"Aya." Suara Bunda terdengar dari luar kamarku.
"Kamu belum makan loh. Buka pintunya sayang."
Dengan langkah pelan aku membuka pintu kamar. Bunda tersenyum menyambutku.
"Baru sehari kamu nggak makan sudah terlihat kurus kayak gini. Jangan mogok makan lagi ya?"
Aku tidak menjawab. Aku kembali ke atas kasur. Duduk diam.
Helaan Bunda terdengar di telingaku. Bunda menutup pintu kamarku. Berjalan ke arahku, lalu menaruh nampan yang dia bawa di atas nakas. Bunda duduk di sampingku sambil merapikan anak rambutku yang mencuat dari dalam jilbab.
"Putri Bunda nggak cantik lagi kalau kurusan kayak gini. Kamu makan ya?"
Aku menatap wajah Bunda yang menampilkan senyum teduhnya.
"Bunda." Suaraku terdengar serak.
"Kenapa sayang?"
"Kenapa? Kenapa Ayah seperti itu?"
Cairan bening di mataku kembali mengalir ke sekian kalinya.
Bunda membawa tubuhku ke pelukannya. "Semua manusia punya masa lalu sayang. Dan ini masa lalu Ayah."
"Kenapa semuanya harus disembunyi dari Aya, Bun? Apa karena Aya nggak kuat? Karena Aya akan tersakiti? Aya lebih memilih jujur tapi melukai dari pada bohong tapi sakit seperti ini."
Suaraku melemah dan kembali terisak-isak.
Bunda mengelus punggungku berusaha menenangkan.