Rinai Imajiner

Yahya Ibrahim
Chapter #3

Rinai

13.15 WITA. Aku masih terenyuh dalam arus lalu lintas, yang selama tiga tahun terakhir telah menjadi pemandangan favoritku. Bukan tidak menyadari jika jam istirahatku telah selesai. Tapi, pikir bodoh! Lagipula gaji yang kudapatkan tidak sepadan dengan apa yang kukerjakan. “Jadi—beri saja aku waktu lebih untuk bersantai,” gerutuku, sedikit enggan menyudahi waktu dan aktivitas favorit ini.

Setelah sedikit merenggangkan tubuh; layaknya bayi yang baru saja bangun dari tidur, aku berdiri dan mengibas beberapa bagian celana bahan yang kukenakan. Bersiap—walau enggan, berjalan gontai untuk kembali pada aktivitas repetitif yang setiap hari harus kulakukan.

"Astaga. Dia datang lagi," aku menepuk jidat. Melihat seorang perempuan berumur sekitar 23 tahun dengan scotter matic yang ia kenakan. Masih dari rooftop favoritku. Dia (perepuan itu) bergaya mencolok; berbeda dengan yang lainnya. Disclaimer, aku tidak sedang memujinya. Maksudku, apa-apaan topi ala Sherlock Holmes yang selalu ia kenakan. Apa dia sedang ingin bermain detektif cilik di umurnya yang bukan kanak-kanak lagi? Pikirku. Lalu. Astaga, rambut yang dikepang dua itu terlihat menjijikan. Kali ini aku menghina.

Aku bukan mengenalnya, aku tetaplah aku, selalu tak acuh akan segala hal. Tapi perempuan ini benar-benar sumber masalah. Tidak tahu apa ada yang salah dengan otaknya. Malfungsi? Aggh... tidak, itu terlalu kasar! Kemarin dia juga datang, dan kalian tahu apa yang dilakukannya? Menjatuhkan satu rak penuh buku di ruang baca umum. Astaga, apa dia sudah gila. Bukan aku yang mengatakannya, tapi teman-temanku yang bertugas jaga di ruang baca! Aku tidak melihat kejadian itu secara langsung. Pasti butuh tenaga ekstra untuk meletak ulang susunan buku yang tergelebar kemana-mana. Aku cukup beruntung tidak perlu terlibat dengan kekacauan itu. Untuk pertama kalinya aku bersyukur ditempatkan di meja informasi sebagai frontliner.

Namun, ditempatkan di meja informasi bukan berarti aku menyukai perkerjaan ini. Aku harus selalu siap mengemas senyum ramah kepada setiap pengunjung yang datang. Rahangku terkadang kebas. Bukan hanya itu, kalian tahu, kan—rasanya harus bersikap ramah pada semua orang: meski mood kalian jelek, hati kaliam masam, dan kalian harus tetap melakukannya karena tuntutan pekerjaaan. Seperti yang selalu dikatakan Pak Kepala Dinas kami, "kalian di sini untuk tersenyum, saya tidak peduli suasa hati kalian seperti apa. Tersenyumlah walau kalian harus mati!" Dia mengatakannya dengan sangat percaya diri, semangat yang membara. Aku bahkan melihat api membakar kepalanya yang mulai botak.

Dan itulah yang selalu kulakukan—lebih tepatnya harus selalu kulakukan. Tersenyum sepanjang hari, berinteraksi dengan berbagai kalangan: anak kecil, remaja, orang dewasa, hingga usia lanjut. Semuanya harus kuhadapi dengan penuh kesabaran, persistensi adalah istilah yang tepat. Yeah, walaupun terkadang saat mencapai limitku, aku akan mengabaikan satu-satunya peraturan itu.

 

Menghela napas di tengah-tengah kesibukan adalah salah satu cara terbaik untuk melepas stres yang kurasakan. Aku tidak boleh melakukannya di waktu yang salah. Bayangkan jika aku menghela napas di depan pengunjung yang datang bertanya padaku di meja informasi. Tentu saja mereka akan merasa tersinggung. Sebab itu, harus pandai-pandai mencari kesempatan, aku memerlukan timing yang sempurna untuk melakukannya: terkadang saat mereka sedang menoleh ke arah lain, terkadang saat mereka baru saja membalik bahu meninggalkan meja kerjaku. Aku cukup pandai melakukannya—meski kamera CCTV tidak dapat dibohongi. Berkali-kali mendapat teguran dari Kepala Bidang, tapi yang namanya keras kepala; aku hanya menganggapnya angin lalu.

 

Kembali ke waktu sebelumnya. Aku berjalan gontai menapak satu-persatu anak tangga, sebelum akhirnya sampai di depan lift yang akan membawaku turun langsung ke lantai satu. Aku sedikit bertanya-tanya, hari ini apalagi yang akan dilakukan perempuan aneh itu? Bisa saja dengan kebodohannya dia akan meledakan tempat ini. Aggh, tidak. Itu terlalu berlebihan, pikirku.

