Satu kata sepuluh huruf yang tidak aku suka, 'perjodohan'. Kata ini yang sering muncul dalam perbincangan di persahabatan orang tua kami. Yang paling dominan adalah di antara para Ibu. Aku tidak suka dengan namanya yang dijodohin. Maksudnya aku yang akan dijodohin. Kurang srek saja di kepalaku. Apalagi aku menjunjung tinggi kisah cinta Ayah dan Bunda. Jujur aku ingin seperti mereka. Menemukan cinta bukan lewat perjodohan. Tapi lewat Ayah yang berani melamar Bunda langsung. Dan mereka mampu membangun kisah cinta yang luar biasa di mataku. Kisah cinta yang aku idam-idamkan. Itu keinginanku.
"Wah, Aya udah mulai besar ya."
Kalimat pertama yang sering mereka pakai jika memulai pembicaraan. Dan anehnya aku yang sering menjadi teman dengan topik pejodohan.
Sebagai gantinya aku akan tersenyum menanggapinya. Yang paling sering menggunakan kata-kata itu adalah Mama Si Kembar.
"Jadi gimana Aya. Pilih Zaffar apa Zaffir?"
Skakmat. Mama ini orangnya to the point banget.
Aku meringis. Menggaruk kepalaku yang tidak gatal sama sekali. Mungkin otakku yang gatal karena memikirkan kata perjodohan yang seakan-akan berjalan di dalam kepalaku bagaikan semut yang berjejer rapi.
Dapat aku lihat Ica tertawa melihat penderitaanku. Aku semakin terpojok, tidak ada yang membelaku.
"Oh, kalau Aya pasti milihnya Zaffir, orang mereka berdua yang paling dekat, iyakan Ay? "
Aku menatap Bunda datar. Bunda mulai membuka suaranya.
"Bunda apa-apaan sih. Nggak. Nggak dua-duanya."
"Kamu tinggal pilih suka yang pendiem apa yang nggak bisa diem Aya."
Mama mulai memberiku pilihan. Pilihan yang tidak bisa aku pilih sama sekali.
"Kalo Aya cocoknya sama Zaffar deh."
Mbak Ijah mulai ikut-ikutan. Dia terkikik bersama Ica di sampingnya.
"Enak loh Ay, kalo dijodohin, Umi udah pernah merasakan, udah iyain aja Aya."
"Ikutin aja kata hatimu Ay, Zaffar atau Zaffir?"
Aku hanya bisa meringis mendengar ucapan Ibu dari Si Kembar itu. Apanya yang kata hati?
"Dari pada sibuk jodohin Aya, itu Ica paling dia mau dijodohin kalo sama Bang Kiki."
Ica yang dari tadi menertawakanku, sudah berhenti dan menundukkan kepalanya. Aku tersenyum kepada Ica penuh kemenangan.
"Ica gampang. Dia anaknya penurut, yang Bunda pikirin itu kamu. Mau nggak?"
Ica semakin menundukkan kepalanya, menyembunyikan rona di pipinya.
Lain denganku. Berniat mengalihkan pembicaraan malah menaikkan level pembicaraan.
Aku berdiri bisa hilang kesadaran aku jika duduk lama-lama disini.
" Aya mau ke atas dulu, permisi."
Aku menundukkan kepala sedikit. Izin untuk pergi ke kamar.
Apa mereka semua ini berkompromi? Memojokkan diriku?
Ini-lah kenapa aku lebih suka berkumpul dengan Ayah dari pada Bunda. Topik perjodohan pasti tidak akan pernah ketinggalan bagi mereka. Perjodohan itu hukumnya fardhu 'ain bagi mereka.
Hari ini hari Minggu. Sebenarnya hari ini aku ada tugas kencan dengan Si Bucin, seperti perjanjian kami. Namun nasib berkata lain, aku lupa kalau hari ini jatuh pada tanggal rutin kegiatan Ayah dengan abinya Ica dan papanya Si Kembar.
Kegiatan rutin mereka adalah berkumpul di hari minggu pada pertengahan bulan. Jadi kami sebagai anak-anak mereka, wajib untuk ikut. Itu sudah menjadi peraturan di persahabatan orang tua kami.
"Aya."
Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara yang memanggilku. Melihat ke samping, ternyata ada Zaffar yang sedang menyandarkan tubuhnya di dinding rumah.
"Apa!" Jawabku ketus.
Zaffar di depanku menaikkan satu alisnya, menatapku bingung.
Aku menghela napas panjang, aku lagi nggak mood bertemu dengannya. Efek habis beradu mulut dengan kaum hawa di belakang tadi.
"Anterin ke Mama."
Zaffar menyodorkan benda android, yang aku tahu milik mamanya.
"Kenapa nggak sendiri aja sih?"
"Malas."
Aku mencebik melihat orang di depanku. Seenak jidatnya nyuruh-nyuruh orang.
"Aku juga malas kali."
Zaffar tetap menyodorkan benda itu. Dengan sedikit memaksa.
"Cepetan."
Dasar muka cemberut. Aku mengambil kasar ponsel dari tangan Zaffar. Dan berjalan dengan kaki yang sengaja dihentak-hentakkan.
Aku menoleh sebentar ke belakang. Melihat Si Muka Datar. Zaffar masih memasang wajah datarnya. Dengan kepalanya Zaffar menyuruhku terus berjalan.
Aku mendengus, bisa-bisanya aku menuruti kemauan Si Datar. Aku kembali berjalan ke halaman belakang tempat Mama Si Kembar berada. Jika para bapak memilih ruang tamu untuk berkumpul. Para ibu memilih halaman belakang tempat mereka berkumpul.
Aku mendekati Mama yang lagi ngobrol dengan Bunda. Seperti membahas sesuatu, terlihat serius namun santai.
"Mama." Aku menyodorkan ponsel Mama Si Kembar.
"Dari Zaffar."
Beberapa detik kemudian aku baru sadar. Seketika aku menepuk kepalaku. Kenapa pake sebut namanya juga sih.
Suara deheman terdengar keras.
"Aya."
Ini juga datang. Suara deheman semakin terdengar keras ketika Zaffir datang memanggilku.