Di sebuah kota kecil yang tersembunyi di antara pegunungan, lima sahabat duduk melingkar di dalam sebuah gudang tua yang menjadi tempat persembunyian mereka sejak kecil.
Arma, Bono, Cakra, Deri, dan Eza-mereka tumbuh bersama dalam kerasnya kehidupan, berbagi tawa dan air mata, melewati masa-masa sulit dengan menggenggam harapan yang sama: kehidupan yang lebih baik.
Mereka baru saja lulus sekolah tingkat menengah atas dengan jerih payah.
Setiap lembar uang yang mereka kumpulkan untuk biaya sekolah adalah hasil dari keringat sendiri-bekerja serabutan, membantu orang tua di ladang, mengantar barang, bahkan menjadi buruh harian.
Mereka ingin perubahan, ingin menggapai masa depan yang lebih cerah.
Mereka tahu ada kesempatan di luar sana, di kota-kota besar yang menawarkan berbagai kesempatan.
Namun, ada satu hal yang menahan mereka-keluarga mereka.
"Kita bisa pergi," Bono membuka pembicaraan dengan suara datar. "Kalau kita ke luar kota, mungkin kita bisa mencari peruntungan di sana. Pasti ada jalan."
"Tapi siapa yang akan membantu orang tua kita?" Cakra menyela cepat. "Ayah dan ibuku sudah bekerja mati-matian. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja."
Arma mengangguk pelan. "Aku juga tidak mungkin meninggalkan Ambu sendirian. Ambu selalu bilang, mimpi itu penting. Tapi kalau kita pergi, siapa yang akan menjaga mereka? Siapa yang akan membantu mereka bertahan?"
Mereka terdiam.
Semua tahu bahwa setiap keluarga di Rimba Jaya berjuang keras hanya untuk bertahan hidup.
Orang tua mereka bangun sebelum matahari terbit, bekerja tanpa lelah di ladang yang hasil panennya sering kali dirampas oleh para penguasa, di bayar dengan harga murah.
Beberapa menjadi buruh, bekerja dengan bayaran rendah.
Jika mereka pergi, siapa yang akan membantu ibu mereka di ladang?
Siapa yang akan menggantikan ayah mereka membawa hasil panen ke pasar?