Rinai Imajiner

Yahya Ibrahim
Chapter #11

Pertemuan

11 Agustus 2020 (4 tahun silam).

Apa kalian pernah jatuh hati pada pandangan pertama?

Sore itu kubiarkan angin menerpa wajahku, membenamkan perasaanku dari dalamnya sisa duka yang melekat di hati. Berharap angin pantai akan membawanya (luka itu) pergi menjauh. Sudah seminggu berlalu setelah hubungan kami berakhir (hubungan antara aku dan seseorang sebelum Vinna), namun rasanya luka itu masih anyar, basah dan berbau amis. Aku tak pernah menyangka: hari itu, di pantai itu—akan bertemu dengannya. Perempuan cantik dengan rambut indah yang tersibak lembut oleh hembusan angin. Masih begitu mengingatnya; momen itu—tertanam jelas di ingatanku. Hari di mana aku menemukannya: seorang perempuan yang membuatku kembali berani untuk berharap akan banyak hal, kisah cinta nan indah, hidup bersama dalam peraduan, menari di ujung senja, menapaki malam tak berujung—hidup bersama selamanya. Setidaknya itulah yang dulu kupikirkan. Berjuta angan-angan indah ku tebar tanpa ragu. Bersamanya hilang sudah nestapa. Mulai melangkahkan kaki kembali—kembali mempercayai akan hadirnya cinta khalis—layaknya kisah cinta ayah dan ibuku.

Vinna muncul di hadapanku begitu saja, datang dengan sedikit peluh, disertai napas yang ngos-ngosan; berusaha mengejar selembar pita berbahan kain yang entah bagaimana jatuh tepat di pangkuanku. Rambut panjang miliknya tersibak; mungkin pita itu lepas begitu saja dari rambutnya, terbawa angin dan jatuh tepat di pangkuanku. Senja itu memaparkan cahaya kemerahan nan indah. Kali pertama melihat wajahnya, dalam pandangan pertama pula jatuh terpana akan paras sang Rahara. Matanya indah menatapku di antara binar cahaya senja yang terbias di rambutnya. Merangsak masuk tanpa permisi, dan bertahta di dalam hati. Senja itu—kali pertama aku bertemu dengannya—kali pertama pula jatuh cinta pada pandangan pertama.

“Maaf,” ujarnya, menunjuk pita yang jatuh tepat di pangkuanku.

Lama aku terdiam, seperti orang bodoh menatap lekat wajahnya yang teduh. Bola mata kecoklatan itu sangat harmonis bersanding bersama rona senja dalam swastamita. Membuatku bertanya-tanya: darimanakah datangnya sang malaikat?

“Hello....”

“Mas...!”

Berkali-kali Vinna menegurku, tapi tak jua kuhiraukan. Terlalu hanyut mengagumi paras cantiknya.

Setelah kesekian kalinya, akhirnya aku tersadar. Dengan segera meraih pita itu dan menggenggamnya. Masih sedikit bingung apa yang seharusnya kulakukan setelah itu.

“Mas, apa kamu baik-baik saja?” Vinna mengernyitkan kening, bingung melihat tingkah anehku.

“Ah, maaf... umm,” aku tak tahu harus berkata apa. Aku sadar jika dia sedang meminta pita miliknya. Tapi, aku seperti orang bodoh yang tak tahu arah.

Vinna tertawa melihat tingkahku, tentu saja hal itu membuatku malu. Namun tawanya jugalah yang membuat suasana menjadi sedikit lebih ringan.

“Pitanya, Mas. Boleh aku memintanya!” pintanya, berusaha menahan tawa sambil menunjuk pita yang sedang kugenggam.

Aku dengan sigap segera menyodorkannya, gerakanku aneh—kaku seperti robot.

“Mas, mendingan pulang deh, entar kesurupan loh!” ejeknya setelah berhasil mendapatkan pitanya kembali.

Wajahku merah tak terkendali—rasanya ingin menceburkan diri ke laut saat itu juga. Astaga, mengapa aku bersikap bodoh seperti itu di depannya, sedikit mengutuk tingkah konyolku sendiri.

Vinna membalikkan pungungnya, masih sedikit cekikikan, meninggalkanku yang masih memasang tampang bodoh. 

“Na, namamu?” tanyaku, menghentikan langkahnya sebelum perempuan itu benar-benar pergi menjauh.

“Vinna!” jawabnya, membalikkan badan dan setengah berteriak.

“Apa kita akan bertemu lagi?” Pertanyaan aneh itu keluar begitu saja dari mulutku.

Lihat selengkapnya