RIFAYYA

Humairoh
Chapter #1

Awal Mula

Bau harum nasi goreng masuk ke dalam indra penciumanku, setelah melewati berbagai ruangan di dalam rumah, lalu hinggap di dalam kamarku. Sekarang jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku sudah bangun dari tadi subuh. Sudah menjadi peraturan dalam rumah ini, tercantum pada peraturan pertama 'sholat jangan lupa'. Peraturan yang Ayah buat untuk keluarga kecilnya. Karena terbiasa dengan peraturan pertama Ayah, aku selalu bangun subuh walaupun sedang mengalami kejadian rutin perempuan tiap bulan.

Tok…Tok…

Suara ketukan pintu terdengar dari luar, itu pasti utusan Bunda.

"Kak Aya kata Bunda cepat ganti bajunya nanti telat."

Benar. Itu suara utusan Bunda—Dek Iyan, anak bungsu di keluarga kami. Dek Iyan terus-menerus mengetuk pintu kamarku dari luar.

Dengan cepat aku merapikan jilbabku yang masih terlihat miring sebelah. Mengambil tas ransel. Berjalan menuju pintu, meraih knop.

Adikku berdiri, menunggu di depan kamarku, memakai baju putih merahnya sambil memainkan topi yang berwarna sama dengan bajunya. Pasti Bunda menyuruhnya jangan turun jika aku belum turun.

"Ayo, nanti Bunda makin nambahin teks pidatonya."

Maksudku omelan Bunda. Bunda kalau mengomel tidak tahu waktu. Walaupun sedang mepet waktu Bunda tidak akan berhenti. Pasti ujung-ujungnya jika kami terlambat, Bunda akan mengeluarkan kata andalannya.

"Salah sendiri lambat bangun."

"Salah sendiri tidur lama."

Dan salah sendiri-salah sendiri lainnya.

Baru saja aku mendaratkan bokong ke kursi Bunda sudah me-mulai pidatonya.

"Nggak bagus tahu Aya, lama-lama di dalam kamar mandi. Tempat setan kok dijadi-in tempat berdiam diri. Kamu itu perempun Aya. Sudah besar. Harus tangkas, makan masih dipanggil-panggil. Waktu sudah mepet Aya, kasihan ayahmu sudah nunggu lama dari tadi. Kamu kok kalah sama adik kamu ini. Dek Iyan aja sudah dari tadi di sini…"

Bunda masih setia dengan pidatonya. Aku tetap melanjutkan makanku. Bisa lama waktunya jika menyela pidato Bunda. Pasrah pilihan satu-satunya jika sudah berhadapan dengan Bunda.

Sekitar lima menit berlalu, tapi terasa sangat lama Bunda menutup pidatonya.

Dengan kata. "Lain kali jangan diulangi lagi."

Bagaimanapun kata itu seperti masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Dua hari kedepan pasti kejadian ini akan terulang lagi. Selalu seperti itu dan Bunda tidak pernah lelah mengingatkan kami. Bukan cuman anak-anaknya tapi untuk Ayah juga. Yah, walaupun Ayah tidak separah kami—anak-anaknya.

"Hari ini Aya berangkatnya sama Ayah?"

"Iya, abangmu tadi sudah berangkat dari pagi, ada kuliah pagi katanya."

Aku cuman manggut-manggut paham. Baguslah, setidaknya pagi ini tidak ada kericuhan yang sering menyaingi pidato Bunda.

Ayah melihat jam tangannya. Berdiri menghampiri Bunda, mencium kening Bunda sekilas. Bunda membalasnya dengan tersipu malu dan balik mencium tangan Ayah. Aku yang duduk menonton interaksi Ayah dan Bunda hanya bisa mendengus. Apa Ayah tidak lihat ada aku yang lagi duduk manis ini? Beruntung Dek Iyan lagi sibuk dengan susunya, tidak melihat adegan lima belas tahun ke atas ini.

"Aya, Iyan, cepat makannya. Ayah tunggu di mobil."

Aku bergegas menghabiskan nasi gorengku. Meminum susu segelas, sekali teguk. Dek Iyan sudah lebih dulu pergi. Meninggalkan aku di meja makan dengan Bunda yang mulai membersihkan meja makan. Aku meraih tangan Bunda, mencium punggung tangannya.

"Bunda tadi Dek Iyan udah cium tangan?"

"Sudah. Kamu-nya aja yang nggak lihat, sibuk makan, makannya lama juga, kayak tuan puteri dari kerajaan. Coba biasain jangan lelet Aya…"

Aku nyengir. Mencium pipi Bunda.

"Do'a-in Bunda."

Aku berlari keluar rumah, sebelum Bunda menambahkan pidatonya. Setelahnya aku tidak tahu apa yang dikatakan Bunda.

Aku memasuki pintu penumpang sebelah pengemudi. Dek Iyan sudah ada di dalam mobil, duduk di belakang. Ayah sibuk dengan ponsel di tangannya. Setelah beberapa saat melihat ponselnya, Ayah mulai mengemudi mobil. Bunda di luar sana, di depan rumah, melambaikan tangannya untuk kami. Aku menurunkan kaca dan membalas lambaian tangan Bunda. Mobil menjauh. Menuju sekolah Dek Iyan.

Setelah mengantar Dek Iyan ke sekolahnya. Sekarang giliran aku yang diantar ke sekolah.

Lihat selengkapnya