Beberapa bulan kemudian Nisa' lulus dari madrasah tingkat Aliyah, seperti apa yang sudah Nisa' katakan. Dia akan boyong setelah lulus, dan ternyata benar. Setelah lulus Nisa' segera boyong dari pondok Mambaul Hikam. Sebelum Nisa' boyong dan kembali ke Banten tempat asalnya, Khoir mengajak Nisa' dan Niswa ke rumahnya.
"Hari ini aku diminta pulang ke rumah, ayo kalian ikut! Nanti biar izinnya aku yang urus," tawar Khoir.
"Boleh juga tu Ir, mumpung aku belum boyong. Setidaknya aku tau alamat rumah kamu." Jawab Nisa' antusias.
"Iya, ayow Nis! Kamu ikut juga ya, bentar kok. Besok udah balik." Rayu Khoir.
"Ya udah dech, aku nurut aja." Jawab Niswa akhirnya.
Akhirnya mereka izin pulang ke rumah Khoir untuk sehari. Hari itu diniyah sudah tidak aktif, jadi izin pulang pun tidaklah sulit. Apalagi hanya sehari semalam, mereka dengan mudah diizinkan pulang oleh staf keamanan.
Saat sampai di rumah Khoir ternyata sedang ada acara lamaran untuk Khoir. Khoir langsung disambut ibunya agar segera di rias. Saat di rias Khoir terlihat sangat cantik. Niswa benar-benar kagum karena dia terlihat sangat berbeda dari biasanya.
"Apakah benar kata orang, saat seorang perempuan atau laki-laki yang akan menikah itu selalu terlihat lebih cantik?" Tanya Niswa dalam benaknya.
Pakaian yang dikenakan Khoir membuatnya terlihat lebih dewasa dan anggun. Kulit putih merona nya semakin bersinar karena warna baju Khoir benar-benar sesuai dengan warna kulitnya. Coklat emas, warna yang membuat Khoir terlihat seperti seorang putri dalam semalam.
Nisa' dan Niswa tidak berani ikut ke ruangan depan di mana acara lamaran Khoir sedang berlangsung. Mereka hanya bisa mengintip dari balik jendela proses lamaran tersebut. Sebenarnya Khoir meminta mereka menemaninya, tapi Nisa' dan Niswa menolak karena mereka malu dan juga belum pernah berhadapan dengan orang banyak. Mereka takut akan membuat malu banyak orang karena tindakan mereka.
Terlihat calon suami Khoir sangat tampan dan kelihatan sangat alim. Wajahnya bersih, putih dan murah senyum. Kata-katanya pun sangat fasih karena kabarnya calon suami Khoir adalah seorang Qori' yang cukup mashur di pondoknya. Walaupun bukan keturunan dari seorang kyai besar, wajah calon suami Khoir sangat berwibawa. Mungkin memang calon kyai besar. Karena kabarnya setelah menikah dengan Khoir, Abah Khoir akan mendirikan pondok untuk mereka. Setelah acara lamaran tiba-tiba Khoir menangis dan langsung berlari menuju kamarnya. Nisa' dan Niswa yang mengetahui hal tersebut langsung menyusul Khoir ke dalam kamar.
"Ada apa Ir? Kok kamu nangis?" Tanya Nisa' penuh perhatian.
"Iya mbak Khoir, ayow cerita pada kami kenapa mbak Khoir tiba-tiba menangis?" Sambung Niswa.
Khoir hanya menggeleng menanggapi pertanyaan mereka. Akhirnya Nisa' memberi isyarat Niswa agar membiarkan Khoir tenang dulu. Dan mereka meninggalkan Khoir di kamarnya sendirian.
Akhirnya setelah lama menunggu, malam harinya Khoir baru bisa cerita kepada kedua sahabatnya. Sebab kenapa dia menangis tadi pagi setelah acara lamaran berlangsung.
"Maaf ya tadi pagi aku belum sempat menjawab pertanyaan Niswa dan mbak Nisa'," ucap Khoir memulai pembicaraan.
"Gak apa-apa kok Ir, kami tau kamu perlu waktu untuk cerita masalahmu." Jawab Nisa'.
Dalam hal ini memang Nisa' yang lebih dewasa dari pada Niswa.
"Calon suamiku bernama Hasan, tepatnya Muhammad Syamsul Hasan Bisri. Dia anak Kademangan Blitar, seorang Qori' dari pondok Al-Ikhlas." Jujur Khoir.
"Al-Ikhlas? jepara kah?" Sahut Niswa. Khoir hanya mengangguk pelan.
"Kalau begitu berarti beliau mondok di pondok kakakku." Terang Niswa. Khoir langsung memandang Niswa tajam.
"Beneran nis?" Tanya Khoir menyakinkan.
"Benar, kemarin kan aku pernah cerita habis berkeliling ke rumah kakak-kakak aku. Salah satunya pondok Al-Ikhlas Jepara yang diasuh kakak aku kak Faruq." Jelas Niswa.
"Alhamdulillah," syukur Khoir dalam hati.