Rindu Diantara Dua Zaman

Adi Muhammad Raharja
Chapter #4

Dari Matanya Aku Melihat

Emilia sebenarnya hanya berniat berjalan-jalan pagi itu. Emilia sangat menyukai pemandangan kota Batavia, kadang jajanan di jajakan di jalan menarik perhatiannya untuk dibeli.

Kecintaannya pada udara tropis yang hangat dan hiruk-pikuk orang yang berlalu-lalang terasa seperti dunia yang tiada habisnya untuk dinikmati, berbeda dari Eropa negeri ia di besarkan yang dingin dan teratur. Saat kereta kuda melaju perlahan di sepanjang jalan, matanya tertarik pada sesuatu yang berbeda.

Di depan sebuah toko obat milik orang Tionghoa, ia melihat beberapa lukisan terpajang. Salah satunya adalah lukisan seorang gunung berbatu yang menarik perhatiannya. Tekniknya sederhana, warnanya pun terlihat murahan, namun ada guratan kehangatan dan keindahan dalam lukisannya, sesuatu yang mengalir begitu alami meskipun media lukis yang digunakan jelas tidak mahal, bakat yang luar biasa. Emilia sangat tahu, ini karya seorang seniman yang berbakat tapi mungkin tidak punya banyak dana untuk bahan yang berkualitas. Ia mengenali tanda-tanda itu; ia pernah belajar melukis juga.

“Stop di sini,” katanya dalam bahasa Melayu pada kusir kereta.

Setelah turun, ia melangkah mendekati toko dan memandangi lukisan itu lebih dekat. Seorang pria Tionghoa keluar dari toko, mungkin pemiliknya, dan menyapanya.

“Hoe gaat het met u Juffrouw? Kan ik u ergens mee helpen?” (“Apa kabar Nona? Ada yang bisa saya bantu?”)

Emilia tersenyum tipis. “Saya tertarik dengan lukisan di depan toko Anda,” jawabnya dalam bahasa Melayu.

Pria Tionghoa itu sempat termenung, namun dengan cekatan ia berkata, “Tunggu sebentar, Nona. Pelukisnya biasanya ada di sini sampai lukisannya habis terjual, tapi mungkin dia sedang pergi sebentar.” Ia lalu mengeluarkan sebuah kursi dan menawarkannya pada Emilia.

Emilia duduk dan menunggu, pandangannya masih tertuju pada lukisan wanita tua yangs terlihat menderita. Setelah beberapa saat, pria Tionghoa itu kembali, kali ini bersama seorang pemuda. Emilia tercekat sejenak. Pemuda itu adalah pria yang ditemuinya di jalan tadi, pria yang sempat bertukar pandang dengannya sebelum menghilang di antara kerumunan.

Rasa malu bercampur senang menyelimutinya, namun dengan cepat ia menguasai diri dan memasang ekspresi angkuh, seolah pertemuan itu tidak berarti apa-apa baginya. Matanya beralih pada lukisan “gunung berbatu” itu

“Berapa?” tanyanya pada pemuda itu dalam bahasa Melayu, menunjuk lukisan wanita tua yang menarik perhatiannya.

Pemuda itu menggaruk kepalanya, sejenak tampak bingung. Pria Tionghoa itu menyahut.

“Lima puluh gulden.”

”Duur,” (mahal) jawab Emilia dengan nada sedikit meremehkan, walau dalam hatinya ia sudah merasa tertarik pada karya itu.

Pemilik toko, pria Tionghoa itu, cekatan segera merayu Emilia. “Ai yaah, Nona, lukisan ini sangat unik dan penuh arti. Harga ini sebanding dengan keindahan dan kisah yang ada di baliknya.”

Emilia mendengarkan sambil melirik pemuda itu dengan ujung matanya. Hatinya seakan terpecah antara ketertarikannya pada lukisan dan pesona yang tak bisa ia pungkiri kepada sosok pemuda itu juga.

“Waarom is de prijs zo hoog? Een schilderij als dit zou niet zo duur moeten zijn.”(“Apa alasan harganya semahal ini? Lukisan seperti ini tidak seharusnya dihargai begitu tinggi,” ) katanya pada pemilik toko, mencoba menawar.

Namun, kali ini, pemuda itu yang menjawab, dengan bahasa Belanda yang sedikit fasih, ”Het geld is voor de behandeling van de vrouw in dat schilderij.”(“Uang itu untuk pengobatan wanita yang ada dalam lukisan itu.”) sambil menunjuk lukisan wanita tua di sebelah lukisan yang ditaksir Emilia.

Lihat selengkapnya