Keesokan hari, Intan mengajukan izin bekerja setengah hari kepada atasannya. Dia sudah menyiapkan pakaian ganti yang disisipkan ke dalam jok sepeda motor.
Sedari pagi jantungnya berdebar-debar tak karuan. Richard kembali untuknya saja membuat wanita itu seolah membumbung tinggi ke angkasa.
Apalagi pria itu nampak begitu menyesal telah melukai hatinya. Bersungguh-sungguh minta maaf mengharap agar hubungan mereka kembali.
"Ih, bolos kemana nih anak. Jangan-jangan mau mojok ya?" Bu Arum, atasan Intan yang memahami bahwa staffnya itu memang butuh piknik sesekali.
Intan bekerja sangat rajin dan juga cekatan. Gadis itu juga tak segan lembur untuk membantu pekerjaan rekan yang lainnya.
Intan sangat baik hati dan begitu mendapat tempat di hati rekan-rekannya. "Mojok sama siapa kamu, Tan? Yang kemaren itu, pakai baju yang keteknya bolong?" Irwan meledek sambil mendorong-dorong bahu Intan.
Membuat gadis itu tak kuat untuk menahan tawa. "Yang mana sih? Jangan-jangan kamu mimpi, Wan."
Irwan menyambar ponsel Intan yang sedang diisi daya. Langsung menscroll galeri dan mendapati foto mereka berdua.
Intan dan Richard yang pipinya saling menempel. Sangat mesra. Intan tidak bisa berkutik saat semua teman yang lain malah berkerumun melihat galeri di ponselnya.
Dia hanya tersenyum pasrah dan siap mental untuk dibully seperti biasanya.
"Wuih, ganteng Masnya. Siapa namanya, Tan?" tanya Bu Arum penuh rasa ingin tahu.
"Paijo," sambar Irwan sambil tergelak sambil menunggu respon dari Intan.
"Pasti namanya Kevin," tebak teman yang lain.
"Ah nggak. Muka-muka kayak gini, bisa kupastikan namanya Toni, Tomi, Thomas, atau John." Office boy yang nggak kalah sok tahunya menimpali dengan wajah polos.
Intan tak menjawab. Hanya senyum-senyum sambil menggelengkan kepalanya. Keadaan semakin riuh saat panggilan masuk bertuliskan nama 'Sayang' tertera di layar gawai itu.
"Eh ... eh ... ini gimana nih bacaannya," ucap Irwan kebingungan lalu mengembalikan ponsel ke atas meja Intan.
"Iya, Rich. Oh udah sampai, aku keluar sekarang ya." Intan hanya menyipitkan matanya dengan sinis namun begitu menyebalkan.
"Richo."
"Richi."
"Richardo."
"Richard."
Bersahut-sahutan nama-nama disebut satu persatu oleh teman-temannya, namun Intan berlalu sambil melambaikan tangan menuju ke halaman kantor.
Beberapa di antaranya membuntuti hanya untuk sekedar ingin tahu wajah pacarnya Intan namun mereka harus menelan pil pahit kekecewaannya karena ternyata kaca mobilnya sangat gelap.
"Selamat siang Ibu pejabat, sudah siap jalan-jalannya?"
"Oke, kita meninjau rumah makan terdekat. Saya lapar." Richard tersenyum kecil sambil mengelak anak rambut yang menutupi wajah Intan.
Pria itu selintas membelai pipi Intan hingga membuat wanita itu tersipu malu. Sengaja Richard mencari rumah makan yang punya ruangan private agar tak bertemu teman maupun kolega Pak Reymon.
"Private room for two person," ucapnya saat menghubungi salah satu restoran untuk reservasi tempat.
"Kenapa nggak makan di tempat biasa-biasa saja, Richard?"
"Aku nggak mau aja ketemu kolega Papa dan siapa-siapa yang sekiranya membocorkan kepulanganku kali ini ke orang rumah. Males."
Akhirnya memang mereka makan siang berdua di suatu ruangan yang private. Richard terlihat sering menyentuh jemari Intan dengan rasa sayang. Tidak agresif juga tak terlalu lemah.
"Aku makan nasi goreng hot plate saja, Richard."
"Nggak mau makan pasta?"
"Perutku nggak kompak kalau makan siang pasta. Maklum orang Indonesia banget aku." Semua perlakuan Richard siang itu sungguh manis sekali. Membuat dirinya hanyut dalam cinta yang sekian lama coba dikuburnya dalam-dalam.
Richard mengubah mode silent pada ponselnya. Ada sesuatu yang sedang ingin dia katakan pada Intan.
"Intan, aku ingin bicara sesuatu yang serius denganmu," ucap Richard dengan nafas tertahan.
"Oke. Ada apa?"
"Bagaimana kalau kita menikah?" Sekonyong-konyong Intan membelalakkan matanya mendengar kalimat ajakan dari Richard.
Apapapun yang sedang terjadi di antara mereka bedua rasanya masih sangat jauh dari sebuah angan tentang pernikahan namun Richard terlihat sangat serius mengatakannya.
Matanya menatap tajam seperti mencari sebuah jawaban pada diri Intan. Sebuah hal gila terpikir olehnya saat semalam bicara dengan Pak Nur tentang bagaimana sikap Hamidah yang sangat excited menghadapi rencana pernikahannya.
Richard tak ingin menggantung perasaannya sendiri. Sebagai laki-laki dia harus berani mengambil sebuah keputusan. Dan keputusan itu adalah dia memilih Intan untuk dijadikan istri.
"Richard kau kenapa sebenarnya?" Intan menyelidik merasa ada yang salah pada diri Richard.
Laki-laki itu seperti kehilangan akal sehat saat tiba-tiba saja ingin mengajak dirinya untuk menikah.
"Aku hanya ingin memilihmu ketimbang Hamidah, calon istri yang telah disiapkan oleh Papa."
"Kau ... kau sudah dijodohkan?" Richard menggenggam tangan Intan sangat erat.