Riflessione

Al-al Malagoar
Chapter #3

Bab 3

Bab 3

 

“Ouh... Ya, Tuhan.” Ganggi mengerang. Tubuhnya menggelinjang ketika lawan bermainnya menyapukan lidah di daerah kewanitaan. Apalagi sewaktu ia mengisap kuat, kulit Ganggi bergidik. Rambut-rambutnya meremang. Ia meremas payudaranya, dan kembali meracau seperti orang sekarat.

Laki-laki itu memasukkan dua jari, lalu menggunting. Ganggi melenguh mabuk kepayang. Siapa dia? Kenapa permainannya tidak waras kayak gini? Setelah hampir lima bulan alpa dari kegiatan olah kelamin dan selangkangan, kayaknya ini adalah seks paling hebat yang pernah ia lakukan, deh. Maksudnya, semua seks yang ia lakukan hebat—of course, she’s the queen, kalau Ganggi tidak salah ingat, kan? Tapi yang ini ngena banget gitu, loh. Mengentak sampai Ganggi bisa semaput kliyengan karenanya.

Laki-laki itu melakukan penetrasi, dan Ganggi suka dengan sensasi ini. Perasaan yang timbul kala tubuhnya mencengkeram erat, tapi juga lentur sehingga tidak mengakibatkan sakit. Mereka berayun, lalu saling dorong. Tubuh Ganggi bergetar. Pergumulan ini sungguh gila. Panas yang diakibatkan membuat Ganggi merasa tidak lebih dari sebuah lilin yang meleleh di bawah nyala api.

“Dorong yang kuat, Om.”

Ganggi Naladipa dan seks adalah sahabat karib. Dulu, ia sering banget having sex dengan cowok yang bahkan tidak ia kenal. Ia biasa melakukan one night stand berkali-kali ketika masih sekolah. Tidak hanya itu, apabila ia tidak punya pasangan buat melepas hasrat, ia gemar bermasturbasi. Ia sering nonton video porno—koleksi VCD dan majalah pornonya banyak banget kalau kau mau tahu. Setiap kali ia mengalami orgasme, ia akan puas. Dan apabila ia puas, ia akan merasa senang.

Kalau kau bertanya-tanya apakah sex addict-nya merupakan perilaku menyimpang? Ganggi juga tidak paham. Ia bahkan tidak tahu persis bagaimana kisah kecanduan seks itu dimulai. Semua terjadi begitu saja, alamiah, seolah-olah memang seperti inilah jati dirinya manusia. Jadi berprofesi pelacur pun bukan sesuatu yang perlu ia khawatirkan, kendati sebagian hatinya memberontak. Dan meskipun ia menderita setiap kali ia menerima uang dari pria yang telah ia layani, Ganggi tidak menampik bahwa tubuhnya merasa puas pula. Ini seperti buah simalakama.

Lucunya. Ketika ia mencoba berpuasa seks sebab Ayu sering menegurnya tentang bahaya seks bebas, Ganggi bisa stres. Cara berpikir dan kinerjanya bisa terpengaruh. Seolah-olah, kestabilan dalam tubuhnya terancam goyah. Makanya, tidak ada satu pun yang tahu, bahkan kedua temannya, bahwa ia sering melakukan masturbasi ketika masih di kantor—seperti yang ia lakukan lima bulan kemarin. Ini memang memalukan, tapi memuaskan dalam sekali waktu.

Ya, Ganggi akui, ia memang agak sinting.

“Engh….” Pergerakan laki-laki itu benar-benar di luar akal sehat. Pinggulnya yang liat terus menghantam. Keringat mereka banjir membasahi kulit, sehingga gosokan badan dengan badan itu mampu menimbulkan suara decitan. Seluruh ruangan penuh oleh desah napas mereka yang serupa tapir. Apalagi ditambah dengan aroma vanila dari difuser, kegiatan olah kelamin tersebut seperti menikmati se-cone es krim lembut. Ganggi gembira bukan kepalang.

“Saya mau keluar.” Kalimat laki-laki itu terdengar berantakan. Ia menjambak rambut Ganggi, dan kian menghancurkan pertahanan. Siapa tadi namanya? Gunawan? Seda? Herman? Wibisana? Ya, Tuhan, bukankah nama hal yang tidak penting dibutuhkan saat ia sedang melakukan seks hebat? Asal pungkas dari malam ini ia dibayar, nama hanyalah barisan yang membedakan nama nasi dan lauk pauk, kan?

