Beberapa kali ku melihat jam di ponselku—berusaha tenang. Namun, waktu berjalan sangat lamban. Kuseruput kopi hitam yang kupesan—rasanya pahit, tapi aku yang memintanya seperti itu. Angin pantai menghembus kemejaku—beberapa kali merapikan rambut, takut terlihat berantakan saat dia datang. Tapi sialnya, sudah satu jam lebih aku menunggunya seperti orang bodoh. Ponselku tak juga berdering, hampir semenit sekali aku memeriksanya, berharap ada pesan masuk darinya. Ciih ... rasanya bodoh sekali!
Aku mengedar pandang, suasana malam semakin sendu, alunan live musik akustik menemani lambannya waktu berjalan. Dia tak jua datang—menunggu suah bagai tak berujung. Pasangan lain saling bermesraan, lagu cinta membumbung tinggi harapan. Ingin dia segera datang sembari melemparkan senyum termanisnya—tapi sayang tak pernah terwujud. Aku hanya membuang waktuku.
Perlahan pandanganku mulai memburam. Meja-meja kafe yang awalnya rapat mulai tertarik menjauh dengan sendirinya, aku seperti terasing. Alunan musik major berubah minor—entah sejak kapan mereka semua memandang ke arahku. Mata mereka kosong, beberapa pasangan dan sekelompok remaja itu membeku menatap sarkas ke arahku. Napasku sesak, entah bagaimana mereka semua perlahan meleleh bagaikan lilin yang termakan api. Aku ingin berteriak, berharap dia datang dan menyelamatkanku. Tapi tidak—dia tidak pernah datang.
Aku terbangun dari mimpi buruk itu, napasku terengah, keringat bercucuran di mana-mana. Sangat sesak, seolah tidak ada udara beredar dalam lindap kamarku. Aku berlari keluar, membuka pintu dan menarik napas sedalam mungkin. Aku benci mimpi itu, benci perasaan tak menyenangkan itu. Salah satu kenangan pahit yang masih membekas dalam ingatan. Kafe yang terletak di Jl. Jendral Sudirman (Monumen) itu, tak pernah lagi kukunjungi. Bukan karena tempatnya tidak bagus—hanya tidak menyukai kenangannya saja.
***
April, dua bulan sebelumnya. Sebuah keributan terjadi di depan pintu masuk salah satu hotel yang ada di Jl. Ahmad Yani, aku tak sengaja menyaksikannya setelah membeli seporsi makan malam, normalnya aku tidak akan terlalu mempedulikannya, tapi sosok yang menjadi sumber masalah itu adalah orang yang kukenal. Ya, tepat sekali, dia: Rin. Entah apa yang telah perempuan aneh itu lakukan—yang pasti saat itu dia sedang diseret paksa oleh seorang satpam yang bertugas; untuk keluar dari hotel tersebut.
Aku memarkirkan sepeda motor usangku dengan serampangan, tak peduli jika itu bukan tempat yang tepat untuk memarkirkannya. Bergegas berlari menghampiri Rin dan sang satpam, dan beberapa staff hotel yang tengah berkumpul di pelataran. Lihat, lagi-lagi aku terseret ke dalam masalah yang selalu ia buat (atau mungkin aku sendiri yang memutuskan untuk terseret ke dalamnya).
"Maaf, apa yang terjadi?" tanyaku, aku langsung menarik lengan Rin yang sedari tadi digenggam kasar oleh satpam itu. Rin terlihat sesenggukan.
Aku melirik ke arah Rin, melototinya, memberikan tanda tanya semu tentang apa sebenarnya yang telah ia lakukan. Namun Rin tak menjawabnya, ia bahkan tak bisa berbicara karena tangisnya.
"Apa, Mas mengenalnya?" tanya sang satpam.
Aku mengangguk, tak ada jalan lain, aku harus mengakuinya.
"Ya, dia temanku. Apa yang terjadi?" sahutku, sembari menekankan pertanyaan yang kulontarkan.
Sang satpam tampak mengacak rambutnya yg hampir pelontos.
"Dia diam-diam masuk dan ingin menyelinap ke rooptop kami!" jawabnya.
"HAH?" Aku melongo mendengarnya, apa lagi yang ingin dilakukan perempuan aneh itu? Pikirku.
"Astaga." Kini giliranku yang mengacak rambut, masih tidak habis pikir dengan apa yang perempuan itu coba lakukan. Para staff hotel juga membenarkan pernyataan itu
Aku segera memohon maaf, tapi tidak begitu digubris, tampaknya mereka cukup kesal karena kejadian itu. Aku tak bisa mengelaknya, jelas perbuatan Rin sangat menggangu kenyamanan mereka.
Kami dibawa ke pos satpam, tampaknya mereka mau memperpanjang masalah itu. Aku segera teringat pada Dera, untungnya aku masih menyimpan kartu namanya, dan tanpa pikir panjang segera menghubunginya.
Dera terkejut saat aku mengabarkan kejadian itu, tampak rasa panik bersarang dalam nada bicaranya.
"Baiklah, aku ke sana sekarang juga!" ujarnya, langsung menutup sambungan telepon tanpa peduli entah ucapanku belum benar-benar selesai.
