Rinai Imajiner

Yahya Ibrahim
Chapter #4

Mengendalikan Angin

Mungkin ini sedikit terlambat. Tapi, perkenalkan, namaku Ehan Diraya. Usiaku saat ini 31 Tahun. Belum menikah, belum memiliki pasangan, penghasilanku pas-pasan. Tidak ada yang bisa kubanggakan dalam hidup ini. Hidup seperti orang bodoh. Terkadang berharap dua atau tiga tahun lagi akan segera mati. Mungkin itu lebih baik? Tidak! Aku hanya bercanda soal itu (maybe).

Semenjak tiga tahun lalu, aku telah membangun tembok besar, bernukilan ‘apatis’ dalam hidupku. Selalu berdikari—tak mengharapkan siapa pun ada untukku. Meski harus berjalan, berlari, merangkak, atau terbaring sendirian. Aku tidak peduli; bergantung pada orang lain hanyalah kelemahan. Terbukti, sejak falsafah itu kukukuhkan tiga tahun silam. Aku tak pernah lagi merasakan sakit melapak hati. Entah itu kecewa dan pengharapan, tak ada lagi perasaan cemas mengaduk-aduk, tidak pernah lagi merasa risau hanya karena sebuah pesan teks belum dibalas, tidak lagi menunggu seseorang mendering ponselku, tidak lagi menunggu siapa pun mengunggah daily story hanya untuk dilihat. Bebas tanpa beban—hanya memikirkan diri sendiri. Egois dan sedikit separatis dalam kemasyarakatan. Apa yang kulakukan bahkan berbanding terbalik dengan namaku: Ehan Diraya, yang artinya 'menantikan kesabaran' (mungkin orang tuaku ingin aku selalu memanti dan bersabar). Bodoh sekali, aku tidak akan menanti siapa pun lagi, tidak akan bersabar dengan segala rasa sakit. Aku akan membuang semuanya.

 

Tak perlu menapak tilas lebih jauh masa laluku. Itu sangat membosankan, hanya dikecewakaan berulang kali dengan cara yang sama (tidak menarik untuk diceritakan). Baiklah, kita sudahi tentang asmara. Lalu bagaimana kehidupanku sehari-hari. Sayangnya tidak banyak yang menarik untuk saat ini. Hanya bekerja, pulang dan istirahat. Menghabiskan hampir seluruh waktuku di dalam kamar berukuran 4x4 meter. Hikikimori (istilah dalam bahasa jepang, yang merujuk pada seseorang yang menarik diri lingkungan, tidak mau bersosialisali, memutuskan mengurung diri di dalam kamar untuk waktu yang lama)? Tidak! untungnya tidak sampai seperti itu. Aku masih sering hangout bersama teman kantorku: bermain billiard, makan di emperan, dan sebagainya. Walau tidak sesering dulu. Entah mengapa saat ini tenagaku cukup terbatas.

 

Baiklah, rasanya sudah cukup memperkenalkan diriku. Sekarang, mari kita beralih kepada Rin (cerita ini tentangnya)!

Selasa. Dua hari setelah tragedi rak buku. Kali ini Rin datang lebih cepat dari sebelumnya. Jam 08.30 WITA, dia sudah sampai di perpustakaan. Itu bahkan baru 30 menit sejak jam pelayanan dibuka. Kemarin ia (tumben) tidak membuat masalah sedikit pun, dia pulang 30 menit sebelum jam tutup. Aku lihat Rin meminjam beberapa buku, sempat meniliknya sedikit saat dia mengembalikan kunci loker ke meja informasi. Salah satu buku itu berjudul, ‘Mengendalikan Angin’. Aku baru tahu ada buku seperti itu. Astaga, kira-kira seperti apa isinya? Pasti hanya buku kanak-kanak, pikirku.

 

Keesokan harinya, saat aku pikir hari-hari akan kembali berjalan normal. Coba tebak yang dia lakukan hari ini? Sibuk bermain pesawat kertas di ruang baca umum. Astaga, harus berapakali kukatakan, dia itu perempuan aneh (apa kalian sudah setuju?). Raka menggelengkan kepalanya, dia mengajakku istirahat sejenak untuk merokok bersama di parkiran karyawan yang ada di basement. Raka bahkan memberikan sebatang rokoknya padaku. Aku cukup terkejut, padahal April Mop masih jauh (Raka itu pelit, suatu keajaiban dia memberikan rokoknya untukku). Walau dia tipikal orang yang perhitungan. Namun, Raka adalah orang yang sangat peduli terhadap teman-temannya. Yeah, kami mungkin bukan sahabat. Nyatanya , dia adalah satu-satunya orang yang mengetahui betul kisah hidupku, mengetahui konflik batinku, berada di sebelahku dalam momen pahit.

“Dia bermain pesawat kertas di dalam ruang baca!” Lapor Raka padaku, ia terlihat cukup stres karena ulah Rin. Raka bahkan mendapatkan berbagai komplain dari pengunjung lain yang merasa terganggu.

“Apa kamu menegurnya?” Tanyaku.

“Tidak!” Raka menggeleng.

“Hah?” Aku cukup terkejut. “Tapi kenapa? Kalau begitu wajar dong pengunjung yang lain komplain.”

“Itulah masalahnya!” Jawab Raka. “Tidak ada yang berani menegurnya. Kami takut dia tiba-tiba menangis seperti kejadian rak buku dan lift kemarin,” tambahnya. Rin memang seperti itu, selalu menangis jika terjadi sesuatu, entah itu hasil kesalahan yang dia buat sendiri, atau bukan—yang pasti, dia akan selalu menangis sebagai bentuk respon defensif-nya. Mungkin itu caranya mempertahankan diri? Entahlah, aku tidak mengerti dengan cara berpikirnya. “Dasar cengeng,” gerutuku dalam hati.

“Terus, sekarang gimana?” Aku mengerutkan kening. 

“Bu Sinta yang mengurusnya. Dia punya pendekatan yang bagus. Mungkin sekarang masalahnya sudah selesai,” jawab raka sekedarnya. Jika itu Bu Sinta—aku rasa semua akan baik-baik saja. Bagaimanapun, dia adaah pembimbing di kelas psikolog di perpustakaan ini (menghadapi keanehan Rin, adalah perkara mudah).

 

Raka menginjak puntung rokoknya yang masih tersisa setengah, lagi-lagi suatu kejaiban (untuk Raka yang pelit). Dia terlihat sibuk dengan ponselnya. Tampak kekasihnya baru saja mengirimkan pesan teks. Nasib sepasang LDR. Selama dia menikmatinya, aku pikir itu tidak masalah. Raka berjalan begitu saja meninggalkanku dengan hati berbunga. Aku tidak keberatan, lagipula rokokku masih belum habis.

 

Lihat selengkapnya