Pernahkah kalian berpikir mengapa manusia merasa kesepian? Apa karena manusia adalah makhluk sosial? Lalu—mengapa masih banyak orang yang merasakan sepi melapak di dalam hati walau sejatinya dia sedang berada di tengah keramaian? Bukan karena mereka terasing, bukan karena mereka tak mendapatkan atensi dari orang-orang. Bukan! Hanya saja memang bukan merekalah yang mereka inginkan. Jawabannya mudah! Karena hati mereka mendambakan seseorang secara spesifik, merujuk pada satu individu yang benar-benar mereka harapkan. Maka—sebanyak apa pun orang yang berada di sekitarnya, sebanyak apa pun perhatian yang mereka dapatkan dari orang lain, semua tidak akan berarti jika bukan dia yang mereka inginkan. Hati adalah misteri. Lalu—bagaimana cara kau mengisinya? Apa kau akan memasukkan segalanya ke dalam sana hingga sesak? Atau kau hanya akan menyisakan sebuah ruang khusus bagi seseorang yang kaudambakan. Aku harap kita akan bersuah (orang yang mampu mengisi kesepian itu). Entah hari ini, esok, lusa, bulan depan, tahun depan, sewindu, atau mungkin seribu tahun lagi.
Dalam cerita ini mungkin kalian masih menganggapku lebay, bermental tempe. Hanya karena berulang kali disakiti dengan cara yang sama, membuatku jatuh dan terpuruk. Aku tidak bisa menyangkalnya jika kalian mengatakan seperti itu. percayalah aku sudah berusaha membuang pemikiran itu sepanjang waktu. Mencoba terbuka pada setiap hal baru, membuka hati pada setiap orang baru yang mencoba merangsak masuk ke dalam hidupku. Tapi akhirnya ini seperti gambling, apakah aku akan beruntung menemukan seseorang yang selama ini kucari, atau hanya akan menambah lebih banyak rasa sakit dari setiap orang keliru yang kubiarkan singgah ke dalam hidupku. Aku benci pertaruhan ini—sangat membencinya! Apakah hidup selalu seperti ini? Penuh pertaruhan? Tuhan, maafkan jika saat ini aku tak lagi percaya akan skenario indah yang Engkau letakan di depan sana. Maaf jika aku berhenti di sini—berhenti untuk membuka hati untuk orang lain. Tertanda: Ehan Diraya 2021 (tiga tahun silam, hari dimana dia menaruh luka yang sama).
***
13 Januari 2024. Aku memutar lagu secara random dari playlist yang ada di ponselku, meng-skip beberapa lagu yang dulunya adalah lagu favoritku. Mengapa? Mungkin hanya merasa sedikit terganggu dengan beberapa kenangan yang tanpa sengaja kusimpan dalam lagu-lagu tersebut, memutuskan untuk tidak mendengarkannya lagi.
Apa kalian tahu jika setiap lagu memiliki kenangannya masing-masing. Tergantung apa yang kalian simpan di dalam lagu tersebut. Entah itu kenangan manis bersama seseorang, entah berupa harapan akan perasaan yang ingin kalian sampaikan pada orang lain. Lirik nan indah mampu menggambarkan seluruh perasaan, dan lagu cinta akan selalu menjadi pilihan favorit saat kalian sedang kasmaran. Begitu juga sebaliknya, lagu sedih akan selalu menjadi pilihan terbaik saat kalian patah hati. Salah satu akun media sosial pernah mengatakan, “jika kau ingin mengetahui perasaan hati seseorang, maka dengarkanlah lagu apa yang sedang mereka sukai, niscaya itulah gambaran hati mereka jika mereka menyukai lagu sedih, maka artinya pengharapannya telah hancur. Sebaliknya jika mereka sedang menyukai lagu cinta, maka ada dua kemungkinan: yang pertama, cinta mereka sedang berbalas dengan sempurna. Atau, kemungkinan yang kedua, bisa jadi mereka hanya tidak mampu move on dari setiap kenangan indah dan pengharapan yang pernah mereka semayamkan dalam setiap alunan nada indah dalam lagu tersebut”
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang terus menyukai sebuah lagu dari waktu ke waktu. Simpel saja, artinya: hati mereka terperangkap di sana. Terperangkap dalam setiap lirik yang menggambarkan dengan gamblang jalan hidup mereka—merangkumnya dengan sangat apik dalam barisan lirik syahdu bertahta syair-syair nan indah.
Hatiku nelagsa, menatap siraf telaga kotor yang berada tepat di belakang gedung perpustaakan tempatku bekerja. Menikmati sebatang rokok sambil mendengarkan music non premium dari ponselku, duduk kelesa di salah satu gazebo yang disediakan untuk para pengunjung. Setelah kehilangan rooftop favoritku, tak ada lagi pemandangan indah yang dapat mengisi waktu sempit jam istirahatku. Aku rindu pemandangan kendaraan hilir mudik yang biasa kunikmati dari atas sana. Suara berisik klakson dari mereka yang sedang tergesa, semilir angin lembut yang menerpa wajah. Aku rindu saat di mana aku memperhatikan hal-hal kecil, menjadikannya media reminisensi. Ahh, rooftop itu sangat spesial bagiku, rasanya tidak akan ada tempat yang bisa menggantikannya, padahal baru beberapa hari kehilangannya (susah untuk mengikhlaskannya). Lihat saja telaga ini! Kotor dipenuhi sampah plastik, airnya keruh kehijauan bercampur air got pembuangan yang entah mengapa sengaja dialirkan ke sana. Apa yang bisa dinikmati dari pemandangan ini? Membosankan, bukan hal menarik untuk dinikmati, bahkan tak akan pernah bisa sebanding jika dibandingkan dengan rooftop favoritku.
