Sudah terhitung enam hari aku dan Ayah tidak saling menegur. Walaupun kami berpas-pasan tidak ada yang membuka suara. Atau yang lebih parah kami berdua seperti salah tingkah.
Seperti malam ini aku yang sedang melihat langit malam, tiba-tiba Ayah timbul. Ayah hanya menggaruk kepalanya, sepertinya Ayah tidak tahu ada aku di halaman belakang.
Aku menahan tawa melihat kelakuan Ayah. Ayah seperti orang kehilangan arah. Akhirnya setelah beberapa kali Ayah mondar-mandir, Ayah memilih menduduki kursi di sebelahku.
Tidak ada yang bersuara di antara kami.
Aku sibuk melihat langit malam. Aku tidak tahu Ayah sedang apa, karena aku tidak meliriknya sedikitpun. Yang aku tahu Ayah cuman duduk di sampingku.
Aku melihat bayangan menjulang dari arah dalam rumah. Aku tertawa kecil. Itu pasti Bunda dan Bang Kiki.
"Ayah punya waktu besok?" Aku bertanya tanpa menolehkan kepala menatap Ayah. "Kalau Ayah punya waktu besok. Aya mau ajak Ayah jalan-jalan. Hanya berdua."
Aku langsung berdiri setelah selesai mengajak Ayah berpergian. Masuk ke dalam rumah dan berpas-pasan dengan dinding bertelinga. Bunda dan Bang Kiki yang nyengir sambil mengangkat jempol mereka. Aku menahan tawa, lalu mengangkat jempolku juga.
Ini misiku.
******
Aku berjalan menyusuri jembatan yang dibangun di atas pantai. Ayah mengikutiku dari belakang.
Aku berhenti di tepi jembatan. Ayah ikut berdiri di sampingku.
"Ayah merasa bersalah?" tanyaku sambil menatap ombak-ombak yang saling berkejaran.
"Ayah merasa bersalah sekali Aya."
"Dengan anak yang sudah Ayah lantarkan. Apa Ayah merasa bersalah dengannya?"