Kemenangan tim basket dimeriahkan. Mama Si Kembar berinisiatif membuat syukuran. Semua anggota basket sekolah kami diundang ke rumah Si Kembar. Rumah nan megah itu sudah dihiasi dengan lampu di mana-mana. Anggota basket datang berbondong-bondong.
Ini hanya acara biasa. Hanya acara makan-makan saja. Halaman belakang rumah dijadikan tempat acara. Halaman belakang Si Kembar beda dengan halaman belakang di rumahku. Halaman belakang mereka jauh lebih luas. Di tambah ada kolam renang di tengahnya. Halaman belakang itu sudah dipenuhi anggota tim basket. Orangtuaku dan orangtua Ica juga hadir, tapi mereka memilih ruang tamu sebagai tempat berkumpul. Si Bucin belum datang. Kata temannya dia sedikit terlambat.
Saat ini aku duduk sendiri di ayunan yang tidak jauh dari kolam. Menggenggam ponsel. Menatap air kolam yang tenang. Ica lagi sibuk mengambil makanan di pojok halaman. Bang Kiki sudah bergaul dengan anak-anak tim basket. Segala lelucon dia keluarkan. Terlihat Bang Kiki sedang berduet dengan anak basket yang hobby ngelucu. Suara tawa membahana memecahkan kesunyian di malam hari. Zaffir juga ikut berkumpul dengan Bang Kiki. Zaffar dia terlalu sibuk dengan dunianya. Ponsel di tangannya tidak pernah lepas. Aku sering heran dengan Si Datar yang satu ini. Ponselnya seakan sudah tertempel di tangannya.
"Ay. Mau es krim nggak?"
Ica sudah duduk di sampingku setelah berkelana mencari isi perut. Menyodorkan gelas yang sudah berisi es krim beraneka rasa.
"Dingin Ca. Sudah malam kayak gini masih makan es krim."
"Enak tahu Ay."
Ica mulai menyuapi es krim yang dia bawa tadi ke dalam mulutnya.
"Kamu dingin karena nggak pake jaket kali Ay."
Aku melihat penampilan Ica malam ini. Gamis berwarna biru muda panjang menutupi tubuhnya. Jilbab sepinggang yang berwarna biru tua. Dan jaket berwarna serupa dengan jilbabnya tersampir di pundaknya.
"Ambil jaket sana." Ica berseru. "Nanti kamu sakit, bisa repot jadinya."
Ica memberiku kunci mobil Ayah. Aku menatap Ica bingung.
"Tadi bundamu nitip. Katanya nanti kamu perlu." Ica masih sibuk dengan es krimnya.
Aku mengangkat bokongku. Berdiri. Berjalan masuk ke dalam rumah. Aku menyusuri rumah besar Si Kembar. Rumah mereka sangat besar. Aku tidak bisa memprediksi bagaimana bentuk rumah mereka.
Sebelum keluar rumah. Aku melewati ruang tamu dulu. Ruangan besar itu di tempati Ayah and the geng-nya. Aku menyapa sebentar. Memberi tahu tujuanku. Dan kembali berjalan menuju teras rumah. Dari teras rumah aku masih berjalan sedikit jauh menuju parkiran. Kakiku sudah pegal. Mencari tempat parkir mobil Ayah.
Dapat, mobil Ayah terparkir dua mobil dariku. Aku membuka pintu mobil. Dan mencari jaket hijauku di dalam. Jaket hijauku teronggok di bawah kursi mobil. Aku mengebas-ebas sebentar jaketku. Dan mulai memakainya. Setelah urusanku selesai. Aku mulai keluar dari mobil. Dan mengunci kembali mobil Ayah.
Aku memilih berjalan-jalan sebentar di taman depan. Menyusuri bunga-bunga yang di taman yang berjejer rapi. Rumput-rumput yang dipangkas rapi. Air mancur yang berdiri gagah di tengah taman. Kegiatan berjalan-jalan tidak berlangsung lama. Penghilatanku terganggu dengan seorang laki-laki yang mondar-mandir di teras. Depan pintu rumah Si Kembar. Aku menatap punggung yang familiar itu. Sekarang laki-laki itu mengangkat tangannya meraih knop pintu. Tapi tidak jadi. Dia kembali menurunkan tangangnya. Dan kembali mondar-mandir.
Aku berjalan mendekat.
"Kenapa nggak masuk?"
