RIFAYYA

Humairoh
Chapter #16

Di Turnamen

Hari ini yang ditunggu-tunggu tim basket. Hari dimana diadakan turnamen persahabatan dengan sekolah lain. Tempat penonton sudah dipenuhi para siswa dari kedua sekolah yang mengadakan perlombaan persahabatan. Orangtua kami juga hadir. Mama Si Kembar kekeuh semua sahabatnya harus menonton Zaffar. Bahkan Mbak Ara menonton secara live dari tempat kerjanya.

Ini sangat langka. Zaffar mengikuti pelombaan basket. Bakatnya yang terpendam. Tidak hanya orang tua kami. Banyak keluarga tim basket yang hadir demi melihat anak-anaknya. Sekolah kami membuka lebar gerbang sekolah. Dengan dibatasi kuota penonton. Untungnya lapangan basket kami sedikit besar. Dan tempat penonton juga bisa menampung kurang lebih seperempat penonton yang sekitar lima ratusan lebih. Siapa yang datang terlambat. Harus mengalah. Memilih menonton dari jauh yang sudah disiapkan juga tempatnya. Menonton dari layar tancap yag dipasang. Karya dari anak multimedia.

Keluarga tim basket ditempati paling depan. Termasuk keluargaku dan Ica. Aku dan Ica sudah dihitung dalam tim basket. Ayah yang duduk di samping Papa Si Kembar melambaikan tangan ke arahku yang berdiri di tempat istirahat tim basket. Aku membalas lambaian tangan.

Hari ini aku bertugas seperti biasa. Tapi enaknya aku tidak perlu bolak-balik lagi ke kantin. Makanan sudah disiapkan dekat denganku.

Pelombaan lima menit lagi di mulai. Anak-anak basket melakukan pemanasan kecil. Ada yang lari-lari di tempat. Ada yang meregangkan badannya.

Si Bucin yang sudah selesai meregangkan badannya, berjalan mendekatiku. Aku was-was melirik Ayah yag fokus menatapku. Mataku memberi kode kepada Si Bucin agar tidak mendekat. Namun Si Bucin dengan santainya tetap berjalan mendekat, tidak lupa senyumannya yang mengembang.

Aku menggelengkan kepala. Si Bucin tetap mendekat. Melangkahkan kakinya perlahan. Apa dia memang sengaja?

"Di mana ayahmu?"

Si Bucin mengedarkan pandangan di tempat duduk para keluarga tim basket.

Aku mengepalkan tangan. Menahan amarah. Aku tahu Si Bucin sengaja.

"Oh, yang pake kaos biru tua itu 'kan? Ayahmu?"

Aku mengikuti pandangan Si Bucin. Benar. Itu Ayah. Ayah yang duduk dan menatap ke arah aku dan Si Bucin tajam. Habislah aku.

"Jangan—"

Belum selesai aku berbicara pada Si Bucin. Mataku sudah melotot melihat kelakuan Si Bucin. Orang di depanku itu melambaikan tangannya. Melambaikan tangannya pada Ayah. Aku menatap takut kepada Ayah. Ayah yang duduk di samping Bunda terlihat menahan amarah. Tatapannya yang tajam. Dan mukannya yang berubah menjadi datar seperti Zaffar.

"Aku tidak lupa." Si Bucin menggumam.

Aku menyerengit bingung. Ketua basket itu tidak jauh beda seperti Ayah. Si Bucin juga terlihat menahan amarah. Tangannya mengepal. Urat-urat-nya terlihat di tangan dan di kepalanya. Wajahnya memerah.

Aku ingin bertanya. Terlambat. Peluit sudah berbunyi. Perlombaan di mulai. Tim tuan rumah dan tim tamu berjalan ke tengah lapangan. Wasit melempar bola. Bola melambung tinggi.  

Aku melirik-lirik pada Ayah yang memperhatikan permainan tanpa ekspresi. Tatapan Ayah mengikuti kemana kapten tim basket kami berlari. Tidak pernah Ayah melepas tatapannya.

Selama permainan berjalan, tatapanku tidak pernah lepas dari Ayah. Dan Ayah tetap terus memperhatikan Si Bucin. Kegiatanku menatap Ayah terhenti jika ada pergantian pemain. Sudah menjadi tugasku menyiapkan minuman untuk para pemain yang istirahat setelah bermain.

Hingga permainan selesai mata Ayah masih terus mengikuti Si Bucin. Si Bucin yang melakukan tos dengan anggotannya. Tim basket kami menang. Dan aku yang masuk bagian tim basket juga turut senang. Mama Si Kembar paling heboh, partnernya adalah Bunda. Mereka berdua dengan semangat empat-lima berseru yel-yel yang sudah mereka siapkan beberapa hari yang lalu.

"Daeng! Daeng! Daeng! Zaffar hebat! Tim Basket hebat! Yeah!"

Aku menunduk malu. Melihat kelakuan Bunda dan Mama Si Kembar. Zaffar yang berdiri di sampingku tersenyum kecil. Kecil. Sangat kecil.

Aku mendengus. "Kalau senyum. Senyum aja. Nggak usah malu-malu."

Zaffar kembali dalam mode datar. Berjalan keluar lapangan.

"Aya!"

Aku mencari sumber suara. Ica terlihat berlari ke arahku. Beberapa kali dia menabrak orang. Kepalaku bergerak ke kanan dan kiri melihat gadis mungil yag berlari heboh itu. Aku bingung Ica itu ikut siapa di keluarganya. Secara Abi dan uminya adalah orang yang kalem nan tenang.

"Kita menang!"

Ica melompat dan memelukku erat. Aku hampir terjengkang ke belakang jika saja tidak ada orang yang menahangku dari belakang.

"Hati-hati Ica."

Zaffir yang menahan punggungku bersuara.

Ica nyengir. Mengangkat jari telunjuk dan tengahnya.

"Makasih Zaffir."

Zaffir tersenyum ke arahku. "Sama-sama Aya."

"Mana kembaranku Ay?"

"Keluar tadi. Nggak tau kemana?"

Aku mengedarkan pandangan mencari Ayah. Kursi yang tadi Ayah duduki sudah kosong. Aku melihat seluruh tempat penonton. Barangkali Ayah bertemu dengan kenalannya. Nihil. Ayah tidak ada.

Aku berlari keluar lapangan.

"Mau kemana Ay?!" Ica berteriak.

"Keluar sebentar!"

Aku berlari menyusuri koridor-koridor sekolah. Pergi ke toilet. Kantin. Hingga tempat parkiran. Mobil Ayah masih ada di parkiran. Ingatanku kembali mengulang. Apa Si Bucin tadi ada dengan tim basket lainnya?

Aku memegang dahiku mencoba mengingat. Napasku memburu. Keringat bercucuran. Bagaimana kalau Ayah bertemu dengan Si Bucin? Kenapa aku jadi takut seperti ini? Ini sudah menjadi konsekuensinya 'kan?

Lihat selengkapnya