Riflessione

Al-al Malagoar
Chapter #2

Bab 2

Bab 2

Senandika Atma Kertanegara adalah sebuah dongeng. Parasnya yang rupawan sanggup menggulingkan pesona Dewi Aphrodite. Ia indah. Bahkan lebih dari itu. Kulitnya eksotis. Cokelat serupa lelehan gula karamel. Halus dan mengilap laksana batu akik. Rambutnya bergelombang, panjang dan tebal, berjuntai-juntai bak gelondongan kabel telepon. Hidungnya tinggi dan runcing. Tidak terlalu berlebihan jika disandingkan dengan penampakan pisang raja. Bibirnya seperti semangkuk roti kacang yang baru saja dikeluarkan dari pemanggang. Mereka memantul-mantul, terlihat begitu kenyal, dan basah, dan merah seumpama segelas anggur. Tubuhnya tinggi dan ramping. Pundaknya sempit, tapi liat, tapi kukuh dengan balutan blazer putih. Matanya hitam. Sehitam malam pukul sebelas dini hari, dengan bercak-bercak lampunya yang berpijar seumpama cublik.

Putri tunggal trah Atma Kertanegara. Bisnis tambang keluarganya melakukan ekspor besar-besaran tahun lalu. Usaha properti kelolaan mereka, menggurita di sebagian Asia. Pabrik-pabrik besar farmasi yang mereka miliki, mampu memonopoli dunia farmasi Indonesia. Singkat cerita, dunia beserta isinya takluk tidak berdaya di bawah tumit kaki seorang Senandika Atma Kertanegara. Ia bisa mendapatkan apa pun yang ia miliki hanya dengan sebuah telunjuk tangan—apa pun. Jika ia bersabda A, maka Iblis sendiri yang akan mendatangkan A di hadapannya apa pun halangan yang ada—bahkan jika itu Firman Tuhan sekalipun.

Senandika Atma Kertanegara memang sebuah dongeng. Semua laki-laki jatuh cinta padanya. Semua perempuan cemburu pada kecantikannya. Dan baik Ayu maupun Ganggi tidak menafikan keberkahan tersebut. Keanggunannya, kemolekan tubuhnya, semua yang melekat pada ia, ibarat kristal yang disepuh oleh panas bumi beberapa abad sebelum masehi.

“Jujur saja saya kecewa dengan performa Prada FM bulan ini.” Andi—panggilan akrab Senandika—membolak-balik laporan keuangan yang akuntannya suguhkan. “Rating kita turun di saat kita jor-joran mengiklankan Prada di mana-mana. Majalah, koran, videotron di jalan-jalan protokol, bahkan teve di jam-jam jumlah penayangan paling tinggi. Tapi lihat. Semuanya gagal total.” Perempuan itu melipat bibir membentuk garis lurus. Ia menutup kasar laporan keuangan dan melemparnya ke tengah meja. Para pegawai yang ikut rapat, tersentak dengan perbuatannya barusan. “Kalau seperti ini terus, apa yang mau saya presentasikan di hadapan Mas Sabrang? Saya tidak melihat ada satu pun profesionalisme di hadapan saya. Apa perlu saya mendatangkan trainer untuk mengajari kalian cara bekerja dengan benar? Saya butuh pertanggungjawaban!”

Ruangan sunyi senyap. Napas-napas yang diembuskan pun seakan-akan terlalu takut untuk dikeluarkan oleh lubang-lubang hidung. Tiga hari pascagajian, dan Ayu baru saja mengisi lumbung padinya dengan beberapa sak beras, tapi tetap saja Senin mendung ini sesial Jumat sore di penghujung bulan. Aura yang dikeluarkan Andi tidak pernah bisa bersahabat jika itu menyangkut pekerjaan. Ia bahkan lebih mengerikan daripada isi dompet di tanggal 25 itu sendiri.

“Sebelumnya sorry, And, kalau gue harus angkat bicara di saat seperti ini.” Tyo, salah seorang penyiar senior di sana, berdeham. Memecah kebekuan ruang meeting itu dengan suaranya yang lantang. Ia mengedarkan pandang, lalu melanjutkan, “Gue tahu acara Wanderlust Waves ini yang paling beda dari radio lain. Katakanlah Prambors atau Gen FM. Tapi menurut gue untuk penayangan di drive time, Wanderlust Waves terlalu memakan tempat. Terlalu segmentasi. Pasar yang disasar jadi nggak luas. Ia hanya sibuk mengulas tentang traveling.” Rambutnya pendek dan keriting. Bapak beranak satu ini gemar sekali membawa bekal ke kantor. Sering dijuluki family man. Tapi tegas dan disiplin kerjanya tinggi. Penyiar dengan jam drive time pula, tapi di sesi sore hari. “Itu jam paling banyak peminatnya. Radio lain memiliki penyiar yang biasa tampil di teve seperti Arie Dagienkz, Ronald Suryapradja, atau Tike Priatnakusumah. Atau kalau nggak, mereka mendatangkan artis untuk jadi bintang tamu. Kemarin waktu gue iseng dengerin Mustang FM, mereka ngundang Ada Band. Sementara kita? Udahlah dari radio kecil, penyiarnya bikin onar melulu, programnya pun tentang liburan lagi. Susah, And, kalau mau menyasar ke banyak pihak.”

