Aku menghempaskan tubuh di atas sofa. Capek. Capek bolak-balik kantin dan juga harus bersama Si Bucin seharian. Baru seharian bekerja jadi tukang konsumsi, aku sudah capek secara fisik dan batin seperti ini. Bagaimana nasibku kalau dua minggu kedepan?
"Kenapa Dol?" Bang Kiki yang baru datang ikut menghempaskan badannya di sampingku.
"Jangan ganggu dulu Bang." Aku bersuara malas.
"Dol, kamu beneran selingkuhin Ucup ya?"
"Bang."
Ini salah satu kejahilan Bang Kiki juga. Menjodoh-jodohkan aku dengan Si Ucup.
Perlu diketahui Si Ucup adalah orang gila di kompleks kami, dulu waktu aku masih kecil. Berperawakan tinggi, rambut gondrong tidak gimbal, wajahnya yang kotor namun aku yakin jika dibersihkan dia akan terlihat kinclong. Aku dekat dengan Ucup. Dia banyak menolongku. Menolongku saat lupa jalan pulang. Menolongku saat dikejar anjing. Menolongku memetikkan mangga di taman bermain kompleks perumahan kami. Dan menolongku dari anak-anak laki-laki yang sering membuatku menangis. Menurut berita burung Si Ucup adalah orang kaya. Aku tidak tahu itu benar atau tidak, karena aku tidak pernah melihat langsung rumahnya. Namun pernah sekali aku bermain dengan Si Ucup waktu kecil dulu, tiba-tiba dia didatangi mobil. Aku yang diingatkan Bunda jangan mendekati mobil yang tidak di kenal, lari terbirit-birit ke rumah. Sejak aku melihat mobil itu, aku juga berhenti melihat Si Ucup. Ucup menghilang, tanpa jejak. Ada yang bilang dia sudah kembali menjadi kaya. Ada yang bilang dia ditangkap satpol PP. Dan yang lebih parah lagi ada yang bilang dia sudah meninggal. Dalam setiap harapanku, aku berharap bisa bertemu lagi dengan Si Ucup, penolongku.
"Kira-kira Ucup di mana sekarang ya Dol?"
Bang Kiki menerawang, menatap langit-langit ruang tamu.
Aku memejamkan mata. Masih mendengar ocehan Bang Kiki tentang Si Ucup. Bang Kiki yang ingin bertemu dengan Si Ucup. Bang Kiki yang ingin mencari Si Ucup. Bang Kiki yang ingin menyewa polisi demi mencari Si Ucup. Dan keinginan-keinginan Bang Kiki lainnya. Aku masih menutup rapat-rapat mataku. Membiarkan Bang Kiki mengoceh dari pada harus merasakan kejahilannya.
Sangking enaknya aku memejamkan mata, tanpa kejahilan Bang Kiki di sampingku. Aku tertidur. Tidur sebentar namun terasa sangat lama, mungkin efek kecapek-an.
Sampai-sampai aku bermimpi, menyewa polisi dan mencari keberadaan Si Ucup, namun belum juga bertemu dengan Ucup aku sudah terbangun dari tidur. Mungkin mimpi ini efek dari ocehan Bang Kiki.
Aku terbangun saat matahari mulai terbenam. Beberapa menit lagi azan maghrib. Hari ini aku khilaf tidur di sore hari. Sungguh, ini rasa capek yang pertama kali aku rasakan. Badan terasa diremuk-remuk seperti kerupuk yang dikunyah. Sepertinya aku harus konsiltasi dengan tukang urut Bunda.
Aku meregangkan badanku, hingga berbunyi 'krek'. Mungkin itu salah satu tulangku yang bereaksi, sepertinya dia minta di urut dengan tangan Mbah Inem—tukang urut Bunda.
Setelah meregangkan badan. Aku berdiri menuju dapur. Mengambil gelas dan menuangkkan air dari dispenser menuju ke dalam gelas. Dan mulai meminum air yang aku ambil tadi. Kerongkonganku yang kering tadi mulai basah dengan air, segar.
Aku kembali berjalan keluar dapur. Menuju tangga lantai dua, jalan menuju kamarku. Baru aku sadar seragamku belum di ganti. Baju seragam yang sudah kusut. Jilbab yang miring sana sini. Tas yang di seret seperti menarik koper. Kalau Bunda lihat, aku pasti harus mendengarkan pidato Bunda yang kedua kalinya setelah tadi pagi. Dengan langkah dan wajah khas orang baru bangun tidur aku mulai menaiki tangga satu per satu. Wajah yang kusut dan langkah yang terseok-seok.
"Aya! Ya Allah itu seragam-nya belum diganti."
Terlambat. Aku memutar badan ke belakang, tepat di belakangku yang sekarang menjadi depanku, Bunda berdiri dengan gaya tangan yang ditaruh di atas pinggangnya. Aku nyengir.
"Ketiduran Bunda."
"Tidur, tidur. Ya Allah ini sudah kusut besok masih di pakai Aya."
Bunda menarik-narik seragamku, seakan memperlihatkan padaku seragamku yang sudah kusut.
"Nanti tinggal Aya strika-in lagi,"
"Jorok, sudah bau keringat mau distrika lagi."