Rindu Diantara Dua Zaman

Adi Muhammad Raharja
Chapter #3

Pasar Terbesar Di Masa Itu

Sesampainya di kostan nya yang rapi, Riana segera meletakkan tasnya dan melepaskan jaketnya dengan malas.Rasa lelah bercampur dengan perasaan aneh yang terus menghantuinya sejak membaca surat tadi siang. Dia berbaring di kasur, mencoba menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi bayangan kebun teh di bawah sinar bulan.

Namun, baru beberapa menit berlalu, rasa penasaran mulai muncul kembali. Riana duduk, menghela napas panjang, lalu melangkah ke meja dan membuka tasnya. Ia menarik keluar diari tuaitu, merasakan beratnya di tangannya. Pertanyaan yang menggelayut dalam batinnya, mengapa mimpi itu terasa begitu nyata? Ia bertanya dalam hati sambil mengamati sampul usang diari itu, yang seakan menyimpan rahasia dari masa lalu.

Dengan hati-hati, ia membuka diari itu.Tulisan tangan yang rapi dalam bahasa Belanda langsung terlihat di halaman pertama. Di sudut kanan atas, tertulis tanggal:

 

11 Juli 1907

Riana menatap tulisan itu, berusaha mengingat kembali pelajaran bahasa Belanda yang pernah ia pelajari. Meski tidak lancar, beberapa kata masih bisa ia pahami. Halaman pertama kira-kira menceritakan kehidupan sehari-hari pemilik diari ini, sosok yang terasa hidup dalam kata-kata dan coretan tinta yang kini sedikit memudar.

Riana dengan cepat menyalakan laptopnya yang sejak tadi pagi hanya terdiam di atas meja. Jari-jarinya bergerak lincah membuka aplikasi translasi yang sudah terinstal, berharap bisa memahami isi diari itu lebih mendalam. Ia memulai dengan mengetikkan beberapa baris tulisan di halaman pertama, berhati-hati agar tak melewatkan satu pun kata.

Saat hasil terjemahan muncul, matanya membaca dengan saksama. Tulisan itu menggambarkan pengalaman pemilik diari bertemu dengan seorang pemuda pribumi di pasar—seorang pemuda terlihat di Batavia.

Pemilik diari bahkan menyebutkan kekagumannya pada tatapan mata pemuda itu, menyebut pertemuan tersebut sebagai sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang begitu berkesan.

Riana menelan ludah, mencoba menghubungkan titik-titik dalam pikirannya. "Ini pasti tentang Mardani," gumamnya pelan berulang-ulang. Seakan semua menjadi jelas, diari ini mungkin ditulis oleh Emilia, mengisahkan pertemuan-pertemuan rahasianya dengan pemuda pribumi yangmenarik hatinya

Riana duduk termenung, pandangannya beralih dari layar laptop ke diari tua di hadapannya.

Siapa sebenarnya Mardani dan Emilia? Apakah mereka ada dalam garis keturunannya? Atau orang lain,huh.Satu-satunya jalan mencari tahu adalah mencari tahu ke ibunya. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia meraih ponselnya dan menelepon ibunya.

“Bu, Ria mau nanya sesuatu,” ujarnya hati-hati.

“Ya, ada apa, Nak?”suara ibunya terdengar tenang namun penuh tanda tanya.

Lihat selengkapnya