“Mohon maaf, Bang. Selama ini kayaknya gue nggak ada nyenggol-nyenggol acara elu, deh, kenapa lo tahu-tahu nyerang gue kayak gini, ya?” Abimana yang merupakan penyiar acara Wanderlust Waves berseru lantang. Pagi ini ia mengenakan baju pantai berwarna kuning mencolok. Begitu kontras dengan suasana mendung dan tegangan tinggi di ruangan tersebut. “Hal random apa yang gue lakukan sampai lo seolah-olah bisa seenak itu ngeludahin gue? Dan lagi, bukankah selama ini rating acara gue nggak ada masalah?”

“Gue nggak ada nyenggol lo, Bim. Serius. Gue cuma mengkritisi kebijakan radio kita yang menaruh Wanderlust Waves di acara sepenting drive time. Acara lo emang oke. Tapi seperti kata gue tadi, terlalu segmentasi. Soalnya hanya mengulas traveling dan liburan. Kalau acara lo ditaruh di hari-hari menjelang weekend seperti kamis, Jumat, atau Sabtu ataupun di jam di luar drive time, gue rasa bakal mantep banget.”

“Kalau-kalau lo lupa, lo pernah menghadirkan kepala desa dari salah satu daerah di Jawa Tengah untuk jadi narasumber di acara lo, sih.” Ganggi menimpali. Perempuan mungil berambut pendek dengan kacamata bulat yang pagi itu mengenakan blus biru toska. Ia mendengus sinis sambil mengelus-elus kukunya. “I think we all agree, that was the dumbest thing that made our ratings tank for weeks."

“Kak, gue udah minta maaf dan bertanggung jawab, lho. Masih aja lo ungkit-ungkit kejadian tahun lalu.”

Sorry, Bim, tapi berkat lo tiga sponsor kita menarik diri dan Prada rugi hampir seratus juta. Mau lo sujud sambil nangis juga nggak akan menghapus fakta itu. What's going on in your head that makes you act so dumb?”

“Ada begitu banyak tempat wisata di lereng Pegunungan Kendheng, Kak, dan gue mau mengeksplor itu dengan mendatangkan petugas yang berwenang. Lagian, berkat segmen itu, wisatawan di Gua Pancur naik beberapa kali lipat. Ketololan yang Kakak sebutkan tuh nonsense.”

Is it because of your dumb show, or is it just the holiday season making their tourist spots so much busier? Mikir, dong, makanya sebelum lo ngajak tamu ke sini. Rensi-rensi lo hampir semuanya nggak ada yang dikerjakan.

“Apakah saya harus melepaskan kalian dan bertengkar seperti sekawanan babi di atas meja?” Andi menggeram, menutup mata, nyaris melemparkan tab ke arah para penyiarnya. Ia menatap malas Abimana dan Ganggi secara bergantian, lantas mendesah besar. Dipijatnya pertemuan alis sebab denyutan pening mulai merambat di sana. “Mudah banget kalau kita mau menyalahkan pihak lain. Sayangnya saya nggak butuh itu. Saya mau kalian bertanggung jawab. Bahkan martabat banci pun lebih berharga dibanding sekawanan bandit di hadapan saya saat ini.” Mantra sabar ia rapalkan kala menghadapi manusia-manusia dakocan serupa Ganggi dan Abimana. Jangan sampai ia kalap lalu membakar ruangan meeting. Ia butuh bersikap waras kalau tidak ingin ikutan gila. “Mas Adib ada yang mau disampaikan di sini?”

Yang disebut adalah seorang teknisi siaran. Pria berkepala lima yang baru bergabung dengan Prada FM tiga tahun belakang. “Aku akui bulan ini kita sering mengalami beberapa gangguan teknis selama siaran live,” paparnya. “Mixer kita sudah tua dan sering getting trouble. Hal itu bikin transmitter kita terganggu. Dan karena itu pula nggak jarang kita dead air. Mending tutup aja, nggak, sih, radionya kalau setiap siaran malah dead air? Dan kalian pikir, apakah pendengar akan setia pada kita kalau kualitasnya saja kayak gini?” Mas Adib tertawa hambar.

