Rinai Imajiner

Yahya Ibrahim
Chapter #5

Pagelaran

Lima bulan berlalu setelah pertemuanku dengan Rin. Kini telah memasuki bulan Juni 2024, sedangkan aku pertama kali bertemu dengannya sekitar awal Januari di tahun yang sama. Aku berdiri tepat di tengah-tengah JPO (Jembatan Penyeberangan Orang) yang berada tepat di atas pertigaan lampu merah antara Jl. Jendral Sudirman, dan Jl. Ahmad Yani. Jembatan penyeberangan orang ini memudahkan pejalan kaki yang ingin berlalu-lalang dari sebrang jalan (Jl. Ahmad Yani) menuju Plaza Balikpapan (yang berada di Jl. Jendral Sudirman) . Seperti biasa, pertigaan ini terlihat ramai lancar. Aku memandangi setiap kendaraan yang melintas, tanpa sadar mulai menghitung setiap mobil berwarna hitam yang melintas di satu salah satu jalur dua arah . Seperti yang pernah kulakukan dulu—saat bersama Rin.

Sekitar bulan April, aku dan Rin pernah berada di tempat ini. Kami membuat perlombaan bodoh untuk menghitung berapa banyak mobil berwarna hitam dan berwarna putih yang melintas. Di JPO yang sama—kami berdiri menatap ke jalan yang sama seperti orang bodoh. Entah berapa lama: sejam? Dua jam? Aku lupa! Meski obrolan kami canggung, namun waktu terasa berlalu lebih cepat saat bersamanya. 

Rin memilih mobil berwarna putih, dan aku memilih bertaruh pada mobil berwarna hitam (aku hanya tidak memiliki pilihan lain). Tentu saja aku menang telak. Bagaimanapun, kebanyakan orang akan memilih memiliki mobil berwarna hitam. Simpel saja: tidak mudah kotor dan gampang merawatnya. Rin terlihat kesal karena pilihannya sendiri.

"Aggh, ini nggak adil!" Protesnya.

"Salahmu sendiri. Kan, kamu yang memilih duluan!" Sergahku. Tersenyum penuh kemenangan.

Rin merengut kesal. Aku tahu benar alasannya memilih warna putih. Menurutnya warna hitam tidak menyenangkan, durja, dan bahkan cenderung menakutkan. Karena sebelumnya dia sempat mengomentari t-shir hitam polos yang kukenakan. "Jelek!" Katanya (merujuk pada warna). Rin, terkadang bisa berkomentar ceplas-ceplos tentang sesuatu dengan sangat jujur.

 

Ingatanku larut kembali pada saat itu. Tepatnya kembali ke bulan Januari, sehari setelah kejadian di rooftop antara aku dan Rin. Aku terkejut mendapati pintu rooftop favoritku telah tergembok dan dirantai. Terkesan sangat berlebihan, seolah di balik pintu itu terdapat seekor monster yang bisa menghancurkan dunia kapan saja. Ingatanku melayang, aku tahu ini pasti ulah seseorang, pasti ada seseorang yang melihatku dan Rin keluar dari tempat ini kemarin. Sial, padahal aku sudah sangat berhati-hati. Aku tersenyum sinis setelah berhasil menggali sedikit ingatanku. "Rahmat!" Nama itu membumbung begitu saja, "Dasar tua bangka sialan!" Makiku.

Aku tidak asal memaki, jelas pasti ada yang telah melaporkan jika kami (aku dan Rin) telah mengakses rooftop tanpa izin. Buktinya: hari ini tiba-tiba saja pintu rooftop itu digembok dan di rantai. Bukankah selama ini hanya dikunci menggunakan kunci bawaan pintu itu saja (yang telah kuduplikat). Lalu mengapa atensiku tertuju pada Rahmat? Tentu saja bukan tanpa alasan! Pertama dia adalah satpam yang gemar sekali mencari muka, orang yang gila jabatan. Mungkin dia ingin cepat-cepat diangkat menjadi leader (di antara para satpam). Kedua, aku sempat berpapasan dengannya saat jam pulang. "Di atas pemandangannya bagus, ya?" Rahmat berkata seperti itu sambil mendongak ke arah rooftop. Kemarin aku tidak terlalu menggubris perkataannya dan berlalu begitu saja. Tapi, sekarang aku tau jika itu berupa sindiran. Hilang sudah rooftop favoritku karena mulut embernya. Rahmat memang musuh dalam selimut, duri dalam daging. Dia satu-satunya satpam yang paling tidak disenangi oleh para karyawan (sebaliknya bagi atasan, dia sangat disenangi karena pandai mencari muka). Yeah, sebentar lagi aku pasti akan mendapat panggilan dari Kasubag Umum karena hal ini.

