Saat membuka matanya kembali, Riana mendapati dirinya ternyata masih di ruangan museum, masih duduk di depan meja kerjanya. Surat itu masih tergenggam erat di tangannya, namun matanya langsung bertemu dengan tatapan dekat Andin dan Jaka yang berdiri di belakang Andin, tatapan mereka penuh keheranan.
"Riana, lo kenapa sih?kayak mimpi nonton film horor? pucat gitu," goda Andin sambil tertawa kecil.
Jaka, yang berdiri di sebelahnya, ikut menimpali dengan senyum jahil. "Sampai teriak-teriak segala. Eh, jangan-jangan kesurupan, ya?" katanya dengan nada bercanda, membuat Riana jadi semakin salah tingkah.
Sambil nenggelengkan kepala, Riana mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha menenangkan diri. "Apa? Enggak, enggak… Cuma, ya ampun, mimpi aneh aja," jawabnya, mencoba merapikan rambut dan menyembunyikan kegelisahannya.
"Kamu sakit? Atau begadang? Bisa-bisanya mimpi sampai segitu hebohnya, Ria," ujar Andin sambil merebut surat itu dari tangan Riana.
Setelah membaca sekilas Andin mengejek "Apa ini? Surat cinta jaman dulu, cie cie terbayang bayang, cinta Mardani? hihihi." Andin menaruh surat itu di meja tanpa memasukkannya lagi ke amplop.
Riana hanya menahan napas dan berusaha tertawa kecil, meski jantungnya masih berdetak kencang. "Aduh, enggak...Mungkin kebanyakan obat flu. Tau sendiri kan, efeknya buat aku bikin mimpi aneh-aneh,” ujar Riana berkilah.
Jaka tertawa sambil mengangkat alis tapi tersirat sedikit wajah kesal. "Ah, masa iya?pasti mimpi dikejar pocong Mardani, yah," ucapnya terbahak dibuat buat.