Aku menunggu dengan resah, sedangkan Rin seperti biasa, tak henti-hentinya menangis. Dasar perempuan gila, kalau akhirnya kaumenangis, mengapa kaumelakukannya bodoh! Protesku dalam hati.
Sang satpam tampak beberapa kali menelepon. Aku mendengar jelas jika dia sedang memberikan laporan pada atasannya, menyiapkan selembar kertas pernyataan yang pasti akan sangat merepotkan bagi kami.
Untungnya Dera sampai tepat waktu, saat kertas pernyataan itu baru saja disodorkan kepadaku.
"Saya Walinya!" sambar Dera dengan napas yang ngos-ngosan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana lelahnya menjadi lelaki itu, memiliki adik seperti Rin, pasti sangat merepotkan.
Dera segera menandatangani surat pernyataan itu, ia juga diminta untuk bertemu manager hotel untuk mempertanggungjawabkan kejadian itu. Di luar dugaan, sang manager ternyata sangat mengenal Dera dengan baik, ia bahkan tampak segan dengan lelaki itu. Aku masih sangat penasaran siapa Dera sebenarnya? Kurasa ia orang yang cukup berpengaruh!
Seperti sihir; masalah itu selesai dengan mudah, koneksi yang Dera miliki sangat membantunya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Apa mungkin selama ini mereka baik-baik saja dengan segala tingkah aneh Rin karena Dera adalah orang yang berpengaruh? Itu membuatku bertanya-tanya di dalam hati.
"Maaf, bisakah kamu mengantar Rin pulang? Aku ada sedikit urusan dengan manager hotel!" pinta Dera.
Aku mengangguk, tak bisa menolak permintaannya. Dera membelai lembut rambut Rin sebelum ia pergi meninggalkan kami dan pergi bersama manager hotel.
“Ayo kita pulang!” ujarku, menarik lengan Rin, mengajaknya menuju sepeda motor usangku yang terparkir serampangan di bahu jalan. Terlihat sang satpam cukup kesal karena kami berhasil keluar dari masalah itu dengan cukup mudah. Tentu saja semua itu karena Dera.
“Aku nggak mau pulang!”
“Bolehkah kita pergi ke suatu tempat?” pinta Rin.
“Hah?” Aku melongo.
“Mau kemana memangnya? Kamu sudah cukup membuat masalah hari ini!” protesku.
Rin terlihat kecewa, memasang wajah masam sambil menghela napasnya.
“Kalau nggak ada Kak Dera, rumah terasa sepi. Aku nggak mau pulang!” paparnya memberikan alasan.
Aku yang awalnya menolak seketika berubah pikiran, Rin adalah yatim piatu sama sepertiku. Tentu saja suasana rumahnya akan sangat sepi, terlebih ketika Dera sedang tidak ada di sana. Aku tahu betul hal itu—aku juga selalu merasakannya. Sekonyong-konyong manusia tidak bisa berbicara pada sebuah lukisan atau dinding kamar. Terkadang keheningan itu terasa sangat menyiksa. Baiklah, aku pikir tidak ada salahnya mengajaknya sedikit berputar-putar di jalan atau singgah ke suatu tempat sebelum mengantarnya pulang.
“Okee, tapi sebentar saja!” Aku mengabulkan permintaannya, seketika membuat ekspresi Rin berubah sumringah. Aku tekankan, ini hanya rasa simpatiku pada sesama anak yatim piatu.
Setelah beberapa kali berputar di jalan yang sama tanpa tujuan pasti, akhirnya Rin memintaku berhenti di sebuah JPO yang menghubungkan antara Jl. Jendral Ahmad Yani menuju Plaza balikpapan.
“Kita berhenti di sini saja!” titahnya.
Aku menurut tanpa banyak protes. Entah apa yang ingin ia lakukan di sebuah JPO seperti itu.
Dan Itulah hari di mana kami mulai berbincang satu sama lain. Meski perbincangan itu terasa kaku, dan aku masih belum mengerti seperti apa kepribadian Rin dengan baik, tapi tanpa kami sadari waktu berjalan sangat cepat. Rin mengadakan sebuah permainan bodoh, itu hari di mana kami melakukan perlombaan menghitung mobil berwarna hitam dan putih (aku pemenangnya), hari di mana Rin tiba-tiba saja mengomentari t-shirt berwarna hitam yang kukenakan (dia tidak menyukai warnanya). Itu adalah hari sebelum ia kembali melakukan pagelaran anehnya dua bulan yang akan datang.
“Sebenarnya, apa yang sedang kamu lakukan di sana?” tanyaku penasaran tentang kejadian sebelumnya.
“Aku mencari tempat paling tinggi di kota ini!” jawabnya, matanya menatap nanar ke ruas jalan.
“Tidak hanya tertinggi, umm, aku juga harus mencari tempat terbaik untuk melakukannya!” tambahnya.
“Hah? Untuk apa?” Entah mengapa Rin senang sekali memberikan jawaban samar seperti itu, sama seperti ketika ia melakukan pentas layangan beberapa bulan yang lalu, ia hanya mengatakan jika ‘mereka akan melihatnya!’ tanpa peduli apakah aku mengetahui siapa mereka atau tidak.