Ini membuat perasaanku bertanya-tanya lagi, tentang apa yang sebenarnya kucari disini. Aku sekarang sedang duduk di sebuah kursi dengan lamunan yang membayangi. Kupikir, kursi ini tak menghanyutkan pikiranku, aku yang terbang sendiri. Bersama awan-awan dan memberiku sedikit rasa yang menegangkan. Tapi kupikir, itu semua memanglah sama. Aku masih diam disini.
Pohon-pohon berlalu disampingku. Jendela terbasuh air hujan menutupi pandanganku pada pohon-pohon itu. Kereta terus berjalan dan aku menyandarkan kepalaku ke kaca. Rasanya sedikit dingin saat menyentuhnya, tapi kupikir itu tak mengapa. Itu seperti perasaanku sekarang yang entah mengapa menjadi biru seperti ini. Iya, melihati pepohonan dan tiang-tiang telepon berlalu disampingku, ini membuatku mengingat akan hal-hal yang seharusnya tidak perlu kuingat-ingat lagi.
Nostalgia kata orang, kadang itu membuatku malu. Pikiranku seakan-akan menertawaiku sebab hal-hal yang kulakukan dulu. Memang, jika kupikir-pikir lagi itu memang memalukan. Tapi memangnya, apa yang bisa kulakukan sekarang. Sebenarnya, aku berusaha menghilangkan itu dari kepalaku. Tapi sepertinya aku tak bisa. Kepalaku terus-terusan menertawaiku. Nyatanya, aku hanya bisa menyandarkan kepalaku di tepi kaca seperti ini. Ini membuat perasaan haruku muncul lagi dan lagi.
"Anda turun dimana?" tanya seorang perempuan paruh baya duduk didepanku.
Aku tak sadar mengusap mataku sendiri, kupikir memang keharuan ini membuatku mengantuk. "Oh, saya turun di Jombang. Masih dua jam lagi sepertinya," kataku.
"Oh Jombang...," ibu itu mengangguk-angguk didepanku. "Tapi anda tak mengapa?" tanyanya.
"Iya, saya baik-baik saja. Memang ada apa?" tanyaku.
"Tidak, tadi saya melihat anda menangis. Memang ada apa?" tanyanya.
Kupikir, aku memang menangis sekarang. Itu seperti anak bayi yang merengek karena apa yang ia mau tak diberikan ibunya. Bukankah seperti itu anak bayi, tidak digendong saja, dia menangis keras-keras menggetarkan kuping. Sebenarnya aku juga ingin begitu, aku ingin seperti bayi lagi. Dimana aku bisa merengek sepuas hati, nanti akan dituruti apa mauku. Tapi karena aku sudah besar, jadi aku tak berani merengek seperti bayi. Aku hanya bisa diam, ya terkadang itu bocor. Air mataku turun juga ke pipi. Kupikir ini memalukan, tapi apa boleh buat. Aku memang menangis juga karena ini. Sebagai laki-laki, tidak seharusnya aku dilihat orang sedang menangis begini.
"Pasti anda dalam masalah yang berat ya?" tanya ibu-ibu itu.
"Ya, tidak juga bu. Hanya merasa nostalgia saja," kataku.
"Oh, memang nostalgia masalah apa?" tanyanya.
"Banyak hal. Seperti masa-masa muda dulu," kataku.
"Oh iya. Itu memang membuat kita merasa sedih kadang. Saya juga begitu, kadang saya sedih. Kadang juga saya bahagia kalau ingat-ingat masa lalu itu," katanya.
Iya, sebenarnya akupun ingin begitu. Aku ingin sekali mengingat hal-hal bahagia yang membuat perasaanku hangat. Kupikir, masa laluku tak selalu begini. Ada banyak sekali kisah nostalgiaku yang lain, sebenarnya jauh lebih menyenangkan jika dipikir-pikir. Tapi nyatanya, aku tak tahu. Kepalaku tetap saja berdenyut begini. Ingatanku juga hanya bergumul dengan tampilan-tampilan seperti ini. Seakan-akan hanya ada kisah yang memalukan di otakku sekarang. Semua terputar dengan jelas dan aku masih bisa merasakan malunya sekarang.
Sekarang, hirup nafas dalam-dalam dan keluarkan juga pelan-pelan. Rasakan sekitarmu pelan-pelan, apa yang ada disekitarmu. Kubuka mata dan kulihati sekitarku, ternyata banyak orang disini. Didepanku, ibu tadi duduk didepanku, seorang laki-laki tua duduk disampingku dan seorang anak muda yang duduk malas tertidur diatas bangku kereta. Lampu gerbong menyala, menerangi seluruh permukaan dalam gerbong. Diluar, mendung dan gelap, hujan masih deras mengguyur. Aku berusaha sebisa mungkin menikmatinya, setidaknya aku tidak perlu larut dalam nostalgiaku yang memalukan seperti tadi. Semoga saja hujan ini bisa meluruhkan perasaanku sekarang.
Tapi ternyata memang dugaanku salah, semakin kereta berjalan dan semakin rintik hujan menemani perjalananku. Aku tiba-tiba teringat akan masa lalu yang sangat panjang dan membuatku berpikir berulang kali, tentang kenapa aku harus melewati masa lalu seperti ini. Sekarang, rasanya seperti dihukum di dalam sebuah ruangan dan dimainkan masa lalumu yang suram. Kau akan berusaha menolaknya, aku merasa diriku seperti seorang kriminal daripada orang yang harusnya hidup biasa-biasa saja. Bukannya aku tidak menerima diriku apa adanya, tapi aku berpikir kenapa aku harus memilih jalan seperti itu. Kupikir itu bukan jalan kebanyakan orang, tapi juga bukan jalan sedikit orang. Orang-orang seperti aku yang mungkin menjalaninya.
Aku pikir kita perlu terbang ke beberapa tahun yang lalu. Dimana semua terasa indah, bunga-bunga bermekaran dan nuansanya sangat mengasyikan. Seperti saat kau mendongak keatas, kau selalu melihat awan berarak putih bersih diantara langit yang biru. Bunga-bunga bermekaran dibawahnya dan itu membuatku senang. Kupu-kupu barusaja keluar dari kepompongnya, terbang melayang menghilang bersamaku kemari.
Saat itu, aku mencintai satu orang perempuan. Namanya Zahra. Nama yang cukup canggih untuk kebanyakan orang Indonesia. Dari namanya saja, aku tahu dia pasti datang dari keluarga orang berada. Setidaknya, dia punya mobil di rumahnya. Jarang sekali orang di Indonesia punya mobil, jadi keluarganya pasti orang berada. Aku memang tak salah menduga, dia memang berasal dari keluarga orang berada. Aku tahu itu karena beberapa kali saat berangkat sekolah, ia diantar orang tuanya dengan mobil Toyota Kijang berhenti di depan gerbang SMA.
Aku berjalan cukup tenang sambil menuntun sepedaku masuk kedalam sekolahan, Zahra berjalan disampingku.
"Hari yang cerah?" tanyaku basa-basi.
"Tidak juga. Lihatlah keatas, mendung sekarang," katanya sambil mendekap buku pelajaran.
"Kau sudah tahu informasi terbaru?" tanyaku.
"Apa?"