Matahari mulai terlihat saat jam menunjukkan pukul dua siang. Aku, Ica, dan Si kembar menunggu jemputan di halte depan sekolah.
"Kamu sudah bilang sama Bundamu Ay?" Ica bertanya.
"Sudah."
Siang ini kami sepakat pergi ke rumah Si Kembar, melihat ruangan Mbak Ara untuk dijadikan markas kami.
Aku menolehkan kepala, menatap Zaffir yang duduk. "Zaffir." Zaffir membalas tatapanku. "Kamu sudah minta izin sama mamamu?"
Zaffir tersenyum. "Kalau masalah itu gampang Ay. Tinggal tunggu kamu datang."
Ica menyenggol tanganku, dan tersenyum menatapku. Aku menyerengit bingung. Ica semakin gesit menyenggol tanganku.
"Kenapa sih Ca?"
Ica berdecak menatapku. "Aya-nya nggak peka 'nih." Cibir Ica.
Aku memutar bola mata, merasa jengah dengan kelakuan Ica dan Zaffir yang memberiku kode yang tidak aku tahu sama sekali. Cuman Zaffar yang tidak seperti Ica dan kembaran-nya. Si Jutek itu sibuk dengan dunia-nya sendiri, dengan headphone yang tersampir di pundaknya dan tablet di kedua tangan-nya, jari-jari-nya sibuk bermain dengan layar tablet.
Ica di sampingku tiba-tiba berseru dan berdiri dari duduknya. "Jemputan datang!"
Aku ikut berdiri di samping Ica. Zaffar menerobos di antara kami, berjalan menuju mobil samping pengemudi. Zaffir membuka pintu mobil bagian tengah.
"Kalian berdua duduk di tengah aja, nanti aku yang duduk paling belakang." Zaffir sibuk memasuki mobil bagian belakang. Setelah Zaffir selesai dengan urusannya. Aku dan Ica mulai memasuki mobil.
Mobil mulai berjalan meninggalkan sekolah. Selama perjalanan, suasana yang ada berlanjut hening. Ica sudah masuk di dalam mimpi sejak mobil berjalan, selain yang paling cengeng di antara kami Ica juga yang paling gampang tidur di antara kami. Selagi bertemu dengan tempat nyaman dengan bermodalkan memejamkan mata tidak perlu lima menit Ica pasti sudah tertidur pulas, jadi jangan heran jika Ica tiba-tiba tidak ada suara jika diajak ngobrol. Dan Si Kembar sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Zaffar masih dengan posisinya seperti di halte tadi dan Zaffir hanya duduk diam.
Aku mencari kesibukan sendiri. Merenungi apa yang sudah aku lakukan. Dari berani menerima tawaran Si Bucin hingga mengambil langkah panjang dengan sahabat-sahabat kecilku. Seharian ini aku tidak bertemu dengan Si Bucin menurut cerita dari Zaffir Si Bucin lagi sibuk dengan turnamen basketnya. Tapi Si Bucin tetap mengirim pesan untukku minimal tiga kali sehari.
Kadang aku selalu merasa bersalah dengan Ayah setiap kali melihat wajahnya. Apa yang aku lakukan ini baik untukku? Aku tahu, ini salah. Namun sampai sekarang aku belum bisa mengusir rasa penasaran dari benakku.
Ada kalanya aku ingin berhenti. Berhenti dari yang aku lakukan saat ini. Namun lagi-lagi dan berkali-kali lagi rasa itu selalu datang. Rasa yang sering membuat aku bimbang antara berhenti atau tetap melangkah.
Namun instingku selalu kuat, aku tahu ada yang Si Bucin sembunyikan dariku dan sepertinya itu berkaitan langsung denganku. Aku berharap apa yang aku lakukan saat ini tidak akan sia-sia, itu saja.
******
"Ca! Ica! Bangun!"
Aku menarik tangan Ica, membangunkan Ica dari tidurnya. Anak ini gampang tidur tapi susah bangunnya.
Kami sudah sampai di kediaman Si Kembar, tapi Ica belum juga bangun dari tidurnya. Zaffar sudah masuk di dalam rumahnya dan Zaffir masih menunggu aku dan Ica dari luar. Aku menghembus napas kesal menatap Ica. Sepertinya aku harus menggunakan salah satu trik Bang Kiki.
"Zaffir ada air putih?"
Zaffir membongkar mobil bagian depan. "Ada. Ini Ay."
Aku mengambil botol air dari tangan Zaffir, dengan sekali putar tutupan botol sudah terbuka. Sambil membaca basmalah aku menuang air di telapak tangan dan mulai menyiramkan air di muka Ica.
Ajaibnya Ica langsung bangun dengan cepat, sepertinya trik Bang Kiki emang manjur. Tapi nasib Ica tidak beda dari yang terjadi padaku waktu itu. Aku meringis menatap Ica yang terbatuk-batuk, pasti hidungnya terasa perih.
"Kalian berdua jahat banget sih." Ica mulai protes.
Aku mengembalikan botol air tadi pada Zaffir.
"Maaf deh Ca." Aku mengangkat dua jariku berbentuk V.
Ica mulai keluar mobil dan mengambil langkah panjang. Aku berlari, mengejar Ica yang lagi ngambek. Menggamit lengan-nya dari samping. "Lagian kamu tadi susah bangunnya."
"Tapi nggak pake cara yang kayak tadi juga 'kan?"
Aku nyengir. "Iya deh. Maaf Ica."
Ica masih memasang muka sebal.
"Aku traktir es krim deh?" Aku bernegosiasi dengan Ica, membujuk Ica. Ica menatapku penuh kemenangan, ini sepertinya taktik Ica agar mendapatkan es krim.
"Tambah kripik kentang kayak punya Si Alan."
"Okey." Aku memasang wajah memelas, meratapi isi kantongku.