Sebagai lulusan SMA, aku tidak banyak memilih pekerjaan, apa pun itu akan kulakukan. Setidaknya aku harus memiliki penghasilan untuk melanjutkan hidupku, tidak bisa hanya berpangku tangan oleh pemberian paman dan bibiku saja. Meski mereka orang yang baik, aku tak ingin terus merepotkannya. Aku lulus di usia 17 tahun (tahun terakhir saat kondisi kesehatan ayah semakin memburuk). Tidak langsung bekerja, memutuskan untuk mengurus ayah di rumah. Setahun berselang ayah menghembuskan napas terakhirnya. Setelah kepergiannya barulah aku mulai mencari pekerjaan, tak mau terlalu lama berdiam diri di rumah penuh kenangan itu. Beberapa profesi telah kujalani, hingga akhirnya aku diterima bekerja di perpustakaan kota Balikpapan sebagai karyawan honorer.
Sepeninggal mereka aku tinggal seorang diri di rumah sederhana yang mereka wariskan, bertipe 45 dengan ukuran 6x7,5 meter yang berdiri diatas tanah seluas 96 meter. Aku anak semata wayang, ada dua kamar tidur di sana. Yang satu kugunakan sebagai kamar tidurku, dan yang satu lagi kukunci rapat bersama kenanganku bersama mereka (ayah dan ibu). Hidup tanpa kedua orang tua tentu saja membuatku bebas melakukan apa pun, aku pernah terjerumus dalam kelamnya pergaulan bebas. Narkotika, minuman keras, dunia malam dan kenakalan remaja lainnya selama dua tahun. Semua pernah kulakukan hanya untuk mengisi kekosongan di hati sepeninggalan kedua orang tuaku. Hingga akhirnya bosan dan memilih meninggalkan pergaulan kelam itu. Nyatanya semua kesenangan yang kurasakan hanya bersifat fana.
Aku lupa kapan pertama kali aku mulai merasa dicintai. Mungkin saat aku menginjak usia sekitar 20 tahun. Lama rasanya tak merasakan kehangatan itu setelah kedua orang tuaku meninggal. Aku terhanyut dalam cintanya, namun tak berlangsung lama. Cinta temporer yang awalnya indah itu berubah nelangsa. Setelah gagal dengannya, aku belum menyerah untuk mendapatkan cinta yang kubayangkan. Cinta putih yang kuimpi-impikan, tapi nyatanya semua hanyalah ilusi belaka. Selalu indah di awal, dan menyakitkan di akhir. Pengkhianatan dan kekecewaan yang kualami berulang kali, menghancurkan pengharapanku tentang cinta khalis yang kubayangkan, mengikis kepercayaanku secara perlahan. Berulang kali coba mempercayai jika cinta dan ketulusan itu nyata, tapi aku menyerah di usiaku yang ke-28 (tiga tahun silam). Aku memutuskan menutup rapat hatiku untuk siapa pun. Seperti udara yang semakin lama semakin terkontaminasi jelaga industri; perlahan namun pasti, seperti itulah runtuhnya kepercayaanku tentang cinta.
Maaf ayah, aku mulai mempertanyakan kemurnian cintamu. Apakah cinta sempurna itu juga berupa ilusi belaka? Apa kau dan ibu selama ini hanya menutupi bagian menyakitkannya saja, dan membuatnya terlihat sempurna di mataku? Nyatanya realita tak seperti yang kuharapkan! Tuhan, apa itu cinta dan kasih? Mengapa rasanya selalu menyakitkan? Aku tidak akan mempercayai cinta lagi, selain cinta ayah pada ibuku. Selebihnya hanyalah ketidakberdayaan semata.
***
Seorang bocah lelaki berusia sekitar 7—8 tahun tampak celingak-celinguk di depan pintu masuk perpustakaan. Ia tak sendiri, terlihat beberapa anak lain yang lebih muda darinya. Anak-anak itu mungkin berusia sekitar 5—6 tahun. Beberapa terlihat normal, namun beberapa lainnya tampaknya adalah anak-anak yang spesial (down syndrome).