Menapak usia 31 tahun. Sejak dua atau tiga tahun terakhir rahangku mulai terlihat tegas, sedikit garis terlukis di wajah. Namun, tidak membuatku terlihat tua. Hanya mempertegas kedewasaan. Aku masih terlihat cukup menarik (tidak benar-benar tampan, cukup menarik saja), terbukti dari beberapa pengunjung yang sampai saat ini masih sering kudapati secara diam-diam mencuri pandang terhadapku. Aku berpura-pura tidak melihatnya, memilih lebih fokus memainkan game simpel yang kuoperasikan pada komputer yang ada di meja kerjaku. Lagipula itu hanya kesan pertama. Mungkin saja ketika mereka mengenalku lebih dekat—mereka akan merasa jijik, sama halnya dengan dia yang dulu pernah bersamaku. Sudah kutegaskan bukan! Perasaan seseorang bisa berubah dengan sangat cepat, layaknya Shanghai Maglev (kereta listrik tercepat di dunia). Percayalah, perasaan seseorang bisa berubah secepat itu!

 

Oke. Mari bicara cinta.

Cinta itu Nirmala. Orang berkata: saat pertama kali cinta dipertemukan, maka seluruh alam akan takzim, langit berdesik, atma tersipu larut ke dalam asmaraloka.

Indah bukan? Tentu saja! Itulah mengapa para Pujangga menulis berbagai bait puisi dalam sastra nan indah. Memilih kosa kata rumit tanpa memikirkan apakah orang awam dapat memahaminya.

Dulu aku juga berpikir seperti itu. Mencintai dan dicintai adalah hal yang indah. Suatu anugerah yang diberkatkan Tuhan kepada setiap insan. Tapi, aktualitas berkata lain. Hingga menapak usia 31 tahun, aku tak pernah sedikit pun merasakannya, apa itu cinta yang benar-benar berbalas. Bullshit!

Bingung rasanya, bagaimana orang lain bisa dicintai sedemikian rupa. Sangat dalam hingga merelung jiwa. Apa itu hanya sebuah trik? Sama seperti saat sang pesulap menyibakkan kain hitam penutup dalam aksinya, dan ‘sempurna!’ Kata penutup yang sangat indah—membuat para penonton bersorak riuh. Sebuah delusi yang kita telan mentah-mentah.

 

"Registrasinya sudah selesai!" Ujarku, memasang wajah seramah mungkin sesuai pesan Pak Kepala Dinas (Tersenyumlah walau kalian harus mati!), pada seorang wanita yang baru saja mendaftarkan dirinya sebagai member keperpustakaan. Aku menilik ekspresinya, dia berusaha tak acuh, tapi juga terbuka dalam waktu yang bersamaan. Andai pria lain yang sedang dalam posisiku, mereka pasti tidak akan melewatkan ikan segar yang ada di hadapannya. "Aku masih sedikit bingung dengan berbagai persyaratan dan keuntungan member ini. Bolehkah aku menyimpan contact person yang bisa kuhubungi untuk bertanya?" Pinta wanita itu. Lihat kan, aku tidak berbohong! Sedikit modus seperti ini sudah sering kutemui.

Tepat seperti dugaan kalian, aku enggan memberikan kontakku padanya. Padahal bisa saja aku berbohong dan memberikan nomor teleponku untuk menyambutnya dengan baik (permainan lelaki). Tapi tidak kulakukan, jadi aku hanya menyodorkan nomor telepon kantor dan beberapa link media sosial milik kami. "Kamu bisa menghubungi kontak ini, aku sarankan untuk mengikuti akun media sosial kami—kami banyak melakukan update untuk persyaratan dan ketentuan pelayanan serta event-event ter-update di sana!" Jawabku. Mudah membaca modusnya, sedari tadi aku melihat dia terus mencuri pandang sementara aku sibuk bekerja. Jadi bisa kupastikan aku tidak sedang halu. Lagipula, bukankah sudah jelas fungsi utama member perpustakaan itu untuk meminjam buku. Apa lagi yang perlu dijelaskan?

Sebagai lelaki tulen, tentu saja aku juga memiliki sedikit insting untuk membaca gestur lawan jenis. Apa dia sedang tertarik, apakah tidak. Interpersonalku cukup baik. Lihat saja, wanita itu beberapa kali meremas jemarinya, memainkan cincin perak di jari manis tanpa tujuan pasti. Dia juga beberapa kali menyingkap rambut di telinganya—padahal tidak sedang tergerai. Beberapa kali mata kami tak sengaja bertemu, aku membuang pandang, tanpa disadari membuat dia semakin penasaran. Aku sama sekali tidak akan terjebak; senyum tipis sedikit jahat berkelebat di wajahku. Kau pikir aku bodoh! Pada akhirnya akan sama saja bukan? Perasaan itu temporer—hanya ketertarikan sesaat. Aggh... Aku lebih suka melayani pengunjung yang cuek bebek (kalian tahu alasanku). Wanita itu berlalu, sedikit kecewa karena aku tak memakan umpannya dengan baik.

 

Aku melakukan ritualku, menghela napas panjang, letih hanya karena sedikit berinteraksi. Sudah beberapa jam sejak perempuan Sherlock Holmes itu datang. Tampaknya suasana masih terlihat baik-baik saja, mungkin dia belum melakukan keributan apa pun kali ini. Entah mengapa pikiranku melayang ke arahnya. Jangan salah sangka, aku hanya tidak ingin dia membuat kekacauan di tempat ini, lagi!

Ini bukan kali kedua perempuan itu berkunjung kemari. Rasanya sudah hampir seminggu terakhir ia rutin berkunjung, meski ada kalanya satu-dua hari dia tak terlihat menampakkan batang hidungnya. Aku mengetahuinya, lagipula akulah yang membantunya mendaftar sebagai member keperpustakaan.

Lihat selengkapnya