“Jangan mendahului saya. Kita keluar sama-sama,” desis Ganggi mirip perempuan gila. Astaga, ia benar-benar keenakan. Tubuhnya melengkung saat ia menarik leher—siapa, sih, namanya—laki-laki tu. Lawan main yang namanya masih Ganggi keruk di silabus memorinya, menjilat-jilat bibir Ganggi. Sebelah tangannya memeluntir di tempat lain, sementara kekuatannya kian meningkat seiring titik orgasmenya nyaris tergelincir memenuhi puncak kelelakiannya. Puji Tuhan, Ganggi kewalahan menahan semua berahi.

“Kamu benar-benar seperti perawan. Saya suka sekali.”

Oke. Ia sedikit tersanjung. Tapi bukankah itu hal yang memang akan didapatkan semua cowok apabila ingin menyewa jasa senang-senang Ganggi? Sebagaimana kata Paulo Coelho dalam The Alchemist-nya yang mendunia itu; When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it, kan? Maksudnya, jika Santiago terobsesi dengan harta karun, Naladipa terobsesi dengan dengan performa selangkangannya. Tidak hanya merawatnya dengan satu atau dua langkah, ia bahkan menjalani operasi untuk mengembalikan kelenturan otot vaginanya, biar seperti apa yang laki-laki itu—astaga, Ganggi masih kesusahan mengingat namanya—katakan, ia masih perawan.

Ganggi tersenyum puas. Seks dan obrolan jorok? Tuhan pasti sedang memainkan harpanya ketika menciptakan suguhan tiada banding ini.

“Jadi, apa pekerjaanmu selama ini, Naladipa?”

Dua jam utuh dan seks mirip pergumulan trenggiling hebat itu pun rampung. Ganggi segera bangkit dari tempatnya tidur lalu berjalan ke arah cermin. Ia mampu melihat bagaimana pantulan cermin itu memproyeksikan dirinya dengan sempurna. Ketelanjangan adalah dewa yang Ganggi sembah setiap waktu. Bagaimana cermin itu sanggup menutup semua luka dalam hatinya dan hanya mempertontonkan cangkang yang luar biasa indah, adalah mahakarya manusia yang kiranya sanggup melengserkan ketuhanan yang Esa.

Rambut keriting berpotongan pendeknya terlihat berantakan. Poninya mencuat ke mana-mana. Mata hitamnya tampak berair. Bibirnya bengkak. Leher jenjangnya penuh dengan bekas cupang. Di payudaranya lebih banyak lagi. Darah yang melepuh akibat hasrat yang menyerang bertubi-tubi masih membuat kulitnya yang seputih repihan salju, berpendar merah ibarat buah plum. Kencang dan begitu segar. Apalagi ketika mereka tengah berkeringat seperti sekarang—entah itu keringatnya atau keringat (oh, Ganggi ingat) Om Seda—mereka membuat tubuh Ganggi mirip delima yang ranum, yang siap dipanen dan dimakan sambil menonton Sissy si Putri Duyung. Ada sperma yang meleleh di selangkangannya, dan Ganggi tertawa kecil melihat itu.

“Saya akuntan di sebuah radio, Om.” Ganggi mengambil sisir, lantas merapikan rambutnya. Aroma segar lidah buaya dan lili air dari Sauve, menyeruak. Membuat Ganggi semakin bahagia. Ia mengambil Yves Saint Laurent dari dalam clutch-nya, lalu memulaskan lipstik tersebut di permukaan bibirnya yang kenyal. Warna rose rergamasque itu seketika membuat bibirnya terlihat mirip kue manju yang baru dikeluarkan dari pengukus.

“Apakah itu melelahkan?”

Every job has its tiring moments, saya pikir.” Habis ini enaknya ke mana, ya? Om Seda, kan, kaya mampus. Akad yang mereka lakukan saja sampai dua digit. Apalagi ditambah dengan performa—oh, ini lucu sekali—yang katakanlah, perawan. Tidak mungkin, kan, bos pabrik ini tidak memberinya tip? Ide tentang tip itu seketika melambungkan hati Ganggi. Astaga! Bagaimana ia bisa melupakan cat kuku crackle polish yang lagi in banget saat ini? Warna pink, of course, biar terlihat funky dan modis habis dengan sentuhan glitter. Oh, sekalian hunting hot pants-nya Eddy Betty yang must have banget. Ganggi udah lama tidak ngedisco gara-gara operasi kemarin.

“Pantas, banyak orang yang membicarakanmu. Kamu pintar menggoda pelangganmu.”

“Om salah.” Apalagi ya enaknya? Ya ampun, bagaimana ia bisa melupakan make up, coba? Awal tahun, kan, Lancome ngeluarin lipstik terbaru. Rouge magnetic pink to violet. Kalau kemarin ia belum punya uang, kali ini ia mau buka puasa. Oh! Oh! Novelnya Haruki Murakami yang keluar tahun 2002 kemarin? Kafka on The Shore. Ia sempat melihat review di Goodreads dan ia tidak bisa untuk tidak mengoleksi apalagi setelah Ganggi merampungkan Norwegian Wood yang melegenda itu.

