"Gimana Ay?"
Ica bertanya kepadaku, masih topik yang sama. Berhenti atau terus melangkah?
"Tetap lanjut Ca."
Akhirnya aku mengikuti perkataan Bang Kiki semalam, 'Dengar kata hati, ikuti naluri'. Rasa penasaranku lebih kuat dari pada keinginanku untuk berhenti.
Ica manggut-manggut di sampingku. Aku kembali menyibukkan diri membaca novel, kali ini novel yang aku beli beberapa minggu yang lalu. Baru beberapa kata aku membaca, tiba-tiba Ica menepuk lenganku.
"Kenapa?" Aku masih fokus dengan bacaanku.
Tepukan di sampingku sudah berhenti. Aku menolehkan kepala ketika merasa suasana kelas hening, apa guru jam pertama ini tidak jadi cuti? Setahuku jam pertama kelas kami lagi jamkos.
"Astaga!" Seruku.
Tepat di sampingku, tempat duduk Ica tadi, sudah berganti dengan Si Bucin. Aku mengedarkan pandangan, kelas sudah kosong. Aku kembali menatap Si Bucin meminta penjelasan, pasti ini kerjaannya.
"Mereka disuruh ke perpustakaan." Si Bucin bersuara.
Aku berdiri. "Minggir!"
"Mau kemana?" Si Bucin di depanku masih setia dengan posisi duduknya.
"Ke tempat yang kamu sebut tadi."
Akhirnya Si Bucin berdiri. Aku berjalan keluar kelas. Si Bucin setia mengikutiku dari samping.
"Kamu tidak langsung pulang 'kan kemarin?" tanya Si Bucin.
Aku menatap kaget Si Bucin, kenapa dia tahu?
"Aku lihat kamu naik mobil dengan sahabatmu itu."
Si Bucin menjawab, seakan tahu apa yang aku pikirkan saat ini.
"Aku tahu semua-nya Alana." Si Bucin di depanku tersenyum misterius.
"Aku tidak takut, biarpun kamu tahu semuanya."
Ya, aku tidak takut. Dan tidak akan pernah takut. Aku tidak akan berhenti sebelum semuanya terungkap. Sebelum rasa penasaranku hilang.
"Aku tidak menakut-nakuti kamu Alana."
Aku berhenti bejalan.
Si Bucin masih menatapku. "Kalau kamu mau tahu semuanya, kamu harus terus bersamaku, bukan dengan cara diam-diam Alana. Pakai statusmu denganku saat ini."
Si Bucin memberi jeda sebentar. "Karena aku punya maksud memberimu status itu, mengajakmu berpacaran aku punya tujuan untuk semua itu, Alana. Dan sudah menjadi tugasmu mencari tahu. Apa yang menjadi tujuanku."
Aku mengepalkan tangan, kenapa harus berbelit-belit seperti ini sih. Si Bucin terlalu memperumit semuanya.
"Kenapa nggak bilang aja?!" Aku berteriak. Menatap Si Bucin tajam.
"Bilang apa Alana?"
"Apa maksudmu memberiku status sampahmu itu hah?!" Aku tidak bisa lagi mengontrol emosiku. Napasku memburu. Bibirku mengatup.
"Apa yang kamu cari dariku sih?! Kenapa nggak ngasih tahu aja?! Biar semuanya beres!"
"Alana." Suara Si Bucin memelan. Aku masih menatapnya tajam.
Aku semakin benci dengannya. Apa sih maunnya? Membawaku dalam posisi ini, apa maksudnya?