Misa berlari kencang tanpa arah tujuan. Langit malam yang mendung tak berbintang seolah ikut mengerti suasana hatinya yang sedang kacau. Gadis itu menangis, air matanya mengalir deras dan langsung menyebar di pipi, tersapu angin.
Entah sudah seberapa jauh ia berlari, tapi rasa sesak di dadanya masih belum juga berkurang sedikit pun. Setiap orang disisi jalan yang dilaluinya tampak memandangnya aneh, bingung, mengapa seorang gadis muda sepertinya berlarian di tengah jalan sambil menangis seperti itu? Bahkan mungkin tak jarang orang yang akan berpikir, apakah dia sedang putus cinta? Namun Misa tak peduli. Ia benar-benar ingin pergi sejauh-jauhnya dari sini, dari mereka, bahkan dari kota ini. Ia sudah muak melihat mereka yang selalu bertengkar seperti itu, tidak menghargai perasaannya sama sekali.
Mereka, orang tua Misa, adalah hal terburuk yang pernah Misa dapatkan sejak ia terlahir menjadi seorang manusia. Ayahnya, Hans, dia adalah seorang direktur pemilik perusahaan ternama di Jakarta. Beliau sangat menyayangi Misa, dia bahkan tak segan memberikan apa saja yang Misa pinta darinya. Kedengarannya sempurna, bukan? Tapi tidak. Misa sangat membencinya, karena ayahnya itulah yang menjadi penyebab hancurnya keharmonisan keluarganya.
Bagi Misa, ayahnya itu adalah seorang lelaki bejat yang sering kali bermain wanita dan menyakiti perasaan ibunya, Kirana, sampai wanita itu benar-benar dibuat menderita bukan main. Dan sialnya, karena rasa dendam akan perlakuan Hans terhadapnya, Kirana malah membalasnya dengan cara yang lebih menjijikan lagi. Dia bermain brondong! Sama saja 'kan bejatnya seperti Hans? Bahkan tak jarang para brondongnya itu menggoda Misa saat Kirana sedang tidak melihatnya.
Hal itu benar-benar menjijikkan bagi Misa. Apa lagi kalau ia melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika ibunya bermesra-mesraan bersama brondongnya dirumah, bahkan di ruang tamu! Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya jika ada di posisi Misa saat menyaksikan itu? Sakit ... ah, tidak! Hancur, sehancur-hancurnya.
Malam ini, untuk kesekian kalinya Misa melihat kedua orang tuanya bertengkar lagi. Dan yang membuatnya tertekan, mereka bertengkar karena dirinya! Ia benar-benar dibuat frustasi, tapi tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mereka.
Sekitar satu jam lalu, Hans marah besar kepada Kirana karena dia melihat sendiri kalau Misa tengah mendapat perlakuan buruk dari salah satu brondongnya yang diajaknya ke rumah. Wajar memang dia marah seperti itu, dia hanya ingin melindungi putri kesayangannya.
Tapi yang Misa tidak suka, mengapa mereka harus memperdebatkannya dengan cara kasar? Harusnya mereka yang sudah dewasa itu tahu, kalau dengan berdebat seperti itu mereka bukannya akan meluruskan masalah, tapi malah kebalikannya, mereka hanya akan memperkeruh keadaan. Harusnya masalah ini bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Harusnya papa dan mamanya itu sama-sama mengoreksi diri. Harusnya mereka saling meminta maaf dan membuat perjanjian untuk tidak melakukannya lagi. Toh bukan hanya Kirana saja yang salah tapi Hans juga.
Sayangnya hati mereka yang sama-sama mengeras seperti batu, tidak bisa berbicara dengan kepala dingin walau hanya sedetik saja. Mereka malah bertengkar hebat di hadapan Misa tanpa memedulikan bagaimana perasaannya melihat kedua orang tuanya bertengkar hebat seperti itu. Ia takut, ia juga kesal. Dan lebih mengesalkannya lagi karena yang bisa dilakukannya saat ini hanyalah lari dari masalah.
Misa mulai memelankan pacuan kakinya, mengatur napas yang sedari tadi sudah menderu tak beraturan. Jujur, saat ini ia benar-benar merindukan masa kecilnya. Dulu orang tuanya masih rukun dan selalu mengajaknya jalan-jalan setiap akhir pekan. Bermain bersama di taman hiburan, main kejar-kejaran, dulu tidak ada yang namanya pertengkaran seperti sekarang ini. Mereka sangat rukun.