Tiga hari setelah kejadian di hotel, Elva belum masuk kuliah. Begitu pula Halbi, sepertinya hal itu memberikan efek syok yang dahsyat pada mereka. Tapi Firisha tak mau tahu, siapa bermain api ia akan terbakar.
Untuk mengalihkan perhatian, Firisha meminta Rion ikut ke pasar bibit dan tanaman hias di daerah Pasar Nongko. Besok di Institut ada kegiatan menanam pohon di salah hutan kampus. Rektor menghimbau setiap mahasiswa memberikan satu bibit pohon untuk ditanam. Akhirnya pria itu menemani Firisha membeli bibit pohon mangga, sedangkan dirinya memilih bibit pohon alpukat.
Usai berbelanja, mereka segera kembali ke institut karena Rion dan teman sekelasnya ada tugas beres-beres peralatan pentas, masih ada beberapa orang di dalam. Firisha turut membantu pekerjaan pacarnya agar cepat selesai, sehingga mereka bisa secepatnya pulang dan istirahat.
"Fir, katanya cermin misterius itu ada di salah satu ruangan gedung ini loh." ucap Rion di sela beres-beres.
"Misterius bagaimana?" Firisha hanya setengah menyimak.
"Yang katanya bisa membawa kita ke dunia lain..."
"Seperti yang Tian bilang? Kamu percaya sama cerita begituan?" tanya Firisha sambil terkekeh.
"Nggak juga. Tapi pelukis seperti kamu masa' nggak tertarik?" balas Rion.
Firisha memukul lengan pria bermata tajam itu, "ih belum jadi pelukis tau! Lah kamu kira anak jurusan lukis harus semua tertarik sama hal nggak masuk akal? Kenapa, mau cari cermin itu?" tawarnya.
Rion mengangguk. Ia senang Firisha bukan tipe perempuan yang mengedepankan ego, gadis itu mempunyai toleransi atas apa yang menjadi pikiran Rion. Akhirnya kedua manusia itu tetap berada di sana dengan alasan wifi. Dengan cahaya ruang yang benderang mereka terus duduk menengkuri layar hp seperti orang sibuk, padahal keduanya hanya saling berbalas chat. Begitu teman terakhir pergi, mereka berdua mulai mematikan lampu ruangan tadi dan berkeliling dari ruang satu ke ruang yang lain. Bangunannya lumayan luas, banyak pintu, juga lorong.
Rasa penasaran membuat mereka terus berjalan dan mengecek setiap ruangan. Padahal hari sudah mulai malam, hanya lampu bagian depan gedung yang nyala. Dan pasti sebentar lagi satpam akan berkeliling memeriksa dan mengunci pintu. Mereka terus berjalan dengan penerangan senter hp.
"Mungkin cuma kabar burung saja ya?" tanya Firisha setelah ikut mengecek beberapa ruangan.
"Mungkin. Tapi masih ada dua ruangan lagi. Sekalian deh... "
Firisha menurut saja, sudah lebih setengah jalan, tanggung kalau mundur. Pintu selanjutnya yang mereka buka adalah ruangan alat musik yang jarang dipakai. Sebagian besar alat-alat itu disimpan di Gedung Etnomusikologi, tapi yang jarang digunakan berada di sini.