PoV 3
Dalam keadaan tertekan dengan desakan orang tua dan rasa bersalahnya sendiri akhirnya Richard minta waktu untuk melanjutkan pendidikan terlebih dahulu.
Apalagi Hamidah nampak mengerti kenapa Richard sangat gelisah menjelang kepergiannya.
Namun Pak Reymon bukan pria bodoh. Dia memaksa Richard untuk bertunangan terlebih dahulu sebelum keberangkatannya ke London.
Jarinya bergetar malam itu saat hendak memasangkan kalung di leher Hamidah. Kaitan di bagian belakang sangat sulit untuk dipaskan olehnya.
Rasanya sangat grogi dan canggung.
Namun Richard berusaha menembus batasannya sendiri dengan terus berusaha hingga berhasil.
Disambut riuh tepuk tangan keluarga terbatas yang hadir di sana.
"Tenang saja Riki, itu cuma kaitan kalung, bukan kaitan pakaian dalam wanita," cetus Armando. Anak sulung Pak Reymon sambil mengangkat jempol.
"Grogi?" Hamidah tersenyum malu-malu dengan tatapan bertanya, namun Richard hanya mengangguk pasrah tak terlalu antusias menimpali.
Acara makan malam bersama keluarga kemudian berlangsung hangat. Kedua belah pihak keluarga nampak sangat bahagia dengan pertunangan itu.
Iya, meskipun pada kenyataannya, Richard merasa dirinya berdarah-darah merindukan dan berhutang maaf pada Intan.
Pria itu hanya memutar-mutar pasta di garpunya, memotong, membalik tak juga menyantapnya. Sesekali dia mengangkatnya lalu mengaduk-aduk lagi di atas piring.
Hampir dua hari ini Richard tak bisa makan apapun. Dia sedang tidak ingin apapun.
"Riki, kenapa nggak makan?" Nyonya Reymon menyipitkan mata pertanda tidak suka dengan tingkah anaknya.
Membuat keluarga yang lain jadi memperhatikan sikap Richard yang tidak ceria seperti biasanya. Kemudian Kakak laki-lakinya menimpali dengan nada bercanda, "Grogi, Mah. Deketan sama calon istri. Jadi nggak selera makan, selera yang lain. Begitu kan, Rich?"
"Hmm, maybe." Disambut gelak tawa yang lainnya.
Sedangkan di tempat lain, Intan yang sedang memulihkan dirinya memutuskan untuk tak ingin lagi mengetahui kabar apapun mengenai Richard. Lagi pula pekerjaan barunya sangat merepotkan karena bertamu dengan banyak sekali orang-orang baru dan juga tugas-tugas yang sebelumnya tak pernah dia lakukan.
Sampai semua memudar seiring waktu.
Ingatan tentang seorang Richard mulai tersamarkan oleh kehidupan barunya dan Richard juga kembali melanjutkan pendidikannya di luar negeri.
Meninggalkan hutang maaf yang tak mungkin dia lupakan begitu saja. Meskipun sesekali dia masih berusaha menghubungi Intan namun hasilnya nihil.
Intan tak pernah lagi menggunakan media sosial maupun nomer telpon yang dulu. Dia sungguh-sungguh sudah merubah semua identitasnya.
Menghilang.
"Tan, cowok ganteng waktu itu sekarang nggak pernah nyariin kamu lagi, kemana dia?" tanya Ibu saat Intan menyantap semangkuk bubur kacang hijau sepulang bekerja.
Setelah hampir dua bulan tinggal di rumah Nenek, akhirnya gadis itu kembali ke rumah orang tua. Berkumpul dengan keluarganya dan menjalani hidup normal seperti biasa.
"Nggak tahu, mati mungkin."
"Hush. Ngomong apa sih kamu, Tan."
"Kan hidup mati hanya Tuhan yang tahu."
"Tapi kenapa nebaknya begitu?"
"Who knows?" Intan menoleh saat ponselnya menyala. Ada nama Irwan di layar tertera. Salah satu kawan satu bidang di kantor dinas barunya.
"One ..." Intan menyapa sambil mengunyah kacang hijau yang berjubal di mulutnya.
"Two ... Three ... mari kita bernyanyi," sahut Irwan terkikik.
"Dasar nih anak. Kenapa sih?" Irwan yang esok lusa akan meminang kekasihnya yang bekerja di sebuah klinik sebagai Apoteker, meminta tolong Intan untuk membantunya menyiapkan sebuah kejutan.
Laki-laki itu ingin mengajak pacarnya makan malam yang romantis kemudian bermain piano mendendangkan sebuah lagu untuk dinyanyikan.
"What? Ya ampun, One. Suaramu bakalan bikin semua orang nggak nafsu makan. Jangan ah, yang lainnya saja." Intan menggigit ujung sendok sambil menepuk wajahnya.
"Jadi apa dong, Tan. Apa aku pura-pura sakit aja ya, terus ... terus gimana?"
"Terus kamu pura-pura mati, nanti biar di antar ke kamar mayat, nah dia pasti sedih tuh. Kamu ditinggalin deh trus dia cari cowok baru. Ya mati benaran aja kalau begitu."
"Somplak nih anak." Irwan semakin tertawa keras mendengar saran-saran dari Intan. Gadis itu seakan pandai bersandiwara, menutupi keresahan hatinya dengan membuka diri menjadi tempat mengadu bagi teman-temannya.
Meski sering kali merasakan diri sendiri hancur namun saat bisa membantu orang lain menyelesaikan masalah, seakan berkurang pula beban hidupnya.
Perlahan sosok Richard mengabur dalam ingatannya.
Hingga suatu ketika, Intan makan siang bersama Mbak Mawar, setelah tujuh bulan tak berjumpa.
Keduanya membicarakan banyak hal seputar pekerjaan dan juga rencana Mbak Mawar untuk menyelenggarakan Aqiqah untuk anaknya yang baru lahir beberapa waktu yang lalu.
Bayi perempuan yang diberi nama Melati itu seakan melengkapi rumah mereka yang dipenuhi nama bunga-bunga. Ibunya bernama Mawar, anak pertama mereka bernama Shakura, dan anaknya yang baru lahir bernama Melati.
"Jadi Mela mirip siapa, Mbak?" tanya Intan sambil memotong bakso di dalam mangkuknya.