 

Hari itu aku tidak mendapati Rin berkunjung sama sekali, padahal dia sangat rutin berkunjung ke perpustakaan ini (walaupun sampai saat itu aku masih belum mengerti apa tujuannya ke tempat ini, apa hanya ingin membaca buku, atau ingin bermain-main saja?).

Tepat seperti dugaanku, Kasubag Umum memanggilku ke ruangannya, tak perlu basa-basi, aku langsung mendapat teguran keras. Dia juga menjelaskan jika pengunjung (Rin) yang juga mengakses tempat itu tanpa izin bersamaku telah diberi sanksi. Pihak manajemen telah menghubungi contact person-nya dan memblokir kartu keanggotaannya selama 3 hari. Yang artinya Rin tidak boleh mengunjungi tempat ini selama 3 hari ke depan.

"Dia telah diberitahukan lewat pesan teks, jika selama 3 hari kedepan tidak boleh berkunjung kemari!" Jelas Ibu Kasubag Umum (setiap pendaftar wajib memberikan contact person mereka saat mengisi form pendaftaran, tujuannya agar kami bisa menghubungi jika mereka telah melewati masa tenggang peminjaman buku, atau bisa juga digunakan dalam kondisi khusus seperti ini).

"Ciih, dasar pembuat masalah!" Dumelku kecil. Jika bukan karena kelakuannya, aku pasti tidak akan pernah kehilangan rooftop favoritku. Aku semakin tidak menyukai keberadaan Rin. Semenjak dia datang kemari, perpustakaan menjadi sangat kacau, dan kini berimbas padaku. Cap perempuan pembawa masalah telah kutempelkan lekat-lekat di jidadnya.

“Apa kamu mengatakan sesuatu, Ehan?” Bu Kasubag Umun mengernyit.

“Tidak, Bu, sama sekali tidak!” Jawabku tergugu. Berusaha tenang seolah tidak mengucapkan apa-apa.

 

Kembali ke rutinitasku yang membosankan. Aku mengamati Rahmat yang sedang berjaga di depan pintu lobi, bersikap tak acuh jika ada pengunjung yang datang, berubah ramah saat ada atasan yang baru saja tiba sehabis kerja luar. Astaga, rasanya ingin kulempar kepala botaknya dengan sesuatu yang keras hingga memuncratkan banyak darah. Tapi, aggh, sudahlah, meladeninya hanya akan membuatku bertambah kesal.

Tak banyak pengunjung hari ini, Rin pun tidak muncul, membuat suasana perpustakaan menjadi cukup lenggang. Seorang wanita berjalan terburu, tampaknya ia baru saja turun entah dari lantai berapa dan kandas di lantai satu. Wanita itu menggunakan hoodie dan topi secara bersamaan, menyelimuti topinya dengan tudung hoodie yang dikenakannya, menggunakan kaca mata hitam, lengkap dengan masker yang membalut setengah wajahnya. Berjalan merunduk sedikit tergesa, seperti teroris yang baru saja meletakkan bom di suatu tempat. Aku menyadari sesuatu! Moncong topi mencuat yang ia kenakan rasanya cukup familiar. Cara berjalannya juga. Aggh, mana mungkin sih. Tak mau mengambil pusing, aku mempersilahkan pikiran itu belalu begitu saja. Aku sudah cukup mendapat masalah hari ini.

