Hatiku lagi-lagi membeku—perasaan dejavu ini muncul untuk kesekian kalinya. Bagaimana tidak! Aku sudah menantikan hari ini dengan hati semerbak, bahkan telah menyiapkan pakaian terbaikku hanya untuk membuatnya terkesan, tapi apa yang kudapatkan? Lagi-lagi perasaan ini: kecewa, marah, sedih, bercampur aduk seperti adonan kue mentah dalam loyang yang pecah—saat membaca direct message yang ia kirimkan. Aku terpatri, tak mengutuk; hanya diam menggenggam erat ponsel di tanganku.
Tangan ini terasa kelu, jika saja aku harus membalas pesan itu dengan ucapan—sudah pasti akan tergugu. Untungnya ini pesan singkat, aku hanya perlu memaksa jemariku bekerja lebih keras untuk mengetik beberapa kalimat bersahabat—membalas pesannya. Tentu saja itu kaliamat yang sama sekali tidak selaras dengan suasana hatiku.
Rabu lalu, aku berhasil mengajaknya untuk pergi. Kencan? Mungkin kurang lebih seperti itu. Alasan klasik ingin menonton film premier yang saat ini sedang tayang di bioskop. Jelas sekali itu hanya bisa-bisaku saja, jauh di lubuk hatiku, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya. Dia mengiyakan—hampir saja aku melompat kegirangan seperti seorang pegulat yang baru saja mendapatkan sabuk emas pertamanya. Namun, aku menahannya, ada banyak sekali temanku saat itu. Sabtu malam adalah janji temu kami. Astaga, itu waktu yang paling kutuntut.
Sabtu sore, aku mendapatkan direct message memuakkan itu.
Sebuah pesan dengan alasan bodoh yang bisa kuartikan dengan sangat mudah. Batal sudah janji temu yang kunanti berhari-hari. Ciiih, bodo sekali rasanya, mengingat telah menyiapkan pakaian yang akan kukenakan dengan sangat rapi; tertata dan tergantung sempurna di dalam lemari hitam berbahan alumanium yang ada di kamarku. Aku bahkan mencuci sepatu usangku yang terlihat busuk, itu sangat menggelikan.