Rinai Imajiner

Yahya Ibrahim
Chapter #10

Pilihan

Minggu pagi, kini giliranku mendapatkan jadwal tambahan (lembur) untuk berkeliling ke berbagai tempat menggunakan mobil pusling (Perpustakaan Keliling). Walau kelesa, tetap juga aku lakukan. Sedikit kesal rasanya mengingat hari liburku harus digunakan untuk bekerja. Yeah, setidaknya aku bisa mendapat sedikit uang tambahan dari apa yang kulakukan. Jika dipikir-pikir lagi, rasanya tidak terlalu buruk. Lagi pula, dua hari terakhir ini aku telah mangkir (bolos) dengan alasan sakit.

Aku memarkirkan mobil puslingku di salah satu bahu jalan di pinggir Lapangan Merdeka. Tempat yang selalu ramai dikunjungi masyarakat Balikpapan tiap minggu pagi. Beberapa menghabiskan waktu untuk berolahraga, beberapa hanya menikmati keramaian atau membeli jajanan yang disuguhkan, dan beberapa lainnya mungkin sedang berkencan dengan alasan olah raga bersama.

Aku membuka bak belakang mobil puslingku, memamerkan koleksi buku yang tersusun rapi di sana. Mengeluarkan sebuah kursi kecil, duduk santai berusaha memaksakan diri menikmati keramaian pagi itu. Aktivitas yang cukup membosankan bagiku.

Ramai orang-orang berlalu lalang di sekitarku, namun tak banyak yang tertarik untuk mampir ke lapak buku yang kujajahkan. Aku mengerti jika saat ini minat literasi masyarakat memang telah berkurang. Media sosial menjadi daya pikat tersendiri (kebanyakan orang memilih menghabiskan waktu berkutat di sana), semua serba digital, tak banyak lagi yang menyukai buku fisik, tak banyak lagi orang-orang yang gemar menghirup wangi lipatan kertas beraroma khas yang tercium sedikit menyengat saat membacanya. Bagaimanapun zaman telah berkembang dengan pesat. Walau di sisi lain aku percaya, buku fisik akan selalu mendapat tempat tersendiri di hati para penggemarnya.

Mengisi waktu yang membosankan, aku melempar pandang ke setiap penjuru yang dapat kujamah. Di Lapangan Merdeka, setidaknya ada tiga lapangan yang terletak saling bersebelahan (hanya di pisahkan oleh jalan kecil yang membelah di antara ketiganya). Kami biasa menyebutnya: Lapangan 1,2, dan 3 .Sebagai penanda dan untuk mempermudah penyebutannya. Di tiap lapangan hampir dipenuhi orang-orang dari berbagai kalangan usia; terutama anak-anak yang bermain ke sana-kemari. Berkubu-kubu: beberapa bermain sepak bola, ada yang bermain kejar-kejaran, beberapa lainnya terlihat memainkan layangan yang mereka beli dari penjual yang ada di sana.

Sebuah layangan limbung ke arahku, mendarat tepat di depan mobil pusling yang kuparkir di sana. Aku memungutnya, berniat mengembalikan layangan itu pada pemiliknya. Belum sempat aku mengedar pandang mencari sang pemilik, tiba-tiba Rin muncul dengan napas terengah (berlari mengejar layangan). Aku cukup terkejut mengetahui perempuan itu ada di tempat ini. Begitu juga Rin, melihat dari ekspresinya, dia sama terkejutnya denganku.

Semenjak terjebak di rumahnya dua hari yang lalu, semenjak mendengar cerita pahit masa lalu mereka, dan setelah melihat foto usang itu (dua anak yang sedang bermain layangan bersama). Entah mengapa aku merasakan sesuatu yang sulit kujelaskan. Hal itu jugalah yang membuatku memutuskan bolos bekerja selama dua hari penuh. Aku terus memikirkannya, dua anak di dalam foto itu rasanya tidak asing, dan halusinasi audiotorik yang melandaku, sebuah ingatan samar di kepalaku. Hal itu terus menggangguku.

Kami bertatapan satu sama lain, ingin bersikap sewajar mungkin. Aku telah mengetahui masalalunya, dan mungkin Dera telah sukses menanamkan rasa simpatik itu kepadaku. Tapi hari itu bukan aku yang berbeda, Rin lah yang tampak tak seperti biasanya. Ia tidak mau melihat wajahku. Aku ingin menyapanya, tapi tertahan. Jadi aku hanya menyodorkan layangan itu tanpa berbicara sepatah kata pun. Begitu juga Rin, mengambil layangannya dan segera pergi begitu saja.