“Mas ada saran untuk mengatasi ini?”

“Dengan kondisi sekarang ini, And, kita nggak hanya butuh mixer baru, tapi juga upgrade sistem back up. Dengan begitu, kalau satu sistem gagal, sistem cadangan bisa langsung mengambil alih.”

“Saya udah baca laporan Mas sejak ada kerusakan pada mixer. Saya juga sudah setuju untuk dilakukan penggantian. Kenapa masih dipertahankan?”

“Untuk menjawab pertanyaan itu, aku serahkan sepenuhnya kepada pihak keuangan sebab seperti kita tahu, mereka banyak memangkas anggaran bulan ini. Dan jangan terkejut, anggaran untuk teknisi juga menjadi sasaran.”

“Tapi kalau Wanderlust Waves yang gue bawakan harus dipindahkan jam tayang di hari-hari weekend gue agak keberatan, Kak. Sekarang gue kerja di jam rutin saja, gaji gue nggak mampu menampung hidup gue selama sebulan di Jakarta. Gimana kalau gue siarannya cuma dua atau tiga hari doang? Gue harap Kak Senandika turut memikirkan kondisi perekonomian gue.”

“Ganggi Naladipa? Mas Nara? Ada yang ingin kalian sampaikan untuk membuat saya sedikit senang hati di pagi ini? Sekaligus membuktikan bahwa kalian tidak termasuk bandit-bandit tidak profesional seperti yang saya sebut di pembuka rapat?” Andi sepertinya membutuhkan lima butir aspirin saat itu juga. Ia menyisipkan rambutnya ke belakang kuping, dan menumpukan sebelah tangan di dagunya yang lancip. Matanya terpusat kepada para akuntan kantor—benar-benar sepenuh hati mengabaikan curahan hati Abimana.

“Seperti yang barusan lo baca laporannya, And. Radio kita benar-benar dalam kondisi keuangan yang sulit. Lo pikir mengganti mixer dan upgrade sistem nggak menghabiskan banyak biaya? Belum yang kata Bang Tyo tentang perubahan segmen drive time kita.” Ganggi Naladipa menggelar kasus perkara. Di dalam perusahaan itu, selain Andi maupun Mas Sabrang, mungkin hanya Ganggilah yang sabdanya dipatuhi dengan takzim. Ultimatumnya jarang ada yang menggugat. Perempuan itu benar-benar galak jika berhubungan dengan keuangan kantor. “If you want to let our radio station go bankrupt, I could just accept everyone's financial proposals. Gue juga nggak ingin menolak semua proposal pengadaan barang yang masuk, but I'm just doing my job. I'm just trying to balance income and expenses. Nggak lebih.”

“Gi, aku tahu permasalahan keuangan radio kita. Tapi kalau kita menekan biaya terus-menerus, bagaimana cara kita mendatangkan banyak pendapatan dengan siaran yang transmitter-nya terganggu? Kita perlu berinvestasi di peralatan baru.”

I really do understand, Mas. Tapi kita realistis aja, deh. Jangan terlalu gambling. Pendapatan iklan kita menurun, lho. Kita perlu pemasukan lebih banyak sebelum mengganti peralatan-peralatan yang Mas Adib sebutkan barusan.”

Sorry, Gi. Tapi gue setuju dengan Mas Adib.” Tyo kembali urun rembuk. “Minggu lalu kita kehilangan banyak pendengar saat live broadcast karena gangguan teknis. Bahkan di acara gue pun sempat dead air selama lima menit. Kalau kita nggak berinvestasi sekarang, kita akan kehilangan pendengar lebih banyak lagi. Suka nggak suka, kita memang harus berjudi. Kita pelaku bisnis. Kalau mau yang lebih baik, ya harus mau mengeluarkan yang lebih banyak.”

Kayaknya lima butir aspirin belum cukup untuk meredakan ledakan stres di kepala, nih. Bagaimana kalau kautambahkan dengan beberapa strip parasetamol? Atau ibuprofen? Atau beberapa granat untuk meledakkan ruang meeting? Biar hancur sekalian beserta isi kepalanya? Mas Sabrang harus menaikkan gajinya, sih, kalau kayak gini masalahnya. Senandika berdeham, merebut semua atensi yang kucar-kacir di atas meja.

Okay. Untuk masalah mixer, saya tampung dulu, sambil akan saya evaluasi laporan keuangan Prada. Sekarang saya butuh perhatian ke acara drive time kita. Ada masukan biar bisa saya evaluasi bagaimana baiknya? Bang Tyo? Yu?”

Ayu yang sedari rapat ini tampak murung, sedikit gelagapan saat rusuknya disenggol Abimana. Ia berdeham guna mendapatkan kembali nyawa, lalu turut berkomentar, “Baik, karena dari tadi Bang Tyo udah ngasih pov menurutnya, sekarang aku mau ngasih sedikit insight dari sisi aku, ya.”