Baju mereka usang, wajah mereka sedikit kotor. Mengenakan celana pendek seadanya dengan sendal jepit yang terlihat kebesaran. Mungkin harus kujelaskan terlebih dahulu. Aku memang memilih untuk tidak banyak bersimpati pada orang lain. Namun, tidak untuk anak kecil seumuran mereka (mereka pengecualian). Bagiku mereka masih murni, polos dan suci. Mereka melakukan segala hal dengan hati mereka. Tidak seperti orang dewasa yang picik dan manipulatif. Beberapa teman kerjaku kerap bertanya, mengapa aku begitu baik pada anak-anak? Jawabannya simpel. Anak-anak tak akan mungkin melukai perasaanku. Itu saja! Aku merasa aman saat bersama mereka.
“Haaaay... ,” sapaku sambil membukakan pintu. Mereka terkejut, tampak canggung dan saling menatap satu sama lain. Aku tersenyum, mungkin mereka takut jika tidak diperbolehkan berkunjung kemari.
“Kalian ingin masuk?” Tanyaku ramah.
Anak paling besar mengangguk. Sepertinya ia pemimpin dari kelompok itu.
“Baiklah! Ingin baca buku atau bermain?” Tanyaku lagi.
“Memangnya kami boleh bermain, Om? Tanya salah satu anak, terlihat sangat antusias saat mendengar kata ‘bermain’.
“Tentu saja, tapi hanya anak yang berusia 6 tahun ke bawah yang boleh bermain di taman bermain!” Jelasku. Mereka sumringah. Aku tersenyum, melihat kebahagian kecil itu cukup membuatku merasa senang. Aku selalu menyukai mereka (anak-anak), entah yang normal atau berkebutuhan khusus. Aku tidak pernah membedakan mereka. Bagiku mereka semua adalah anugerah yang berasal dari benih cinta dan kasih (belum tercemar). Sama halnya dengan kita, aku dan kalian semua. Kita adalah anugerah bagi orang tua kita. Mungkin itu juga yang selama ini membuatku bertahan dalam hidup yang membosankan ini. Ketika aku memikirkan cinta dan kasih kedua orang tuaku, itu membuatku mengurungkan niatku untuk menyerah. Sekonyong-konyong, setidaknya aku tidak berpikir untuk mengakhiri hidupku sendiri (bunuh diri).
Aku mengajak mereka semua masuk, tidak peduli dengan baju lusuh yang mereka kenakan. Bagiku mereka tidak ada bedanya dengan anak orang kaya yang menggunakan pakaian branded. Toh, mereka sama-sama anak kecil. Status ekonomi tidak pernah mengusikku.
Ada 6 anak, dan 5 diantaranya berumur 6 tahun ke bawah. Sedangkan satu sisanya tidak boleh ikut bermain karena berumur di atas 6 tahun. Sebelum memasuki area bermain, aku memerintahkan mereka untuk mencuci kaki terlebih dahulu di toilet. Kaki mereka cukup kotor, mungkin karena bermain ke sana-kemari di luar ruangan. Aku membantu beberapa anak, terutama yang memiliki down syndrome. Membasuh kaki mereka dengan sabar, menjawab satu-persatu pertanyaan spontan yang mereka lontarkan. Aku sama sekali tidak keberatan melakukan semua itu. Raka pernah berkata, “Andai kamu sama baiknya ke semua perempuan seperti saat kamu memperlakuan anak-anak, mungkin kamu tidak akan sendirian. Kaupasti sudah punya pacar sekarang!” Tukasnya. Tapi aku hanya tersenyum dan memilih tidak membalas perkataannya.
Setelah selesai, aku memerintahkan mereka berbaris. Mereka tidak membawa kaos kaki untuk bermain, padahal itu syarat utama agar bisa bermain di tempat ini (beberapa jenis permaianan yang kami sediakan memiliki sudut yang tajam, sangat berbahaya jika terinjak dengan kaki telanjang). Untungnya aku pernah mengusulkan pada manajemen untuk menyiapkan beberapa kaos kaki cadangan, kalau-kalau ada anak yang ingin bermain tapi tak membawa kaos kaki. Dan terbukti, itu sangat membantu. Aku memberikan mereka masing-masing sepasang kaos kaki, sedangkan untuk anak yang memiliki down syndrome aku membantu memasangkannya.
“Oke, apa kalian sudah siap?” Tanyaku bersemangat. Aku tersenyum ketika mereka menjawab dengan serempak penuh kegembiraan. Mempersilahkan mereka memasuki taman bermain, dengan syarat sehabis menggunakan barang yang ada di sana, mereka harus mengembalikan pada tempatnya.
Aku menghampiri anak paling tua, ia hanya bisa memperhatikan teman-temannya bermain dari luar area taman bermain anak.