Merasa ada yang salah, aku berniat untuk menanyakannya. Bermaksud menahan perempuan itu sebelum benar-benar pergi jauh. Tapi, lagi-lagi terhenti saat Hendra muncul entah darimana. Lelaki itu selalu sukses membuat mood-ku hilang begitu saja. Dia bagaikan jamur di kulit; menempel setiap waktu kemana pun Rin berada. Apa mungkin mereka telah menjalin hubungan khusus? Tapi, pikir bodoh. Untuk apa aku memikirkannya! Pagi itu aku memutuskan pulang lebih cepat, sedikit terganggu dengan kehadiran mereka berdua (terutama Hendra).

*** 

Senin pagi. Raka mengajakku untuk sedikit berbincang di basement perpustakaan. Dua hari sudah aku bolos bekerja, tampaknya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.

"Ada apa, tiba-tiba mengajakku ke sini?" tanyaku.

“Seseorang mencarimu!”

"Selama kamu nggak masuk kerja, dia datang kemari!" jawabnya.

"Dia? Dia siapa?"

Raka tampak gusar.

"Hey, ayolah, siapa yang mencariku?" desakku.

"Mungkin kamu nggak akan menyukainya!" Raka menatapku dengan wajah serius.

Aku mengernyit.

"Cepat bilang! Siapa yang mencariku?" Tingkahnya hanya membuatku semakin penasaran.

Raka menghembuskan napasnya panjang, sebelum akhirnya nama itu keluar dari mulutnya.

"Vinna!"

Aku tersentak bukan main. Tak pernah berpikir nama itu akan kudengar lagi.

"Hah?" Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.

Nama yang telah lama berusaha kulupakan—nama yang setiap kali mendengarnya maka merekahlah luka di hati. Dia adalah perempuan yang dulu aku nantikan di sebuah kafe berjam-jam, namun tidak pernah datang menepati janjinya. Menghilang begitu saja bersama angin; meninggalkan luka hati teramat dalam. Bertahun-tahun menghilang tanpa kabar (mengabaikan semua panggilan dan pesan teks yang dulu kukirimkan), kini—setelah 4 tahun berlalu—dia datang begitu saja. Wanita brengsek itu, apa maunya? Pikirku.

Aku terdiam untuk sesaat, tak tahu harus merespons seperti apa? Harus bagaimana menyikapinya? Harus senang atau marah? Aku sudah terbelenggu dalam kenangan itu selama bertahun-tahun, menjadi mimpi buruk yang kerap datang tanpa permisi.

Lalu, pantaskah kenangan itu muncul kembali, menyapaku setelah sekian lama berjibaku dalam nistanya kenestapaan. Bertanya-tanya mengapa dia meninggalkanku begitu saja? Tidakkah itu sangat kejam? Tak pernah ada penjelasan, tak pernah ada alasan! Semenjak malam itu dia tidak pernah lagi mengangkat telepon atau merespons pesanku. Meninggalkanku dalam tanda tanya besar (apa yang membuatnya pergi dariku?), memaksaku menyalahkan diri sendiri; merasa tidak layak sebagai seorang lelaki.

Raka adalah orang yang paling tahu akan kisah cintaku, dia adalah saksi hidup bagaimana secara perlahan runtuhnya kepercayaanku tentang cinta. Raka menjemputku di kafe malam itu. Setelah dia (Vinna) menelantarkanku begitu saja, membiarkanku menunggunya seperti orang bodoh selama berjam-jam tanpa kepastian.

Vinna mungkin bukan orang terakhir yang menjalin hubungan denganku, dia juga bukan orang yang pertama. Namun, nyatanya luka yang ia tancapkan sangat membekas. Dia adalah perempuan yang berperan penting meruntuhkan kepercayaanku tentang pengharapan dan cinta. Meski setelahnya aku masih berusaha melangkah maju, berharap menemukan seseorang yang bisa menghapus luka di hati. Namun, pada akhirnya semua sama saja. Mereka pergi begitu saja tanpa pernah mengatakan alasannya terhadapku. Menghilang bagai ditelan bumi, meninggalkan tanda tanya besar; membuatku selalu menyalahkan diri sendiri atas mereka yang memutuskan pergi meninggalkanku. Hingga puncaknya saat tiga tahun silam; saat lagi-lagi aku diperlakukan hampir dengan cara yang sama. Entah itu Vinna, atau dia (perempuan yang membatalkan janjinya denganku di awal cerita), semuanya sama saja. Datang sesaat, dan pergi setelah mengukir lara.

Nyatanya, terkadang luka yang sangat membekas bukan datang dari orang pertama yang menggoreskannya, bukan juga dari orang terakhir yang menorehkannya. Seperti yang terjadi kepadaku, Vinna datang di tengah-tengah kebimbangan—apakah aku harus tetap mempercayai seseorang lagi atau tidak (fase yang menentukan). Dan ketika dia meninggalkanku, terjawab sudah pertanyaan itu. Seolah-olah luka yang dia berikan berperan penting menjadi pondasi pada tembok yang nantinya akan kubangun. Menjadi salah satu luka yang paling membekas dalam hidupku.