“Lantas?”

Okay, Ganggi, okay. Stop thinking about shopping. Didn’t you see, that cute guy was trying to build a serious chat with you? Bukan diskusi recehan ala cowok-cowok tidak berduit yang penuh basa-basi hanya sekadar ingin bilang terima kasih. Ganggi terkikik mendapati isi kepalanya.

“Saya bukannya menggoda,” jawab Ganggi pada akhirnya; menyemprotkan Burberry Brit, dan seketika aroma almond tumpah dalam kamar hotel itu. Ia berbalik, mengusap-usap kuku merahnya, lalu berujar, “Tapi saya selalu profesional memberikan yang terbaik buat orang yang membayar saya. Saya rasa, itu setimpal, sih. Karena dengan memberikan pelayanan terbaik, I too experience the utmost fulfillment. Bagi saya, sex is a basic human pleasure. I do not want the enjoyment that I deserve, tidak bisa memuaskan saya hanya karena saya adalah... Om bisa menyebutnya paid women?

Pria itu tertawa. “Kamu perempuan yang cerdas.”

“Semua orang sepakat dengan pernyataan Om Seda.”

“Berapa lama kamu bergelut di dunia ini?”

“Dunia seperti apa maksud, Om?” Ganggi memindai profil pria di hadapannya. Untuk ukuran pria berkepala lima, jelas ia adalah manusia yang pandai menjaga tubuh. Tidak ada lemak di perut. Bahkan terlihat beberapa otot yang tercetak kukuh di sana. Rambutnya kelabu, pun dengan cambang dan kumisnya. Kulitnya cokelat seumpama senja pukul lima petang. Bersih dan juga licin. Pundaknya begitu pagan, yang ketika Ganggi cengkeram, mereka liat sebagaimana kayu trembesi yang telah dipelitur. Aroma dari tubuhnya pun mahal. Pasti Issey Miyake. Ganggi bisa membaui wangi kayu cedar yang segar darinya.

 Mereka baru berkenalan sebulan belakangan. Dan malam inilah kali pertama persanggamaan itu dilakukan. Ada sesuatu dalam pria itu yang membuat satu sudut hati Ganggi resah. Ganggi tidak tahu apa, dan bagaimana menjabarkannya. Hanya saja, senyum Om Seda, juga pijar mata cokelatnya, seperti pernah Ganggi lihat. Entah di mana.

“Ya dunia abu-abu, aku menyebutnya. Dunia seperti ini. Kamu rela melakukan apa saja asal ada orang yang membayarmu.”

“Mungkin….” Ia menimang jawaban. Bimbang menggerogoti lubang mulut. Akankah ia jujur pada pria ini, atau seperti yang dia lakukan di semua prosesi persanggamaannya selama ini dengan banyak pria, berbohong demi menutupi jati dirinya? Ganggi menggigit kukunya tanpa sadar.

“Sudah lama?”

Om Seda tersenyum. His smile felt familiar and brought me into the warmth of a feeling, pekik Ganggi sangat yakin. Ugh. Mereka pernah bertemu di mana gitu sebelum ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkumpar di bawah lantai yang ia pijak.

“Kalau secara profesional, saya melakukannya sejak SMA. Tapi jika Om bertanya bagaimana saya suka dengan seks, saya juga nggak yakin. Mungkin sejak saya dilahirkan?”

Seperti terhipnotis oleh senyumnya, rencana jual mahal yang Ganggi susun rapi bubar jalan. Oke, Ganggi akui, ia semudah itu jatuh cinta. Jangankan setelah melalui seks hebat selama dua jam utuh dan tubuhnya dibolak-balik sebagaimana kue wingko, ada orang asing tersenyum padanya saja, Ganggi sudah bisa berimajinasi ingin menikah dengan menggunakan adat apa. Tapi ia tidak mungkin, kan, jatuh cinta pada pria yang usianya hampir menyamai Ibu? Om Seda memang menggiurkan dari segala sisi. Ia memiliki darah ras Kaukasia kalau boleh ditambahkan. Tapi jatuh cinta pada orang yang pantas kausebut papa rasanya aneh juga. Tapi, omong-omong, kalau dengan Om Seda kayaknya garden party oke, juga, sih.

“Itu lama banget, Naladipa. Kamu nggak ingin menikah?”

Demi mendengar pertanyaannya barusan, halusinasi sinting Ganggi minggat begitu saja. Ia kembali menatap pria tersebut, kemudian tersenyum kecil.

Lihat selengkapnya