 

Keesokan harinya. Rahmat dan beberapa satpam lainnya tampak sedang berdiskusi, mereka saling tukar informasi—seperti tim khusus yang sedang mengatur rencana sebelum melakukan operasi besar. Beberapa pengunjung tampak mulai berhamburan keluar. Tenang saja,tidak ada bom atau semacamnya! Hanya saja ada sesuatu yang menarik atensi mereka. Para pengunjung itu merangsak dan berkumpul di pakiran roda dua yang terletak tepat beberapa meter di depan pintu masuk perpustakaan. 

Tentus saja atensiku ikut tergerus, aku segera berlari mengikuti para pengunjung yang saat ini sedang berkampung di parkiran roda dua. "SIAL!" Pekikku. Baru sepersekian detik mendongak ke atas. Aku tak membuang waktu, segera berlari ke arah lift dan menuju lantai 4, berusaha sampai ke tempat itu secepat mungkin sebelum Rahmat dan timnya bergerak. Dia (Rin) ada di sana, dia (Rin) lagi-lagi membuat masalah!

Aku berlari tergesa, beberapa kali bahkan hampir terjatuh tersandung anak tangga. Bagaimana bisa, pikirku. Bukankah tempat itu sudah digembok.

Sampai tepat di depan pintu rooftop, aku mendapati gembok dan rantai itu telah dibobol. Dia menggunakan gergaji besi untuk memotong rantai tersebut. Perempuan yang sangat gigih sekaligus menyebalkan, pikirku.

Aku menghentak pintu penuh amarah, tak habis pikir mengapa perempuan itu nekat melakukan hal gila semacam ini. Namun—sesaat—ketika angin menghempas lembut tubuhku, seketika itu juga aku terbenam ke dalam dunia imajiner-nya. Aku, lagi-lagi melupakan niat awalku. Dirantai kaki oleh pemandangan yang tersaji tepat di depan kedua mataku. Pesawat kertas berterbangan ke sana-kemari, berputar-putar lamban menjejak langit, di antaranya terdapat sejumlah burung gereja, terbang landai, menyatu dalam peraduan perhelatan imajinasi. Aku terpana, pupil mataku melebar. Sejumlah layangan berterbangan dalam berbagai bentuk variatif. Kupu-kupu, lebah, burung , dan persegi. Terbang anggun membumbung bersama angin. Berkali-kali aku mengusap kedua mataku, pemandangan ini menelusuk aksa ke relung atma. Pentasnya telah dimulai, lagi-lagi aku tak sengaja menjadi penonton VIP orkestra yang ia bawakan.

 

Rin merentangkan kedua tangannya, berputar seirama bersama angin. Dress selutut yang ia kenakan tersibak lembut, menjadi penari latar terapik dalam peraduannya. Aku tersihir untuk kedua kalinya—seharusnya aku langsung menangkap perempuan gila itu. Tapi, lagi-lagi aku terperangkap dalam pentasnya. Menakjubkan, aku bahkan memujinya di dalam hati; ingin rasa menjura di hadapannya. Rin melihat kedatanganku—tidak panik—bahkan tersenyum seolah tau jika seseorang pasti akan menemukannya cepat atau lambat.

Sebuah pesawat kertas menabrak dadaku, seketika menarikku kembali ke dalam dunia nyata. Sial, apa yang kulakukan? Aku segera berlari manangkap tubuh perempuan itu. Bukannya menyudahi pagelarannya. Rin malah menyambut tanganku dengan lembut, membawaku berputar dan menari bersamanya. Gila! Apa dia tidak sedikit pun merasa takut akan kedatanganku? Jelas-jelas dia sedang tertangkap basah untuk yang kedua kalinya!

"Hentikan itu tolol!" Sebenarnya itu yang sangat ingin kukatakan, tapi bibir ini membeku, membuatku hanya bungkam seperti orang tolol, sementara Rin tersenyum bahagia. Aku mendengar samar musik yang terlantun dari headset nirkabel di telinga kirinya (Rin hanya menggunakan satu headset nirkabel, karena salah satunya telah hancur terinjak saat kejadian sebelumnya). Mitski, berjudul: My love my all mine.

 

Cause my love is mine, all mine

I love mine, mine, mine

Nothing in the world belongs to me

Lihat selengkapnya