 Mungkin karena dulu aku sempat sangat mengharapkannya untuk dapat menemani sisa hidupku (telah berpikir ke jenjang yang lebih serius dalam suatu hubungan), dan setelah kepergiannya, hancurlah pengharapan itu. Meski setelahnya aku masih berusaha tetap mencoba mencari seseorang yang bisa menggantikannya (sesuai saran Raka), namun akhirnya memutuskan menyerah tiga tahun silam. Sekali lagi—Vinna memang bukan orang pertama dan terakhir yang menyakitiku. Namun dialah alasan terbesarku membangun tembok di dalam diriku. Sedangkan yang lainnya (orang-orang yang menyakitiku sebelum dan setelah Vinna) hanya berperan sebagai penguat. 

"Kemarin dia datang mencarimu!" papar Raka.

Aku tak menjawabnya, hanya terdiam, mengingat perasaan tidak menyenangkan itu mulai merekah kembali.

"Aku sudah berpikir semalaman. Awalnya aku tidak ingin memberitahumu. Kemarin aku bahkan mengusirnya!" tambah Raka (dia menggantikanku berjaga di meja informasi selama aku tidak masuk kerja).

Kemarin perempuan itu muncul tiba-tiba di hadapan Raka (di meja informasi), seketika itu juga membuat ekspresi Raka berubah. Raka mungkin bukan sahabatku, namun ia tahu betul kisahku dengan perempuan itu. Bagaimana perempuan itu pergi meninggalkanku begitu saja, membuatku terpuruk dan mulai menyalahkan diri sendiri atas kepergiannya. Semenjak saat itu Raka tidak menyukainya (Vinna). Meski sedikit pelit, namun Raka adalah orang yang sangat peduli terhadap teman-temannya. Termasuk kepadaku.

Vinna muncul begitu saja, menanyakan keberadaanku di meja informasi saat Raka sedang berjaga. Raka yang merasa tidak asing karena pernah beberapa kali bertemu dengan perempuan itu (saat aku mengajak Vinna nongkrong bersama teman kerjaku), menjawab dengan ketus pertanyaannya; mengatakan jika aku tidak ada. Tapi Vinna terus mendesaknya, menanyakan berbagai hal (bagaimana keadaanku, seperti apa aku sekarang, sedang menjalin hubungan atau tidak?). Raka yang memiliki kesabaran setipis tisu mulai muak dengan segala pertanyaan yang dilontarkan. Ia sudah menjawab dengan tegas jika aku tidak ada. Bagi Raka tidak ada lagi yang perlu ia jawab.

Sampai pada puncaknya, Raka mulai berteriak dan mengusir perempuan itu. Raka melakukannya saat pengunjung cukup ramai. Ia juga berkata jika saat itu ada Rin di sana (Raka menyebutnya dengan sebutan perempuan aneh). Tentu saja dengan sifat Rin yang kita tahu; mendengar sebuah bentakan meski bukan tertuju padanya, sontak membuat perempuan itu menangis (mungkin ia terkejut karena suara besar Raka). Raka juga mendapatkan teguran dari Kepala Bidang karena perlakuannya pada Vinna. Namun ia tidak begitu peduli. Rasa kesalnya pada perempuan itu sudah tak bisa ditoleransi.

"Aku sudah memperingatkannya untuk tidak kembali lagi!" tukas Raka, terdengar masih cukup emosional.

"Aku tahu dia orang yang cukup keras kepala. Mungkin hari ini dia akan datang lagi!" tambahnya, memperingatkan.

 Lagi-lagi aku tak dapat banyak berkomentar. Rasanya tidak terbayangkan jika kami bertemu lagi. Wajah itu pasti akan menarik kembali kenangan masa lalu, mungkin saja luka itu akan terkoyak kembali. Aku sangat membenci mereka yang memutuskan untuk pergi dan menghilang tiba-tiba tanpa pamit. Hal itu selalu menjadi ketakutan terbesarku saat ini—takut mengalami hal yang sama saat menjalin hubungan atau mengenal orang baru. Pergi tanpa alasan hanya akan meninggalkan berjuta spekulasi untuk mereka yang ditinggalkan—yang pada akhirnya berujung menyalahkan diri sendiri (sepertiku). Tak pernah tahu apa penyebabnya, tak tahu apa alasannya! Mulai menerka-nerka apa yang salah dari diri sendiri, apakah: caraku berbicara, caraku bernapas, atau hal yang lainnya? Apa yang membuat mereka pergi meninggalkanku? Aku selalu mempertanyakannya sepanjang waktu. Tidak ada kalimat positif dalam spekulasi itu; slalu berpikiran negatif dan menyalahkan segalanya pada diri sendiri.

***   

Lihat selengkapnya