Rindu, Selau Kejadian Lama

Muhammad Alfi Rahman
Chapter #4

Pindah ke Tempat Baru

Pagi hari, disaat tubuhku benar-benar masih malas dan pikiranku masih belum sempurna. Aku segera berlari pergi ke toko koran. Ternyata aku masih punya banyak tenaga untuk berlari. Tempat itu ada di tepi jalan raya, tak begitu jauh dari rumahku. Aku merasa lari kali ini sangatlah jauh dan melelahkan. Aku cukup gusar dengan hasilnya nanti. Hasil yang ada di koran nanti. Kupikir, jika namaku ada, aku mungkin senang. Tapi jika aku gagal, mungkin aku benar-benar menyesal

Ya entahlah, semoga saja hasil belajarku kali ini tak mengecewakanku. Jujur, jurusan yang kuambil memang jurusan yang dimintai banyak orang. Iya, itu jurusan Hukum. Kupikir selain aku, banyak sekali orang yang juga ingin mengambil jurusan itu. Ingin kuliah di jurusan itu dengan rasa bangga dan setidaknya tidak begitu memalukan untuk orang tua. Entahlah, sekarang aku merasa gusar sendiri. Tapi apa boleh buat, lebih baik aku tahu sekarang daripada nanti.

"Mas, beli koran," kataku.

"Untuk apa memangnya?," tanyanya.

"Lihat pengumuman."

"Oh, silahkan lihatlah saja. Kau tidak perlu beli juga kan," katanya sambil membereskan dagangannya.

"Ya tidak juga, aku ingin beli memang."

"Iya," penjaga toko koran itu berjalan ke belakang. Mengambilkanku koran baru tersenyum menerima uangku. "Kau jangan sedih, memang begitulah kehidupan," katanya.

"Memangnya kenapa?," tanyaku.

"Ya, jika tidak diterima jangan sedih," katanya. "Tapi kalau diterima, juga jangan sedih."

"Alah, ada-ada saja kamu ini," kataku.

Aku berjalan pulang setelah perbincangan tak berguna itu. Kupikir, omongan penjaga toko tadi ada benarnya. Bagaimana jika aku tidak diterima. Ah sial, kenapa juga aku harus berpikir kalau aku tidak diterima. Sambil berjalan, sambil kulihati nomor ujianku dan urutan ribuan tulisan nama beserta nomor ujiannya ini. Kelihatnnya mereka diterima semua. Kelihatannya. Ya, semoga saja namaku juga terpasang disitu.

Ketika dijalan tadi, aku tak berhasil menemukan namaku. Sampai dirumahpun juga begitu, aku tak berhasil menemukan namaku. Sepertinya, memang aku harus sadar diri kalau aku memang tidak diterima. Saat aku membuka pintu, orang tuaku tak menanyaiku. Sepertinya, ekspresiku sudah berbicara pada mereka. Aku murung dan sepertinya memang aku tidak diterima di kampus negeri. Kupikir itu adalah hal yang buruk.

Aku menutup pintu kamarku dan mencoba mencari-cari namaku lagi, kupikir aku kelewatan. Bukankah itu masuk akal jika aku kelewatan. Tapi disisi lain, aku juga harus merasa kalau aku memang tidak diterima. Ya, aku memang tidak diterima. Setidaknya, aku sudah meyakinkan diriku kalau aku memang tidak diterima. Entahlah, mungkin karena aku kurang belajar atau bagaimana. Sepertinya, aku memang tidak diterima.

"Iya, aku memang tidak diterima. Aku juga sudah menduganya," kataku lirih dikamar sendiri.

Entah mengapa, tubuhku lemas, begitupula perasaanku. Jauh dilubuk hatiku, aku kehilangan harapan. Itu seperti pesawat terbang yang kehabisan bahan bakar dan mulai turun perlahan-lahan diantara awan. Kupikir sekarang, aku benar-benar kehabisan bahan bakar dan mungkin akan kebingungan jika aku memulainya lagi terbang ke angkasa sana.

Sekarang, yang ada dipikiranku tiba-tiba Zaini dan Zahra. Sepertinya mereka diterima. Aku yakin mereka diterima. Aku tadi menemukan nama Zaini di koran, tapi tidak dengan nama Zahra. Apakah Zahra juga tidak diterima. Sepertinya iya. Nafas kuhela cukup panjang, kupikir hanya Zaini diantara kita bertiga yang benar-benar pergi kuliah di luar kota sekarang. Nasib baik bagi Zaini, setidaknya dia punya masa depan yang cerah daripada aku.

Pintu kamarku tiba-tiba terbuka, wajah ibuku muncul di sela-sela pintu. "Zahra mencarimu," katanya.

Kupikir, aku cukup malas menemui Zahra kali ini. Tapi karena aku tahu dia juga tidak diterima, kupikir ada baiknya aku menemui dia. Ya, setidaknya aku bisa sekedar berbincang dan menenangkan hati bersama dengannya. Kita sama-sama orang yang tidak diterima kuliah, jadi kita bisa bersatu. Setidaknya begitu. Aku keluar kamar dan kulihat dari jendela ruang tamu, Zahra berdiri didepan dengan wajah yang senang.

"Selamat-selamat," katanya sambil tersenyum dan menjabat tanganku.

"Ada apa?," tanyaku. "Selamat atas tidak diterimanya kita?."

"Hah?," tanyanya. "Lihatlah ini," katanya sambil membawakan koran padaku.

"Apa?," tanyaku.

"Ini, namamu ada disini," kata Zahra.

Benar juga, ternyata namaku memang ada dan ditunjuk Zahra. Melihat itu, aku senang bukan kepalang. Kupikir, pesawat yang kehabisan bahan bakar tadi tiba-tiba penuh terisi lagi dan bersiap terbang menuju impian lagi. Pikiran yang lebay sebenarnya, tapi begitulah perasaanku saat itu. Aku kembali lagi ke kamarku untuk mengambil koran yang kubeli tadi.

"Aku tadi beli ini, namaku tidak ada," kataku.

Lihat selengkapnya