Suara empuk ubi cilembu itu benar-benar anugerah. Tegangan tinggi yang menindih kenyamanan Andi, secara ajaib terasa sedikit relaks. Intonasinya yang agak rendah seolah-olah memijat saraf-saraf yang mengetat. Andi mengembangkan senyum.

“Di sini aku setuju sama Bang Tyo. Kenapa? Bentar, Bim, aku bukannya mau mendegradasi siaran kamu, aku hanya ingin memberikan pandangan merujuk Andi butuh masukan untuk menyelamatkan nasib radio kita.”

Abimana merutuk sejadi-jadinya. Mungkin dalam hati ia sedang memberikan kutukan sumpah serapah kepada Ayu. Andi tidak begitu paham. Hanya saja mimiek wajah Abimana terlihat begitu kontras dengan nuansa baju kuningnya yang memang sesuatu. Bola naga masih ia genggam; ia mainkan di antara jari-jari. Dan jujur saja, sejak Abimana datang ke Prada sampai sekarang, Andi begitu penasaran. Sebenarnya bola naga koleksi Abimana itu apa? Apakah benar hanyalah permainan yang dia beli dari penampakan di kartun Dragon Ball? Tapi kenapa seolah-olah terlihat begitu... berharga? Selain itu, bola naga milik Abimana tampak familier bagi Andi. Andi sepertinya pernah melihat bola naga seperti itu. Tapi kapan dan di mana, ia juga tidak tahu pasti.

“Kenapa dinamakan drive time?” Ayu menatap satu per satu rekan kerjanya—utuh mengabaikan Abimana. “Ya karena acara itu memiliki puncak pendengar tertinggi di antara semua jam. Katakanlah siswa-siswa yang mendengar sambil berangkat sekolah, para pekerja di sepanjang perjalanan sebelum sampai ke kantor, ibu-ibu yang menyetel radio di tengah-tengah memasak untuk keluarga, dan masih banyak lagi,” ungkapnya hati-hati. “Dan di acara dengan arus pendengaran setinggi itu, wajar orang mencari siaran yang menghibur, atau tentang cuaca, atau bahkan tentang arus lalu lintas yang sesuai untuk mendukung mobilitas mereka.” Ia mengambil napas besar dan mengembuskannya perlahan-lahan. “Kita nggak perlu memindah progsi Wanderlust Waves, tapi kita bisa memasukkan di salah satu segmen. Dengan begitu, kita bisa bersaing secara ketat dengan radio lain dan memberikan berbagai macam hiburan menarik yang para pendengar butuhkan.”

Senyum Abimana seketika melebar. Ia menoleh ke arah Andi, seolah-olah mengatakan ‘Kan’ yang begitu kentara di raut wajahnya. Mau merobohkan program siarku? Tidak semudah itu, Kakak. Mungkin seperti itu yang Andi terjemahkan dari raut songong Abimana saat ini. Andi memutar bola mata, lalu mendengus menghadiahi perilaku penyiar bocahnya tersebut.

“Menarik. Saya suka dengan ulasan kamu, Yu. Ada penjelasan yang lebih detail tentangnya?”

“Kita bisa membuat segmen baru tentang Artist of The Weekend, yang akan disiarkan pada hari-hari tertentu. Pihak keuangan nggak usah ambil pusing terlebih dahulu, aku pernah membaca beberapa postingan artis yang pembayarannya bisa dilakukan dengan mempromosikan mereka di media sosial kita. Seperti katakanlah Facebook atau blog radio. Kita ambil artis-artis yang sedang meniti karier, seperti artis indie atau band indie sebagai contoh.”

“Yu, social media promotion also comes with costs. And if the artists we invite aren't engaging enough, terlebih seperti kata lo mereka artis indie, pendengar bisa bosan. Bisa-bisa mereka nggak kenal siapa artisnya. We might end up losing more than we bargained for.”

Ayu tersenyum simpul. Ia memosisikan tubuh supaya menghadap ke arah Ganggi seluruhnya. Setelah berdeham, Ayu menegaskan, “Gi, aku tahu tugasmu di radio ini untuk menekan cost supaya nggak meluber melebihi pagu anggaran dan pendapatan yang masuk ke kantung radio kita lebih banyak. You did your great job, Gi, seriusan. Tapi kalau kita berkubang di masalah keuangan terus-terusan, lalu apa yang akan kita peroleh? Acara kita terbukti sudah nggak update, alat teknis kita pada rusak, kamu mau mempertahankan nama perusahaan dengan cara apa lagi kalau nggak dengan mengambil langkah lebih besar?”

Lihat selengkapnya