Rindu, Selau Kejadian Lama

Muhammad Alfi Rahman
Chapter #5

Gerbong

Aku dan Zahra naik kereta bersama ke Surabaya. Ini hari pertama dimana kita akan pergi sebagai mahasiswa baru. Kupikir kuliah cukup berguna, meski banyak yang bilang kuliah itu tidak berguna. Aku tak tahu dunia kuliah itu seperti apa, tapi kuharap aku jadi tahu banyak hal semasa kuliah ini. Kita datang dari desa, setidaknya kita bisa menjadi orang yang berguna saat kuliah nanti. Kupikir-pikir, kenapa juga aku merasa inferior seperti sekarang. Seharusnya, kedatanganku dari desa tidak membuatku minder dan menyerah. Tapi sebaliknya, siapa tahu aku bisa mengerti apa itu kuliah dan setidaknya aku tidak merugikan orang tuaku karena membiayaiku kuliah.

Orang tuaku berada di stasiun, mereka memandangiku di luar stasiun sambil mencari-cari dimana tempatku berada. Aku tidak duduk di tepi jendela, jadi mereka tak bisa langsung melihatku. Tapi semoga saja mereka melihat Zahra, jadi mereka tahu dimana tempatku. Tapi sepertinya mereka memang tak tahu tempatku, mereka memandangi jendela lain daripada memandangi jendelaku. Aku hanya berusaha melambaikan tanganku dari dalam sini, meski sepertinya mereka tetap tidak tahu. Zahra membantuku melambaikan tangannya untuk menarik perhatian orang tuaku, sepertinya orang tuaku menangkap tangan Zahra dari pandangannya. Jadi mereka melambai-lambaikan tanganku bersama dengan adik-adikku. Sebagai anak pertama, mungkin aku dibangga-banggakan mereka. Setidaknya bisa kuliah, meskipun itu juga sebenarnya tidak bisa dibanggakan.

Kupikir, kuliah tidak memberikan uang. Malah kita yang harus membayar. Jika dipikir-pikir lagi, apa yang membanggakan dari kuliah itu. Manfaatnya sedikit, kupikir tidak bisa dibanggakan juga. Tapi begitulah orang tua, aku juga membiarkan mereka membanggakanku. Meski kadang berlebihan. Bukankah sudah kubilang tidak ada yang perlu dibanggakan dalam kuliah itu. Kupikir-pikir lagi tidak ada. Mungkin sama saja statusnya dengan orang-orang lain yang tidak kuliah. Bedanya, aku hanya duduk di bangku dan mendengar ceramah dosen. Kalau mereka, mereka bekerja. Jika dipikir-pikir lagi, sangat tidak tepat menganggap kuliah itu meningkatkan status sosial. Pikir-pikirlah lagi jika kau tidak sependapat denganku.

"Kau diantar orang tua kesini tadi?," tanya Zahra.

"Iya. Memang kau tidak diantar?," tanyaku.

"Tidak, mereka sepertinya sibuk. Jadi mereka hanya mengantarku dari rumah."

"Apa kata mereka?," tanyaku.

"Diam saja. Bapakku diam saja dan ibuku diam saja. Kau tahu, mereka sebenarnya ingin mengucapkan sesuatu tapi mereka memilih diam."

"Iya, benar, terkadang orang tuaku juga begitu."

"Yah, tapi menurutku itu malah lebih terasa. Seolah-olah mereka tak ingin berharap banyak pada anaknya. Tapi aku tahu, mereka memang berharap padaku," kata Zahra.

Kereta berjalan, Zahra duduk disampingku dengan wajah yang gembira. Aku bisa merasakan itu saat memandangi wajahnya yang diam. Ia memejamkan mata, tapi aku bisa merasakan kegembiraan itu muncul dari hatinya. Senyum simpul masih terpasang di mulutnya, ia memang benar-benar bahagia. Aku juga. Mungkin dia bahagia karena diterima UMPTN, kalau aku, aku tidak begitu. Jujur, aku biasa-biasa saja ketika diterima UMPTN. Tapi karena aku tahu Zahra juga diterima, itu membuatku bahagia juga.