Masih menjadi tanda tanya bagiku, mengapa Rin melakukan semua tingkah bodohnya, apa maksud dan tujuannya menggelar pentas bodoh itu di atas rooftop perpustakaan. Sejak saat itu pikiranku terkadang melayang ke arahnya. Aku tak mengerti mengapa hal bodoh itu sering terbesit di dalam otakku. Saat dia membawaku ke dalam tariannya, aku bisa melihat mata itu berbinar tanpa rasa takut. Rasanya dulu aku pernah memiliki tatapan itu, tapi kapan? Entahlah—aku sudah lupa! Tatapan yang tak ada keraguan di dalamnya, tatapan penuh kepercayaan yang kini seluruhnya telah lenyap dari hidupku.
Sudah dua hari setelah kejadian itu, tapi Rin tidak juga muncul, padahal dia masih mendapatkan haknya berkunjung ke tempat ini. Ini aneh, bukan tentang Rin, tapi aku! Mengapa aku begitu memperdulikannya? Bukankah seharusnya bagus jika Rin tidak berkunjung ke tempat ini lagi? Aggh, sial. Aku harus mulai berhati-hati dengan pikiranku.
Aku membolak-balik kartu nama Dera yang entah sejak kapan kumainkan di antara sela jemari telunjuk dan jari tengahku. Semenjak peryataan menyudutkan yang dia lontarkan padaku, membuatku bertanya-tanya apakah benar aku berteman dengan Rin? Bukankah aku dan perempuan itu tidak pernah saling berjabat tangan sekali pun; bukankah kami tidak pernah secara formal saling memperkenalkan diri satu sama lain? Aku hanya terjebak di tengah kekacauan yang perempuan aneh itu buat. Ahh, aku tahu! Pemikiran ini semata-mata hanyalah sebab pernyataan Dera yang menggiring opini saja. Mana sudi aku berteman dengan perempuan aneh itu. Aku berdiri dari tempatku, melempar puntung rokok yang kuhisap degan serampangan (bukan tipe orang yang begitu peduli kebersihan), berjalan kembali menuju perkerjaan repetitip membosankan yang selalu kulakukan 6 hari dalam seminggu.
Sejak kemarin kunjungan ke perpustakaan ini meningkat cukup drastis. Hal itu terjadi karena pemberitaan tentang Rin yang dibagikan oleh salah satu akun media sosial populer yang rutin membagikan informasi dan berita menarik seputar kota Balikpapan. Entah darimana akun media sosial itu bisa mendapatkan informasi mengenai kejadian dua hari yang lalu itu. Tampaknya mereka punya banyak reporter lepas (netizen yang gemar memberikan informasi kepada mereka). Jadi wajar jika hampir semua kejadian atau berita terkini seputar kota Balikpapan ada di genggaman mereka. Contohnya saja tentang Rin: Akun media sosial itu mengunggah foto Rin yang sedang berdiri tepat di tepi pagar rooftop bersama sejumlah layangan yang mengudara di sisi kanan dan kirinya. Tampaknya foto itu diambil oleh seseorang dari trotoar yang berada di luar pagar perpustakaan.
Akun itu membagikannya dengan headline: Seorang Perempuan Misterius Bermain Layangan di Atas Rooftop Perpustakaan kota Balikpapan. Unggahan itu di-upload pada hari yang sama, hanya berselang sekitar satu atau dua jam setelah kejadian. Tampaknya perpustakaan kami cukup mendapat atensi gratis karna postingan tersebut. Yeah, entah itu atensi negatif atau positif, yang pasti hal itu cukup mendongkrak tingkat kunjungan di perpustakaan kami, sejak kemarin dan berlanjut di hari ini.
“Maaf, apa kamu tahu perempuan yang kemarin sempat diberitakan di tempat ini?” tanya seorang lelaki yang entah kapan datangnya, tiba-tiba saja ia sudah berdiri tepat di depan meja informasi. Mungkin datang saat aku sedang sibuk dengan layar ponselku.
“Perempuan?” Aku mengeryit.
“Ya! Perempuan yang beberapa hari lalu bermain layangan di atas gedung ini,” sahutnya antusias.
“Rin?” Namanya spontan keluar begitu saja dari mulutku. Sial aku sedikit keceplosan.
Lelaki itu melirik ke arahku, entah mendengar atau tidak nama yang baru saja keluar dari mulutku.
“Jadi, apa kamu tahu?” Tanyanya lagi. Beruntung tak mendengar perkatakaanku sebelumnya.
Aku berdiri dan menatap lelaki itu lamat dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dia cukup tampan, usianya mungkin sekitar 25 tahunan. Aku berusaha menduga-duga, apa yang sebenarnya lelaki itu inginkan dari Rin. Jelas dia bukan temannya (aku pikir perempuan aneh seperti Rin tidak memiliki teman). Lalu, untuk apa dia mencari perempuan aneh itu.