"Sampai di sini pembelajaran kita pada pagi menuju siang ini." Guru di depan kami mulai memberi kata-kata penutupnya yang artinya pembelajaran akan diakhiri.
"Sampai bertemu lagi."
Guru tadi mulai keluar dari kelas. Ini sudah dua mata pelajaran kami belajar.
Aku merapikan buku, tidak ada tugas selama dua mata pelajaran tadi.
"Ayo Ay."
Ica sudah berdiri di luar meja. Anak itu terlihat bersemangat.
Aku mengangkat bukuku. "Taruh buku dulu di loker."
"Sip." Ica mengangkat jempolnya.
Aku keluar kelas dengan Ica yang setia berjalan di sampingku. Menyusuri koridor yang penuh dengan siswa lainnya, yang baru keluar dari kelas masing-masing. Ica seperti biasa disapa dan menyapa orang yang mengenalnya.
Aku mendekati loker yang sudah disediakan. Mengambil kunci di saku, membuka loker. Setelah urusanku dengan loker selesai. Aku mengunci kembali loker dan beranjak dari koridor yang penuh dengan loker para siswa.
"Sudah?" tanya Ica tidak sabaran.
Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban.
"Zaffir tadi ngirim pesan." Ica mengangkat ponselnya.
"Katanya dia tunggu di perpustakaan."
Aku manggut-manggut paham. Dan bergegas ke perpustakaan. Ica mengikuti, berjalan beriringan di sampingku. Sepanjang perjalanan ke perpustakaan ia tidak berhenti, berceloteh tentang rasa penasarannya. Aku setia menanggapi celoteh Ica. Bisa semakin tipis kantongku jika tidak menghiraukan Ica. Gadis sensitif itu tidak kira-kira jika sudah merajuk.
Kami berdua memasuki perpustakaan. Penjaga perpustakaan—Bu Lena, menyapa kami. Tepatnya dia menyapaku, dengan melempar senyum kepadaku tidak seperti biasanya. Pikiranku berkeliaran, apa dia tersenyum karena perkataan Si Bucin saat mengantarku ke perpustakaan dulu?
"My little girl, Bu."
"Aku pamit, jangan rindu."
Seketika aku memasang ekspresi pengen muntah saat mengingat perkataan Si Bucin. Yang menurutku terlalu berlebihan dan …
Aku tidak akan melanjutkannya. Yang paling penting aku tidak suka dengan kata-katanya itu.
Kalau saja aku bertemu dengan tukang gosip yang waktu itu membuatku mencak-mencak tidak jelas di kantin, karena mendengar ocehannya yang tidak jelas itu.
Si tukang gosip itu ingin menjadi pasangan Si Bucin 'kan? Silahkan, aku dengan senang hati memberikan Si Bucin. Entah apa yang akan terjadi dengan Si tukang gosip dengan Si Bucin jika mereka menjadi pasangan? Apa genre cerita mereka? Romansa? Mellodrama? Humor? Atau fantasi?
"Ay."
"Aya."
Aku tersadar dari lamunanku. Menatap satu per satu sahabatku. Ica menggoyangkan lenganku, Zaffir melambaikan tangannya di depanku, dan Zaffar menatapku dengan mengangkat alis sebelahnya.
"Kenapa?" Aku menatap mereka bingung.
"Seharusnya kita yang tanya kenapa Ay." Ica berbicara kepadaku dengan menggelengkan kepalanya di tambah ekspresi heran.
"Senyum-senyum aneh dari tadi,." Ica memajukan wajahnya di depanku.
"Kamu lagi susun rencana apa Ay?"
Aku menyentuh jidat Ica dengan jari telunjuk, menjauhkan wajahnya dari pandanganku.
"Gimana?" Aku menatap Si Kembar.
Ica mendekatkan kepalanya, menatapku menyelidik. Aku menjauhkan kepalanya.
"Gimana dengan rencana kalian?"
Tatapanku masih fokus dengan Si Kembar.
"Ekhem." Zaffar berdehem dan mendorong kembarannya.
Aku menatap bingung kelakuan mereka. Apa ada yang salah dengan aku tadi?
Zaffir berdehem sebentar. Dan mulai menyuarakan rencana mereka. Rencana yang mereka susun dua hari yang lalu. Rencana yang membuatku geleng-geleng kepala mendengarnya. Sekali lagi rencana yang dibuat Si Kembar pasti di luar ekspetasi. Terbukti dengan ekspresi yang ditunjukkan aku dan Ica.
"Apa!"
"Daebak!"
Aku dan Ica berteriak bersamaan. Ica berteriak karena kaget dan aku berteriak karena kagum.
Sekali lagi Si Kembar selalu membuat kami tercengang.
"Coba ulangi lagi tadi?" tanya Ica, dia ingin memastikan yang kedua kali.
"Kita akan bergabung dengan tim basketnya Alan." Zaffir dengan santai mengulang kembali kata-kata-nya.
Ica melongo.
"Kita?" Lagi-lagi Ica memastikan.
Zaffir mengganggukan kepala sebagai jawaban untuk Ica.
Ica terlihat ingin bersuara lagi. Tapi dihalang dengan Zaffar yang memelototkan mata. Ica menunduk takzim di sebelahku.
"Bagaimana kalian mendapatkan peluang ini?" Aku melempar pertanyaan pada Zaffar dan Zaffir.
"Simple, kami dekati pelatihnya." Zaffir memberi jawaban.
"Dan kebetulan mereka kekurangan pemain karena sakit, dan kamu tahu Aya, kembaranku ini dengan suka rela menawarkan dirinya menggantikan pemain yang sakit itu." Zaffir menepuk-nepuk pundak kembarannya.