Teringat kembali, dulu aku sangat menyukai bintang-bintang. Aku bahkan menghafal beberapa nama rasi bintang seperti Andromeda, Antlia, Aquarius, Ara, Aries dan masih banyak lagi. Jika mengutip dari laman resmi NASA, setidaknya ada 88 rasi bintang yang saat ini telah mereka akui secara resmi (aku tidak benar-benar menghafal semuanya, hanya beberapa yang terdengar mudah dan familiar saja).
Tentu saja aku juga mengetahui nama-nama planet dalam tata surya. Dari yang mengorbit terdekat sampai yang terjauh dari matahari. Dulu jumlahnya ada 9, namun setelah Pluto diturunkan statusnya dari sebuah planet, menjadi planet kerdil (karena tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria dalam definisi sebuah planet), kini jumlah planet yang mengitari tata surya hanya ada 8. Hal ini resmi ditetapkan oleh International Astronimical Union (IAU) pada Agustus 2006 silam.
Jujur saja, dulu aku selalu suka saat menatap hamparan bintang di langit malam. Menangkap bintang-bintang jatuh dengan kedua mataku. Sewaktu kecil aku sering berbaring di depan halaman rumah, ibuku menyiapkan karpet khusus yang dihamparkannya di sana—hanya untukku, agar aku bisa berbaring berselimut bintang-bintang di bawah langit malam. Dia bahkan menghias langit-langit kamarku dengan stiker bintang yang dapat menyala dalam gelap. Tapi dia tak pernah tahu, dari sekian banyak bintang di langit, dialah bintang yang paling aku sukai. Saat ibuku tersenyum wajahnya tampak bercahaya, kedip matanya bagaikan gemericik gemintang. Aku selalu menyukainya. Entah itu bintang di langit malam—atau dia (bintang kehidupanku).
Bersama kedua orang tuaku, aku tumbuh menjadi seorang anak yang dipenuhi khayal dan kepercayaan. Aku percaya jika manusia bisa melakukan segalanya. Selayaknya film fiksi yang ku tonton di televisi, aku bahkan percaya jika manusia bisa mengendalikan angin, menangkap bintang jatuh, atau bahkan mengubah malam menjadi siang. Rasanya tidak ada yang mustahil. Tapi, semua berubah ketika dia (ibu) harus pergi. Kami telah melakukan segala yang bisa dilakukan untuk mengobati penyakitnya. Jika manusia bisa melakukan segalanya, seharusnya dokter bisa menyembuhkannya, tapi nyatanya tidak. Ibu harus pergi untuk selamanya.
Harus kuakui banyak hal-hal yang dulunya kusukai, seperti anak kecil menyukai permen kapas. Namun, seiring berjalannya waktu, hal-hal itu tak lagi indah. Sama seperti saat kaumemakan permen kapas di usia 30 tahun—rasanya tidak akan lagi spesial. Seperti itulah kiranya aku menyukai bintang-bintang. Aku tak lagi melihat keindahannya setelah dia wafat di usiaku yang ke-15. Dikalahkan oleh kanker paru-paru yang menggerogoti tubuhnya. Aku mencintainya. Tuhan... doa kupanjatkan untuknya. Engkaulah Sang Pencipta kehidupan—dan dia adalah penghidupan bagiku. Salam cinta untuknya. Untuk ibu—dari Ehan anakmu. Besok aku akan menemuimu, membersihkan pusaramu, menabur bunga dan membaca Quran agar terang jalanmu. Dulu engkau menghiasi kamarku dengan bintang-bintang, dan kini giliranku yang menerangi persemayamanmu dengan doa dan cinta.
***