Aku menatap Bang Kiki yag sedang menyetir.
Dari tadi aku hanya fokus menatap Bang Kiki. Sampai Bunda menegurku saat di meja makan tadi. Untungnya Bunda tidak memulai pidatonya tadi.
Sejak tadi pagi aku merasa ada yang aneh dengan Bang Kiki, seperti ada yang dia sembunyikan dariku. Apa mungkin ini ada sangkut pautnya dengan cerita Ica kemarin malam?
Dan pagi tadi tidak berjalan seperti biasanya, tidak ada kejahilan yang Bang Kiki lakukan dan juga tidak ada kericuhan di meja makan.
Aku masih fokus menatap Bang Kiki.
"Kenapa sih Ay?"
Akhirnya Bang Kiki bersuara, ini yang aku tunggu-tunggu. Karena rasanya aneh kalau aku membuka suara duluan. Karena biasanya Bang Kiki yang selalu duluan, duluan mencari masalah denganku. Tapi ada yang aneh Bang Kiki memanggilku dengan menggunakan nama kecilku, biasanya Bang Kiki selalu memanggilku dengan julukan yang dia berikan 'Dodol'.
"Aneh aja Bang Kiki nggak seperti biasanya."
Aku tidak lagi menatap Bang Kiki. Memilih menatap jalanan.
"Sekali-kali jadi Abang yang baik 'kan nggak apa-apa Ay."
"Dengan Bang Kiki kayak gini, Bang Kiki lebih kelihatan habis lakuin kesalahan."
Aku menunduk memainkan tali ransel di pangkuanku.
Aku mengangkat kepala kembali menatap Bang Kiki.
"Bang."
Bang Kiki bergumam.
"Nggak jadi."
"Apa sih Ay?"
Aku menjauhkan mataku dari Bang Kiki. Mobil sudah sampai di sekolah. Aku menatap Bang Kiki yang juga sedang menatapku, ada yang beda dengan Bang Kiki. Raut Bang Kiki terlihat marah bercampur dengan sedih?
Aku tidak tahu apa maksud tatapan Bang Kiki kepadaku.
Aku menghela napas pelan. "Assalamualaikum."
Aku mulai membuka pintu mobil. Keluar dan menutup kembali pintu mobil. Bang Kiki kembali menjalankan mobilnya. Tanpa membunyikan klakson. Tanpa memberi salam untukku. Apa Bang Kiki marah kepadaku?
Kenapa semua semakin rumit seperti ini.
Aku menyatu dengan siswa yang lainnya.
Selama di kelas aku duduk termenung. Novel yang aku keluarkan hanya teronggok di meja, aku belum memulai membaca sama sekali. Masih memikirkan cerita Ica tadi malam dan Bang Kiki yang tidak biasanya sejak tadi pagi. Apa sebenarnya yang Bang Kiki dan Si Bucin bicarakan?
Kalau Bang Kiki sudah tahu aku pacaran dengan Si Bucin, momennya sangat pas jika Bang Kiki marah denganku, tapi kenapa Bang Kiki juga menatapku sedih. Apa Bang Kiki sedih karena aku membohongi Ayah?
Kalau dipikir-pikir lagi, ini sangat masuk akal. Bang Kiki marah karena aku berpacaran dan juga Bang Kiki sedih karena aku berbohong. Tepat. Sangat tepat. Nanti aku akan berbicara dengan Bang Kiki menyelesaikan masalah kami.
Bel berbunyi. Siswa berondong-bondong masuk, tepat di antara para siswa ada Ica yang berjalan. Aku tertawa, merasa lucu dengan Ica yang terlihat paling kecil di antara mereka.
"Aduh."
Ica mengipas wajahnya dengan telapak tangan. Aku tidak tahu apa itu bisa meredakan kepanasannya.
"Hampir aja terlambat kamu Ca." Aku menyimpan novel di dalam tas.
"Terlambat tidur tadi malam, temanin Mbak Ijah ke café."
"Kamu kok nggak bilang-bilang Mbak Ijah pulang."
"Aku juga baru tahu kemarin sore."
Mbak Ijah atau Mbak Khadijah adalah kakaknya Ica. Dia tinggal di turki ikut suaminya kerja di sana.
Aku memberikan telapak tangan di depan Ica.
"Oleh-olehnya."
"Tenang ada semua sama Mbak Ijah."
"Kenapa Mbak Ijah pulang?"
"Mengidam berat dia, pengen sama Umi. Jadi suaminya antar kemarin."
Aku ber-oh, paham dengan ucapan Ica. Kalau kata Bunda orang mengidam itu banyak maunya dan wajib diturutin kemauannya.
"Jadi semalam kamu itu nemanin Mbak Ijah ke café, terus ketemu sama Bang Kiki."
Ica mengangguk membenarkan ucapanku.
"Kayaknya Bang Kiki tahu aku pacaran Ca."
"Itu juga yang pertama terpikir olehku, tapi ternyata salah Ay."
Dahiku bergelombang, aku menatap Ica bingung.
"Meja Bang Kiki dan Si Bucin sebelahan dengan meja kami, jadi aku dapat dengar sedikit yang mereka bicarakan."
Ica menyatukan jempol dan telunjuknya mengisyaratkan kata kecil yang dia ucap.
"Aisyah! Alana!"
Aku dan Ica tersentak kaget. Melihat ke depan, ternyata sudah ada guru di depan. Semua siswa di kelas menatap kami berdua. Wajah Ica terlihat pucat dan aku hanya bisa meringis menatap Bu Guru di depan kami.
"Jangan mengobrol di kelas saya."
Aku dan Ica mengangguk bersamaan.
Aku bernapas lega setidaknya kami tidak di keluarkan dari kelas. Tapi aku masih penasaran dengan cerita Ica.
Jam pelajaran pertama, kelas berlangsung tenang hingga selesai. Bertanya jika diberi kesempatan dan menjawab jika ditanya. Berbeda dengan jam pelajaran kedua kelas sedikit heboh karena gurunya yang masih muda juga humoris, membuat perempuan-perempuan di kelas kami sering berteriak histeris tiba-tiba dan laki-laki lebih banyak melempar candaan untuk Si GuGan—Guru Ganteng, julukan anak-anak sekolah.