Hari ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Pagi-pagi sekali aku sudah menuju tempat aku dan Si Bucin akan bertemu.
Aku menatap jalanan yang masih lenggang. Aku datang lebih dulu dari pada Si Bucin. Baru aku seorang pelanggan di café ini. Aku duduk manis di meja paling pojok tempat yang dipilih Si Bucin dulu. Mendengarkan lagu yang mengalun indah ditemani milkshake minuman kesukaanku dan Ayah. Beberapa menit yang lalu aku sudah mengirim pesan untuk Si Bucin. Memberitahunya kalau aku sudah di café. Seharusnya dia sudah sampai. Sekali lagi aku menatap jam di dinding café. Kemudian menatap pintu masuk.
Aku kembali menatap jalanan. Baru beberapa menit aku duduk termenung. Bel pintu berbunyi, pertanda ada orang yang masuk ke dalam café. Aku tersenyum lega menatap Si Bucin—orang yang baru masuk tadi. Bisa mati bosan dan penasaran jika aku masih menunggu lama di sini.
"Kepagian Alana."
Si Bucin duduk di hadapanku, di pipinya ada sedikit lebam bekas tonjokan Bang Kiki semalam.
"Lebih cepat lebih baik."
"Ini bukan masalah cepat-baik Alana." Si Bucin menatapku teduh. "Ini masalah seberapa baik kamu akan menerimanya."
"Jangan berbelit-belit."
"Masalah kita sudah berbelit-belit Alana."
Si Bucin memanggil pelayan dan menyebut pesanannya. Aku menunggu.
"Kamu tidak membawa anak buahmu?"
"Ini masalah kita berdua."
Bukan itu alasannya. Sebenarnya Ica dan Si Kembar akan ikut. Namun keadaan yang tidak mendukung. Pagi-pagi sekali tadi Ica sudah di jemput abinya, katanya mereka ada acara keluarga. Sedangkan Si Kembar, Mama mereka minta ditemanin ke pasar, dan permintaan Mama Si Kembar tidak bisa ditolak.
"Tanpa mereka sadari, mereka sudah masuk dalam masalah kita ralat masalah keluarga kita."
Aku menatap bingung sekaligus penasaran pada Si Bucin.
Si Bucin menatapku dengan raut yang sulit ditebak. "Kamu mau dengar rahasia yang tersembunyi selama bertahun-tahun Alana?"
******
Aku bergegas pulang setelah mendengar cerita dari Si Bucin. Aku sulit menerima semua yang dikatakan Si Bucin.
Keluarga yang selama ini aku bangga-banggakan tidak seperti yang aku pikirkan. Tidak seperti yang aku lihat. Keluarga yang bahagia, namun ternyata menyimpan rahasia kelam. Mataku sudah sembab selama perjalanan pulang. Beberapa kali supir taksi menanyaiku. Apakah aku baik-baik saja? Aku tidak merespon. Pikiranku masih berkecamuk dengan kenyataan keluargaku.