"Mas, mas?," tanya ibu-ibu itu sambil menggoyangkan dengkulku.
"Iya buk?," jawabku sambil mengusap-usap mataku.
"Kau benar-benar tidak apa-apa?," tanyanya. "Kau menangis lagi," katanya.
"Iya, aku tidak mengapa." Kali ini aku sadar, aku memang menangis dan aku tidak mengelaknya. "Iya," jawabku.
"Pasti masalahnya berat," kata ibu itu.
"Tidak juga, sepele sebenarnya. Tapi apa ya, aku menyesal tidak mengambil pilihan itu," kataku.
"Ah iya, kau benar. Kadang masalah sepele saja bisa jadi besar, karena kita menyepelekannya," katanya.
Aku hanya mengangguk-angguk saat ini. Kupikir aku perlu mencuci mukaku untuk menenangkan perasaanku. Perasaanku sekarang sangatlah kacau, ini seperti hujan yang tidak ada habisnya turun dipermukaan sawah. Tapi anehnya sawah itu juga tidak banjir. Itu seperti perasaan sedih yang tidak ada ujungnya, terus-terusan begitu dan tidak pernah ada akhirnya. Tidak ada tragedi, hanya hujan dan kesuraman.
Aku berjalan ke toilet gerbong, berjalan diantara kursi-kursi kelas ekonomi yang berhadap-hadapan, kubuka pintu bordes dan berjalan masuk ke dalam toilet. Aku basuh mukaku dan dengan tenang aku siram kepalaku juga dengan air kran gerbong ini. Air yang tenang itu membuatku nyaman dan dinginnya menembus sampai ke otakku. Kupikir, ini bisa menentramkan kepalaku untuk sementara waktu. Setelah itu, kututup kran air itu dan aku lihat wajahku sendiri di cermin toilet.
Aku tak heran jika ibu-ibu tadi menanyaiku. Kulihat dicermin, wajahku sangat merah dan menyedihkan. Ini seperti orang yang barusaja mendapatkan surat pemutusan kerja daripada orang yang sedih karena nostalgia. Mungkin ibu-ibu tadi memang menganggapku barusaja di-PHK, karena sekarang memang sedang krisis ekonomi. Perusahaan banyak yang bangkrut dan karyawan banyak yang dipulangkan.
Aku sebenarnya tidak kena PHK, aku juga tidak sedih andaikata di-PHK. Iya, aku berpikir memberikan perasaan untuk pekerjaan itu bukan hal yang wajar sebenanrya. Bukannya aku meremehkan pekerjaanku, tapi aku pikir aku punya kesedihan lain yang lebih menyedihkan daripada sekedar di-PHK perusahaanku. Entahlah, kenapa juga aku harus sebiru ini kali ini. Tidak seharusnya aku begitu, tidak seharusnya.
Aku berjalan kembali lagi ketempat dudukku. Melewati kursi-kursi dan banyak orang yang sedang tertidur, lalu duduk di tempatku tadi melihati pepohonan yang berlalu tertinggal kereta yang melaju. Sekedar senyum dengan ibu-ibu yang tadi, ternyata mereka hendak turun di stasiun sebentar lagi. Sebentar lagi Stasiun Madiun, mereka sudah mengepak barang-barangnya dan mereka hendak turun.
"Kami hendak turun mas, di Madiun sini," katanya.
"Oh baik bu, terimakasih dan hati-hati," kataku.
"Jangan sedih ya. Kau punya keluarga kan?," tanyanya.
"Iya punya bu. Ya, sebenarnya tidak sedih juga, hanya teringat masa-masa yang membuatku biru," kataku.
"Ya, nanti kalau kamu melamun lama-lama, bisa disambet setan," katanya.
"Iya, terimakasih. Nanti saya usahakan saya nggak melamun," kataku sambil tertawa.
"Kemarin ada orang melamun karena kelamaan dia nggak kembali," katanya. "Dia dibawa kabur,"
"Ibu tahu sendiri orang yang melamun itu kehilangan jiwanya?," tanyaku antusias.
"Tidak aku tidak tahu. Itu kata orang," jawabnya sambil mengemasi koper dan ranselnya. "Hati-hati ya," katanya.