Bunda sibuk mengatur makanan di meja makan. Aku ikut membantu menyusun piring. Sholat isya sudah lewat beberapa menit yang lalu.
"Aya, panggil mereka makan." Bunda memberi perintah.
Aku bergegas memanggil Ayah, Bang Kiki, dan Dek Iyan yang sedang santai di ruang tamu. Mereka bertiga serius menonton TV, kerjaan mereka saat aku sampai di ruang tamu.
"Waktunya makan!" Seruku kepada mereka.
Mereka bertiga kompak menoleh, berdiri menuju meja makan yang terletak di dapur. Ayah menggandeng Dek Iyan di tangan kirinya. Dan Bang Kiki mengikuti dari belakang. Bang Kiki masih sempat-sempatnya dengan rutinitasnya jika bersamaku. Kali ini dia memiting leherku keras. Sesak, itu yang aku rasakan. Aku berteriak sambil memukul lengannya tapi itu tidak ada apa-apanya bagi Bang Kiki.
"Bunda." Rengekku pada Bunda.
"Kiki." Bunda memberi peringatan.
Bang Kiki melepaskan leherku dari pitingannya. "Dasar tukang ngadu."
"Biarin."
Aku ngacir menuju meja makan, mengambil tempat duduk dekat Ayah. Bang Kiki mengikutiku dari belakang mengambil tempat di sampingku. Di seberangku ada Bunda dan Dek Iyan di sampingnya. Ayah sebagai kepala keluarga duduk di kepala meja.
Acara makan malam berlangsung santai.
"Putri Ayah ini selama seminggu kayaknya sibuk banget ya?" Ayah membuka suara.
Aku menghentikan makanku. Tersenyum menatap Ayah.
Baru saja aku menyendok nasi di piring. Bang Kiki mulai mencari masalah.
"Sibuk selingkuh itu Ya."
Aku menatap tajam Bang Kiki. Bang Kiki tidak menggubris.
"Seharian sama Si Kembar, kasihan Si Ucup dia selingkuhin."
Aku mengangkat sendokku berniat memukul Bang Kiki. Tapi Ayah lebih dulu bersuara.
"Aya." Suara Ayah terdengar tegas. " Kamu juga Bang."
Aku dan Bang Kiki tunduk, melanjutkan makan dengan khidmat.
"Ayah izinin kamu tapi jangan lupa jaga kesehatanmu Aya."
"Jangan lupa juga dengan peraturan Ayah." Bang Kiki ikut-ikut-an seperti Ayah.
Aku mendelik. "Nggak mungkin lupalah, emang Bang Kiki."
Bang Kiki di sampingku mengikuti ucapanku dengan mulut yang sengaja dimonyong-monyongkan. Setelah selesai rutinitasnya, Bang Kiki berdiri.
"Abang duluan, ada tugas."
Aku menatap Bang Kiki yang menjauh. Bang Kiki kalau masalah tugas, harus cepat dikerjakan. Bahkan Bang Kiki kalau mengerjakan tugas langsung cepat tandas, dan hasilnya pun tidak mengecewakan.
"Kamu tidak ada tugas Aya?" Ayah melontarkan pertanyaan untukku.
Aku cuman cengengesan di atas kursi.
"Aya nggak usah ditanya Yah, lelet anaknya." Bunda yang bersuara.
Memang benar. Aku adalah kebalikan dari Bang Kiki, kalau Bang Kiki cepat mengerjakan tugas kalau aku, lama dalam mengerjakan tugas.
"Masih lama ngumpulnya Bun." Aku memberi alasan.
"Jangan dibiasain Ay." Ayah lagi-lagi memberi nasihat.
"Siap Komandan!" Aku berseru. Mengangkat tangan memberi hormat ala abdi negara. Mengambil seribu langkah menuju lantai dua, kamarku.
Di dalam kamar aku duduk di meja belajar. Mulai membuka satu-persatu buku pelajaran. Ada tugas matematika tapi senin depan dikumpul.
Aku paling malas jika disuruh mengerjakan tugas, apalagi tugasnya dikumpulnya masih lama. Tidak seperti Bang Kiki yang semangat empat lima jika mengerjakan, biarpun dikumpul bulan depan, tahun depan, selagi itu namanya tugas pasti dia tancap gas menyelesaikannya. Beda denganku yang mengandalkan otak pas-pas-an, kerjain tugas saja sehari sebelum dikumpul, tapi lumayanlah nilainya, standar, tidak tinggi tidak rendah.
