Sudah berjalan satu bulan aku dengan Si Bucin. Waktu tidak terasa berjalan cepat. Hari-hariku berjalan seperti biasa. Belajar di sekolah dan menjadi tukang bolak-balik kantin membeli cemilan anak basket. Plus Si Bucin yang menemaniku ke kantin. Jika Si Bucin sibuk, dia akan menyuruh Ica menemaniku, dengan memberi embel-embel traktir untuk Ica. Ica dengan senang hati membantuku.
Hari minggu sudah menjadi rutinitasku keluar dengan Si Bucin. Diiringi Ica dan Si Kembar dari belakang. Kadang mereka sering bergabung dengan aku dan Si Bucin. Ica dan Zaffir yang sering menerobos duduk di meja café yang sama dengan aku dan Si Bucin. Zaffar, dia nanti diseret dengan kembarannya baru berjalan. Tetap memasang wajah datarnya. Zaffar tidak pernah membuka suara sama sekali jika bersama Si Bucin. Dan Si Bucin tidak keberatan sama sekali.
Ayah belum tahu dengan kebohonganku ini. Aku semakin merasa bersalah pada Ayah. Sekali lagi aku minta maaf karena rasa penasaranku aku berani melanggar aturan Ayah.
Sungguh, aku seperti merasakan bahwa rahasia Si Bucin harus wajib aku tahu. Apalagi Bang Kiki juga tahu rahasia itu. Bang Kiki tidak mungkin memberitahuku. Dan Bang Kiki dia masih seperti biasa. Selalu jahil.
Saat ini sudah masuk jam istirahat. Tapi aku masih berada di kelas. Perutku lagi merasakan sakit yang sering dirasakan hampir semua perempuan di muka bumi. Karena aku yang susah berjalan karena sedang dilanda sakit perut. Jadinya Ica menawarkan diri membeli makanan di kantin sekaligus minuman pereda nyeri perut datang bulan.
Makanya aku setia menunggunya di kelas. Tinggal aku sendiri di kelas. Para siswa yang lain sibuk mengisi perut mereka. Aku memegang perutku. Merintih kesakitan. Perutku terasa dililit-lilit. Dan sangat luar biasa sakitnya. Peluhku di kening turun perlahan. Kenapa Ica lama sekali?
Brak! Aku terkejut dengan bantingan mejaku.
Aku mendongakkan kepala, ternyata Ica sudah ada di depanku. Aku tersenyum lega. Aku menyodorkan telapak tangan. Meminta pesanan minumanku pada Ica. Namun Ica tidak kunjung memberinya. Malah ngos-ngosan di depanku, seperti baru saja dikejar anjing.
"Mana minumannya Ca?" tanyaku lirih.
Ica menggelengkan kepala. Aku semakin bingung. Apa maksudnya menggelengkan kepala? Apa dia tidak membeli minumannya? Atau minumannya tidak ada? Sudah Habis?
Astaga, perutku semakin terasa dililit-lilit.
"Saat ini bukan itu yang penting Ay."
Ica bersuara. Napasnya sudah tidak lagi menderu.
Aku semakin meremas perutku. Apa lagi yang lebih penting dari sakit perutku ini?
"Zaffar sama Alan berkelahi Ay." Ica menarik tanganku paksa.
"Kamu harus kesana sekarang."
Aku berjalan terseok-seok. Masih memegang perutku yang semakin terasa sakit. Ica berjalan dengan cepat. Menarik tanganku. Seakan menyuruhku berjalan lebih cepat lagi.
"Ica pelan-pelan." Aku merintih.
Kepalaku sekarang terasa pening.
Aku berhembus lega saat sudah sampai di tempat perkelahian mereka. Lapangan basket. Tempat itu sekarang dikerubungi para siswa. Ica menerobos para siswa. Masih menarik tanganku.
Aku berjalan dengan mata yang sedikit di tutup. Kepalaku terasa semakin pening. Badanku terasa panas dingin. Apa Ica tidak tahu dengan keadaanku sekarang ini?
