RIFAYYA

Humairoh
Chapter #21

With Alan's Family

Di sinilah aku dan Bang Kiki sekarang. Dapur menjadi pilihan kami. Karena mustahil jika kami berdua mengobrol di halaman belakang, halaman belakang sedang diguyur hujan deras.

Dengan diseduhi teh yang aku buat tadi, aku dan Bang Kiki duduk saling berhadapan. Menyesap teh masing-masing.

"Maafin Aya Bang." Aku mulai membuka suara.

Bang Kiki menghentikan gerakan meminum tehnya. "Kamu nggak ada salah sama sekali. Ayah dan Abang yang salah."

Aku fokus menatap Bang Kiki yang memainkan gelas di tangannya.

"Kami berdua yang mulai membuat rahasia ini. Karena takut Bunda akan terpuruk seperti dulu."

Bang Kiki tersenyum ke arahku.

"Kamu tahu apa yang paling membuatku bahagia?"

Aku tidak menjawab hanya menunggu kelanjutan cerita Bang Kiki.

"Saat mendengar Bunda hamil aku yang paling bahagia sekali. Menunggu kelahiran adikku. Menerka-nerka siapa adikku, apakah laki-laki atau perempuan. Tapi aku berharap adikku perempuan, biar satu pasang. Dan keinginanku akhirnya tercapai. Adikku perempuan." Bang Kiki menatapku sebentar. Dan melanjutkan kembali ceritanya.

"Tapi semuanya hancur. Saat Ayah membawa bayi laki-laki digendongannya. Aku marah, saat itu aku pikir Ayah menukar adik perempuanku. Aku tahu persis, kalau adikku perempuan, bukan laki-laki yang Ayah bawa. Dan adikku tidak punya kembaran. Besoknya aku tahu dia memang adikku tapi kita beda rahim. Aku yang masih kecil saat itu harus mengalami kepahitan hidup. Bunda jatuh sakit selama berhari-hari. Adikku yang tidak bersalah sama sekali terbiarkan begitu saja. Dan Ayah bingung harus berbuat apa."

Aku diam, mendengar seksama perkataan Bang Kiki.

"Karena Bunda yang hampir stres, akhirnya Ayah membuat keputusan. Menyembunyikan ini semua. Membuat ini semua seakan-akan tidak pernah ada. Ayah masih selalu mengirim uang untuk membiayai anak itu. Tapi dengan syarat jangan pernah menunjuk wajahnya di depan kami."

"Kalian egois."

"Kami memang egois, tapi itu semua sudah terjadi Ay. Dan itu salah satu kesalahan terbesar kami."

"Kalian tidak memikirkan masalah yang kalian buat akan berdampak di kemudian hari?"

"Kami tidak berpikir sampai di situ. Yang kami pikirkan, bagaimana caranya keluar dari masalah yang kami hadapi saat itu. Tanpa kami tahu selama tujuh belas tahun belakangan ini Bunda sudah baikan. Namun kami terus menyembunyikannya tanpa memikirkan orang yang akan tersakikti."

Aku berdiri dan menatap Bang Kiki lekat. "Antar Aya. Antar Aya ke rumahnya Alan."

"Ini sudah malam Aya."

"Masih jam sepuluh lewat. Aku masih punya waktu."

Aku meninggalkan Bang Kiki sendirian. Menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Dengan gerakan yang cepat aku mengambil ranselku mengisi seragamku dan bukuku. Aku berniat menginap di sana. Masih banyak yang harus aku tahu.

Setelah semuanya beres. Aku mulai membawa ranselku. Keluar dari kamar dan bergegas menuruni tangga. Bang Kiki sudah berdiri di bawah tangga.

"Ayo Bang."

"Kalau Bunda nanya gimana nanti?"

"Abang tinggal bilang lah, atau Aya yang izin sekarang."

Bang Kiki dengan cepat menahanku yang mulai menaiki tangga lagi.

"Okey. Nanti Abang yang bilangin."

Aku tersenyum puas dan berjalan duluan meninggalkan Bang Kiki di belakang.

Selama perjalanan tidak henti-hentinya Bang Kiki memberiku tawaran agar tidak pergi atau menginap di rumah Si Bucin, mungkin sekarang aku tidak bisa mengatakan gelar itu lagi.

Dia Alan adalah saudaraku.

"Abang beliin kuota buat kamu sepuasnya nonton drakor."

Lihat selengkapnya