Sekali lagi aku melihat buku tugasku. Dan mulai mengerjakan soal nomor satu. Baru berjalan di nomor tiga mataku tidak bisa diajak kerja sama. Mataku tinggal lima persen. Sudah dari tadi mulutku tidak berhenti menguap. Semenjak aku dan sahabat-sahabat kecilku memata-matain Si Bucin, aku jarang tidur siang, waktu yang sering aku pakai untuk beristirahat sejenak. Tidak heran aku sudah mulai mengantuk. Biasanya aku masih bisa bertahan di jam-jam seperti ini. Kalau Ica jadi aku, mungkin dia sudah tertidur dari tadi.
Aku mulai merapikan meja belajar. Menyiapkan buku pelajaran besok.
"Arghh…" Aku meregangkan badan. Berdiri berjalan menuju tempat tidur. Dan menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur.
Herannya saat merebahkan tubuhku, rasa mengantukku hilang, lenyap dalam sekejap.
Apa karena berhadapan dengan matematika tadi aku mengantuk atau karena aku yang merebahkan badan di tempat tidur mengantukku hilang?
Aku menatap langit-langit kamar, mencari tidur.
Sudah hampir dua minggu kisahku dengan Si Bucin berjalan. Tapi belum ada yang terjadi. Belum ada kemajuan dalam misi aku dan sahabatku—Ica dan Si Kembar. Kalau kata Ica belum ada yang 'spesial'.
Kisahku dengan Si Bucin tidak ada yang berubah, masih seperti dulu hanya ditambah dengan status 'sampah' yang pernah aku bilang untuk Si Bucin saat kami ribut di koridor kelas. Cerita insiden itu berjalan dengan cepat hingga sampai diseluruh penjuru sekolah, namun belum diketahui siapa biang keroknya. Guru yang menegur aku dan Si Bucin juga tidak membuka mulut, entah dia yang tidak suka bergosip atau dia yang tidak pusing dengan kesalahan kami yang mengganggu pembelajarannya.
Aku, Ica dan Si Kembar tetap berkumpul seperti biasa di markas kedua kami, ruang Mbak Ara, setiap pulang sekolah. Aku dan Ica setia menunggu Si Kembar yang sibuk mencari cara untuk membantuku, tetap bersamaku di manapun aku dan Si Bucin bertemu. Sebenarnya siasat ini dibuat agar Ayah tidak curiga. Ayah selalu percaya jika aku bersama sahabat-sahabat kecilku itu.
Aku menggulingkan badan menuju sisi kiri tempat tidur. Mengambil ponsel di atas nakas. Sudah jam sembilan lewat. Waktunya tidur.
Bunda sibuk mengatur makanan di meja makan. Aku ikut membantu menyusun piring. Sholat isya sudah lewat beberapa menit yang lalu.
"Aya, panggil mereka makan." Bunda memberi perintah.
Aku bergegas memanggil Ayah, Bang Kiki, dan Dek Iyan yang sedang santai di ruang tamu. Mereka bertiga serius menonton TV, kerjaan mereka saat aku sampai di ruang tamu.
"Waktunya makan!" Seruku kepada mereka.
Mereka bertiga kompak menoleh, berdiri menuju meja makan yang terletak di dapur. Ayah menggadeng Dek Iyan di tangan kirinya. Dan Bang Kiki mengikuti dari belakang. Bang Kiki masih sempat-sempatnya dengan rutinitasnya jika bersamaku. Kali ini dia memiting leherku keras. Sesak, itu yang aku rasakan. Aku berteriak sambil memukul lengannya tapi itu tidak ada apa-apanya bagi Bang Kiki.
"Bunda." Rengekku pada Bunda.
"Kiki." Bunda memberi peringatan.
Bang Kiki melepaskan leherku dari pitingannya. "Dasar tukang ngadu."
"Biarin."
Aku ngacir menuju meja makan, mengambil tempat duduk dekat Ayah. Bang Kiki mengikutiku dari belakang mengambil tempat di sampingku. Di seberangku ada Bunda dan Dek Iyan di sampingnya. Ayah sebagai kepala keluarga duduk di kepala meja.
Acara makan malam berlangsung santai.
"Putri Ayah ini selama seminggu kayaknya sibuk banget ya?" Ayah membuka suara.
Aku menghentikan makanku. Aku tersenyum menatap Ayah.
Baru saja aku menyendok nasi di piring. Bang Kiki mulai mencari masalah.
"Sibuk selingkuh itu Ya.,"
Aku menatap tajam Bang Kiki. Bang Kiki tidak menggubris.