat kebetulan ada penerimanaan besar-besaran pegawai pemerintahan beberapa bulan lalu dan aku memutuskan untuk mencoba peruntungan menjadi aparatur sipil negara.
Kabar baiknya adalah namaku masuk dalam daftar yang diterima.
Diumumkan di media cetak dan elektronik siapa-siapa yang lolos tes saat itu.
Tentu saja itu bagaikan mimpi yang jadi kenyataan menggembirakan bagi kedua orang tuaku. Mereka sangat berharap, aku bekerja di pemerintahan seperti Ayah.
Lagi pula, aku sedang berusaha mengubur dalam-dalam perasaan untuk Pak Richard.
Berada di antara sadar diri dan juga mengakhiri mimpi bodoh selama ini. Semua harus aku akhiri sebelum hati ini lebih terluka lagi.
Hari itu terakhir kali aku bekerja di kantor sebelum menjalani prajabatan, sehigga tentu saja aku harus berpamitan dengan Pak Reymon, rekan kerja dan juga Pak Richard sendiri yang ternyata juga akan berangkat melanjutkan sekolah S3 ke luar negeri dalam beberapa hari.
Beberapa orang yang terbiasa bergaul denganku, seperti Mbak Mawar, Nina dan rekan satu departemen tentu merasa berat untuk saling melepaskan, apalagi Pak Gideon. Yang sering sekali terlibat adu mulut denganku dalam kegiatan sehari-hari.
aku selalu saja menjadi objek yang tak bisa menghindar malah cenderung pasrah tiap kali dijadikan sasaran.
"Wah kantor kita akan sepi kalau kamu nggak ada, Tan." Mbak Mawar paling terlihat terpukul ketika aku memeluk tubuhnya.
Dia sudah seperti sesepuh di ruang administrasi, yang selalu ringan tangan membantu siapapun yang butuh nasehat-nasehatnya.
"Kalau mau ramai ya triak-triak aja, Mbak." Aku berusaha terus melempar guyonan-guyonan seperti biasa agar tidak terlalu drama dengan nada cuek, sambil membuat daftar pekerjaan harianku yang akan segera kuserah terimakan pada anak baru bernama Susi.
"Ya nggak gitu juga sih, Tan. Kalau ada kamu kan ada yang jadi hiburan."
"Loh apakah aku mirip wanita penghibur? Kejam dirimu, Mbak Mawar."
Beberapa orang di ruangan itu terkikik mendengar obrolan kami berdua. Namun langsung lengang saat terdengar suara laki-laki berdeham di balik pintu.
"Gimana, Tan. Sudah beres serah terimanya dengan Susi?" Pak Reymon bertanya dengan nada lembut namun berat sembari menatapku yang hari itu nampak lebih sehat dari biasanya.
"Siap, Pak. Ini sedang saya ajari dia tentang tugas harian."
"Oh! Memang harus. Kalau perlu lembur supaya dia benar-benar paham."
"Baik, Pak."
Oh iya, sebagai tanda membuang sial, aku sengaja menggunting rambut hingga sebahu.
Memakai penjepit sederhana supaya terlihat manis. Ada rasa kecewa di hatiku saat mendapati hari itu Pak Richard justru tidak ke kantor.
Benar.
Beberapa hari ini pria tampan itu tidak lagi ke kantor karena sibuk mengurus rencana kuliahnya. Sehingga akupun bagaikan kehilangan gairah bekerja dan semangat.
Rasanya seperti boneka balon yang berdiri tegap namun isinya kosong bergerak diterpa angin ke sana ke mari.
Hampa.
Ingin aku menghubungi tapi rasanya akan sangat lancang sekali jika sampai melakukannya, lagi pula aku sadar diri bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa untuknya.
Tapi aku sungguh ingin menyapa Pak Richard untuk terakhir kalinya sebelum pindah.
[Intan.] Mataku terbelalak saat sedang mengumpulkan keberanian untuk menghubungi Pak Richard tapi justru dia yang terlebih dulu menyapa.
[Pak ... Richard.] Seketika persendian di kaki terasa lemas membaca pesan yang hanya berisikan namanya. Setakjub itu aku sampai membacanya berulang-ulang nama sendiri yang tertera di pesan. Mengejanya, lalu memastikan lagi bahwa itu nomer wasap Pak Richard.
[Lagi dimana?] Perfect!
Pak Richard bertanya Aku sedang dimana. Ya pasti di kantor Bapaknya lah, mau di mana lagi aku jam tiga sore, meskipun ini hari terakhir bekerja tapi tetap saja aku harus pulang seperti biasanya.
[Masih di kantor, Pak. Bapak nggak ke kantor? Saya mau pamit.]
[Iya saya tahu, nanti malam saja kita ketemu ya. Saya jemput di rumah kamu.]
[Serius ini?]
[Sampai ketemu nanti.]
Beberapa kali aku mengucak mata ini, memastikan bahwa itu benar. Aku tidak sedang bermimpi apalagi berkhayal seperti biasanya.
Pak Richard mengajakku bertemu di luar jam kerja. Untuk apa? Praduga dan segala tanya di kepalaku, menyita konsentrasi disisa waktu yang ada.
Kadang tersenyum, kadang senyum itu lenyap kala bukan wajah Pak Richard yang membayang, melainkan wajah Bapaknya. Pak Reymon.
Hingga waktu menunjukkan pukul enam sore. akhirnya tibalah aku di penghujung perpisahan dengan bersalam-salaman dengan semua orang yang ada di sana.
Isak tangis haru mewarnai perpisahan itu.
Ternyata begitu dalam rasa kehilangan yang dirasakan rekan-rekanku. Mereka bahkan mengantarkanku hingga ke pintu gerbang.
Melambaikan tangan saat motor matic milikku mulai menyala mesinnya.
"Sering-sering main ke sini ya, Tan. Jangan sombong," ucap Mbak Mawar sambil menyeka air matanya.
"Pasti, Mbak. Aku pergi ya teman-teman. Terima kasih atas semuanya. Kalian semua keluargaku." Aku sesenggukan sambil menguatkan hati ini sendiri melihat teman-teman terlihat begitu kehilangan.
Yang cukup melegakan adalah status jika nanti bertemu lagi dengan Pak Richard tidak ada lagi yang harus dia takutkan. Pria itu bukan lagi anak bos yang biasanya sangat kusegani. Setidaknya kali ini aku bisa bersikap biasa-biasa saja.
Setelah berkendara beberapa saat, aku melihat banyak pesan dari Richard sesampainya di rumah, yang intinya adalah pria itu akan datang menjamput pukul delapan malam.
Agendanya cuma makan malam jadi Richard berpesan agar aku tak perlu berdandan heboh berlebihan dan bermandikan parfum.
Dia ingin semua natural seperti biasa saja. Permintaan yang agak aneh menurutku. Bukankah seharusnya semua laki-laki suka jika melihat wanita berdandan yang cantik?
Aku tidak terlalu ambil pusing dengan permintaan Richard. Bagiku apapun itu jika dengannya pasti sangat menyenangkan. Lagi pula wanita mana yang tidak suka tampil polos, selain anti ribet juga terlihat begitu natural.