RIFAYYA

Humairoh
Chapter #5

Markas Baru

Bintang bertaburan di langit, ditemani cahaya dari bulan. Sepertinya besok adalah hari yang cerah. Malam ini aku memilih halaman belakang rumah menjadi tempat nongkrong, duduk sendiri.

Oh my my oh my my

You got me high so fast

Ije jogeumeun na algesseo

(Woo woah woo woah woo woah woo woah..)

Aku bersenandung, menyanyikan lagu salah satu boyband dari negeri ginseng yang sedang pamor-pamor-nya.

"Ekhem." Suara di belakangku menghentikan kegiatanku.

Aku menoleh, sudah ada Ayah yang menatapku. "Eh, Ayah."

Ayah ikut duduk di sampingku. "Ngapain malam-malam di sini."

"Pengen lihat bintang aja." Aku bebicara sambil memandang bintang di langit.

Ayah mengacak jilbabku. "Kebiasaan."

Aku tersenyum memandang Ayah, kebiasaan Ayah juga mengacak jilbabku. Melihat bintang memang kebiasaanku jika tidak ada kegiatan di malam hari. Aku lebih suka memandang langit di malam hari. Karena menurutku langit di malam hari lebih leluasa dipandang, dari pada di siang hari. Mataku sering sakit jika memandang langit di siang hari. Karena cahaya-nya yang terang benderang.

"Tugas sekolah sudah dikerjakan?" Ayah ikut memandang bintang.

"Sudah dong, besok 'kan waktu ngumpulnya." Aku menggandeng tangan Ayah, salah satu kebiasaanku jika bersama Ayah.

"Jangan lupa belajar buat besok." Ayah menasehati.

"Ingat peraturan Ayah tentang belajar?"

"Peraturan ke lima yang berbunyi, belajar pangkal pandai."

"Pintar." Lagi-lagi Ayah mengacak jilbabku. Kebiasaan Ayah yang selalu membuat aku tersenyum. Semua yang Ayah lakukan selalu membekas di ingatanku, dan selalu membuat aku tersenyum. Bagiku Ayah adalah panutanku, pahlawanku, sahabatku, guruku, dan juga ayahku tentunya.

"Anak siapa dulu." Aku menepuk dadaku.

Ayah tertawa melihatku.

"Wah, dicari-cari ternyata lagi nongkrong di sini sekalinya." Bang Kiki si perusuh sudah datang.

"Bunda! Ayah dan Aya ada di halaman belakang!" Bang Kiki berteriak ke dalam rumah.

Bunda keluar dari dalam rumah, diikuti Dek Iyan di belakang. Aku berdiri dari duduk.

"Silahkan duduk Ibunda." Aku mempersilahkan Bunda duduk di tempatku tadi. Dan mengambil tempat duduk di samping Bang Kiki. Dek Iyan duduk di pangkuan Ayah.

Malam ini dari sekian malam yang lain-nya, kami berkumpul seperti ini. Ada Bunda yang cerewet. Ayah yang asik di ajak ngobrol. Bang Kiki yang jahil. Aku yang selalu menjadi bualan-bualan kejahilan Bang Kiki. Dan Dek Iyan yang sibuk dengan mainan-nya. Canda tawa memenuhi halaman belakang rumah, sederhana tapi menyenangkan. Bang Kiki masih sempat-sempat juga menjahiliku, menarik jilbabku ke belakang.

"Abang!" Aku berteriak kesal.

Bang Kiki dengan santai-nya tertawa di sampingku.

Lihat selengkapnya