Setelah menerobos sekian massa yang menonton. Akhirnya aku dan Ica sudah berada berdekatan dengan Zaffar dan Si Bucin yang lagi baku hantam. Zaffir terlihat berada di sekitar mereka, tapi dengan muka yang sudah babak belur.
Aku menatap bingung yang terjadi di depan mataku. Aku tidak bisa menahannya lagi.
Dengan menarik napas panjang. Aku menegakkan badanku yang dari tadi bungkuk sedikit. Melepaskan remasan tanganku di perut. Menyeka peluh yang bercucuran. Menatap perkelahian yang terjadi di depanku.
Sekali lagi aku menarik napas panjang. Dan Ica, dia sudah berlari mendekati Zaffir yang terduduk sambil memegang perutnya.
Aku menatap satu per satu para penonton. Ada yang sedang berbisik-bisik. Ada yang terlihat takut. Dan yang lebih parah ada yang menyoraki. Aku mendengus. Berjalan mendekati para penyorak.
"HEI!"
Mereka semua berhenti menyoraki. Para penonton terdiam. Mereka semua menatapku. Zaffar dan Si Bucin masih meneruskan kegiatan mereka berdua.
"Kalian nggak mikir ya!"
Aku bekacak pinggang, menatap garang semua siswa yang ada.
"Sudah tahu ada orang berkelahi, malah di tontonin!" Aku mendengus.
"Dan parahnya ada orang yang senang adu domba!"
Aku sengaja menekankan kata 'adu domba'. Itu sindiranku untuk para penyorak yang suka menonton perkelahian.
"Kalian nggak pernah belajar agama ya?! Nggak tahu yang kalian lakuin itu termasuk dosa besar?!"
"Dan kalian!"
Aku menunjuk wajah para anggota tim basket yang sudah aku kenal di luar kepala.
"Sudah tahu 'kan kapten kalian dan teman tim kalian ini lagi adu jotos? Apa kalian tidak ada keinginan untuk melerai mereka berdua?!"
Seketika tim basket langsung berlari. Memisahkan Zaffar dan Si Bucin. Aku menatap garang dulu para penonton, sebelum mendekati Zaffar dan Si Bucin. Aku berdiri di antara Zaffar dan Si Bucin. Menatap mereka bergantian. Mereka berdua berusaha melepaskan pegangan dari anggota tim basket yang menahan mereka.
"Sebenarnya apa masalah kalian berdua sih?"
Si Bucin meyeringai. "Aku cuman menyingkir 'kan penghianat dari kamu Alana."
Zaffar menatap datar. Aku menggelengkan kepala melihat Zaffar. Bahkan dalam keadaan seperti ini dia masih memasang gaya datarnya.
Aku menghembuskan napas. Menatap para penonton.
"Bubar! Apa lagi yang mau ditonton? BUBAR SEKARANG!"
Semua siswa bubar satu per satu. Aku kembali menatap Zaffar dan Si Bucin.
"Kalian bawa kapten kalian pergi dari sini."
Aku menunjuk Zaffar dengan wajahku.
"Dia biar aku yang handle."
Anggota basket segera menarik paksa tangan Si Bucin.
Tinggal aku dan Zaffar di lapangan. Ica tadi sudah membawa Zaffir ke UKS.
Aku menatap Zaffar dari bawah sampai atas. Baju dan celana seragamnya sudah kusut tidak berbentuk. Kemejanya sudah hilang beberapa kancingnya. Dasi sudah tidak terikat rapi. Compang-camping sana-sini. Rambutnya jangan di tanya lagi. Aku menatap bingung bentuk rambutnya. Apa mereka berdua berkelahi saling menarik rambut?
Aku menghembuskan napas sekali lagi.
"Ikut aku."
Zaffar mengikutiku dari belakang. Aku membalikkan badan.
"Jalan di sampingku. Takutnya kamu nanti lari cari Si Bucin lagi."