Aku sudah berdiri di samping Si Bucin—Laki-laki yang mondar-mandir tadi. Si Bucin menatapku dalam.
"Takut karena terlambat?" Aku memasang senyuman. "Atau takut karena seseorang?"
Si Bucin tidak menjawab. Dia membalikkan badan. Mulai melangkahkan kaki menjauh dari pintu. Dengan cepat aku menahan jaket kulit yang dia pakai. Menariknya mendekat.
"Ikut aku."
Aku membuka pintu, lalu menarik Si Bucin masuk. Suara di ruang tamu berhenti. Semua menatapku dan Si Bucin yang berdiri di sampingku. Aku tersenyum kecil melihat reaksi Ayah. Ayah menatap tajam. Tapi bukan untukku, tapi untuk orang di sampingku. Dan Bunda, orang yang mengandungku selama 9 bulan. Menatap teduh orang di sampingku. Orangtua Ica dan Si Kembar hanya menatapku kaget. Aku tersenyum sebentar. Dan kembali menarik Si Bucin. T
ujuan kami sekarang adalah halaman belakang. Tinggal satu orang lagi, aku ingin lihat bagaimana reaksinya.
Selama perjalanan Si Bucin tetap diam. Dia terlihat patuh. Atau mungkin dia memang sengaja?
Tapi aku tidak pusing. Aku hanya ingin tahu seperti apa reaksi mereka. Hanya itu. Tidak lebih. Tidak kurang.
Dan kalian tahu bagaimana reaksi Bang Kiki?
Bang Kiki yang lagi tertawa dengan anak-anak basket, merubah ekspresinya seketika saat melihatku dengan Si Bucin. Rahangnya mengeras. Matanya tajam mengarah kepadaku. Bang Kiki berdiri dan berjalan ke arahku. Suasana yang ramai kini hening seketika. Aku masih setia memegang jaket Si Bucin.
Lima… Empat… Tiga… Aku menghitung lambat langkah kaki Bang Kiki.
"Bang."
Zaffar menghalangi langkah Bang Kiki.
Tapi nihil. Bang Kiki dengan mudahnya menyingkirkan Si Datar. "Jangan ikut campur."
Ica terlihat ingin mendekat tapi Zaffir menahannya. Menggelengkan kepalanya kepada Ica. Ica hanya menatapku iba.
Dengan sekali hentakan Bang Kiki menarikku dari Si Bucin. Mendekat di sisinya. Bang Kiki mencengkeram pergelangan tanganku keras.
"Argh…" Aku meringis kesakitan.
"Ikut Abang." Bang Kiki menarik tanganku paksa.
"Bang sakit…"
"Dia kesakitan." Si Bucin menahan tangan Bang Kiki.
Bugh!
Dengan tangannya yang mengepal, Bang Kiki mendaratkan kepalannya di rahang kokoh Si Bucin. "Jangan berani-berani ikut campur!"
Setelah menonjok Si Bucin. Bang Kiki kembali menarikku. Aku kembali meronta-ronta minta dilepaskan. Namun nihil. Aku baru tahu kemarahan Bang Kiki seimbang dengan kejahilannya.
Bang Kiki menaiki tangga yang dekat dengan dapur. Di rumah Si Kembar, mereka memang memiliki dua tangga menuju lantai atas. Satu di ruang tamu dan satunya lagi tangga yang sedang aku dan Bang Kiki naiki. Selama perjalanan beberapa pelayan rumah Si Kembar, membungkukkan badan kepadaku dan Bang Kiki sekaligus menatap takut pada Bang Kiki. Tangga ini memang dibuat khusus untuk para pelayan rumah. Tidak heran banyak pelayan yang berada di sekitar sini. Sebagian besar sudah mengenal kami—aku dan Bang Kiki.
Bang Kiki membawaku ke ruangan yang sudah menjadi markas kedua kami—ruangan Mbak Ara. Di tengah rintihanku aku masih bisa mendengus. Ternyata Bang Kiki sudah tahu sampai ke markas kami.
Bang Kiki menarik kuat pintu. Membukannya. Mendorongku ke dalam. Aku pikir dia akan mengunciku dari luar. Ternyata salah, Bang Kiki ikut masuk ke ruangan Mbak Ara. Aku bersyukur dia tidak sampai mengurungku di ruangan ini. Aku menyentuh pergelanganku yang sedikit lebam.