Dengan pelan Rinai membuka pagar dan melangkah berjingkat melintasi halaman, menuju pintu samping. Sempat dilihatnya sebuah sedan putih di halaman depan, yang artinya sedang ada tamu yang berkunjung.
Jantung Rinai berdegup, persis anak kecil yang khawatir saat pulang kerumah usai bermain seharian.
Te'hana sudah mewanti-wantinya untuk tidak pergi dalam minggu ini, dan Rinai melanggarnya. Seminggu penuh mendaki ke Raung, terlambat sehari dari tanggal yang dipesan Te'hana agar Rinai tinggal di rumah.
Seharusnya gadis itu sudah di rumah tanggal lima belas pagi. Namun insiden kecil saat turun dari puncak memperlambat seluruh tim untuk turun. Insiden yang mengakibatkan jalannya kini terpincang-pincang.
Sewaktu terperosok saat di jalur menuju puncak 17, Rinai tidak menyadari bahwa kakinya kurang sehat, namun ia mengacuhkannya. Menganggap rasa sakit itu akibat otot kakinya yang kurang pemanasan.
Saat perjalanan turun, kaki yang sama kembali membuatnya terperosok dan kali ini benar-benar terkilir. Terkilir hingga membuatnya harus dipapah selama sisa perjalanan turun. Yang akhirnya membuat semua jadwal terlambat.
Tentu saja Rinai malu kepada junior-juniornya. Rinai yang selama ini dikenal sebagai gadis tangguh dan bahkan kerap naik turun gunung dalam rangka rescue. Kali ini malah menjadi pasien dari juniornya.
Meski juniornya memaklumi, hanya Garda yang menyindir faktor U -umur- Rinai lah yang membuatnya mudah cedera.
Sindiran yang dijawab dengan sikutan di perut Garda. Toh, usia lelaki itu malah lebih tua setahun darinya dan dia baik-baik saja.
Krieeet...
Derit pintu terdengar meski Rinai sudah membukanya dengan sangat perlahan. Sudah berkali-kali ia mengingatkan dirinya sendiri untuk meminyaki engsel pintu samping agar tidak berderit. Ini hal penting yang selalu luput dari ingatannya. Sangat penting sebab pintu ini akses utama Rinai jika ingin kabur dari Te'hana tanpa ketahuan.
"Baru pulang, Nai?"
Jantung Rinai mencelos mendengar teguran Te'hana di belakangnya. Dengan sigap ia berbalik, dan mendapati tantenya berdiri dengan tangan terlipat di dada. Te'hana nampak terlihat menyeramkan dari biasanya.
Matilah!
Dengan agak terpincang setelah menaruh carrier di dekat pintu, Rinai menghampiri Te'hana dan menyium tangan tantenya memberi salam.
"Iya, Te... Maafin Inai"
"Kenapa kakimu?"
Rinai mengacuhkan pertanyaan Te'hana, sebab dibalik punggung tantenya itu Rinai mendapati tiga orang yang sedang duduk menikmati teh di meja makan. Inikah kerabat yang ditunggu itu?
"Hei, kakimu kenapa?" tanya Te'hana mendesak.
"Anu... Agak terkilir waktu turun kemarin."
Tante Hana hanya bisa menghela nafas. Perempuan itu tak pernah lama mengomeli Rinai. Sebab hari ini diomeli, besok gadis itu sudah mengulanginya lagi. Bahkan terkadang bisa lebih lama lagi ia bertualang atau mendaki.
" Kamu masih ingat Mama Yudith, Nai?"
Rinai menggeleng, tak pernah tercatat di benaknya nama itu. Setidaknya beberapa tahun belakangan ini.
Dengan masih terpincang, Rinai menghampiri mereka untuk memberi salam dan mencium tangan seorang perempuan yang Rinai tebak adalah Mama Yudith, seorang lelaki yang terlihat seperti suami Mama Yudith dan menyalami seorang lelaki lagi yang terlihat seperti putra kedua orang tersebut. Lelaki muda yang nampak lebih tua jika dibandingkan dengan Rinai tentunya.
"Ya, mungkin Rinai sudah lupa. Kan, sudah bertahun-tahun lalu,toh..." suami Mama Yudith menanggapi perkataan Tante Hana.