Tak banyak yang kita bicarakan saat kita naik kereta. Kupikir, dia masih membayangkan bagaimana kehidupan mahasiswa itu. Aku ingat saat kami SMA, ada beberapa orang mahasiswa yang datang ke sekolahan kami. Mereka memerkenalkan dunia kuliah itu seperti apa, setidaknya mereka memberitahu kalau kuliah itu menyenangkan. Jauh lebih menyenangkan daripada SMA. Apalagi jika kuliah di luar kota, setidaknya itu bisa memberikanmu sedikit kebebasan pada hidupmu.

Ya, aku tidak bisa bilang banyak juga. Karena kau sendiri juga tidak tahu bagaimana dan apa yang terjadi saat kau kuliah disana. Kupikir, perkuliahan itu menyenangkan. Tapi jika kau pikir-pikir lagi, perkuliahan itu mungkin sedikit membuatmu stres. Seharusnya tidak perlu menganggapnya stres, tapi nyatanya cukup banyak yang stres juga. Aku tidak tahu kenapa mereka bisa stress, tapi sepertinya karena memang kuliah tidak sesuai dengan ekspektasinya.

Aku bukan orang yang punya ekspektasi tinggi. Entah mengapa aku berpikiran seperti itu, tapi kupikir itu sangat membantu hidupku. Setidaknya, aku bisa merasakan apa yang sebenarnya sedang kuhadapi. Kupikir, itu lebih baik daripada aku sudah memikirkan tentang apa yang akan kudapatkan nanti. Bukankah itu menyulitkan hidupmu jika dipikir-pikir. Bagaimana dengan kata pepatah hidup ini sederhana, kupikir ada benarnya. Karena memang kita hanya berekspektasi sederhana.

Jadi saat kuliah nanti, aku tak punya bayangan apapun tentang kuliah itu. Setidaknya, aku mempelajarinya sedikit-sedikit. Kupikir, belajar keras itu hanya akan membuatmu frustasi. Karena pada nyatanya, akan selalu ada orang yang lebih baik daripada dirimu. Pikir-pikirlah lagi sebentar saja, bukankah seperti itu. Kita tidak akan pernah sampai di puncak kesempurnaan. Ketika kita mendaki puncak kesempurnaan, selalu saja ada puncak-puncak lain yang harus didaki lagi. Itu melelahkan. Kupikir, itu juga membuat kita frustasi.

Tapi saat aku melihat Zahra, kupikir aku sedang melihat mata yang sedang frustasi. Matanya kosong, tapi juga sedih. Tangannya tak banyak bergerak, begitupula fokusnya. Dia sesekali memegangi hidungnya yang gatal lalu diam lagi. Ia melamun lagi, diatas kereta ia melihat luar kaca dengan senyum mengalir di wajahnya. Seperti sedang menikmati pemandangan yang berarak-arak jauhnya. Tapi saat kulihat-lihat lagi wajahnya, sepertinya dia memang tidak sedang menikmati pemandangannya.

"Bagaimana kabar Zaini?," tanyaku.

"Dia berangkat kemarin," katanya. "Dari sini ke Jakarta, setidaknya butuh waktu dua belas jam naik kereta,"

"Iya, kau benar. Itu cukup jauh, juga melelahkan," kataku.

"Iya, itu memang melelahkan," katanya.

Yang kami lakukan setelah itu, tidak banyak. Kupikir, aku sendiri juga tidak ingin begitu menanggapi Zahra. Setelah kita turun dari kereta, dia langsung pergi ke kosan barunya. Aku juga begitu, aku pergi ke kosan baru. Kupikir mulai sekarang, kehidupan mahasiswa benar-benar dimulai. Setidaknya begitu, kehidupan yang katanya bisa merubah bangsa dan negara ini kini dimulai. Setidaknya sejak aku menapakkan kakiku menuruni kereta seperti tadi.

Aku mendeklarasikan pembukaan kehidupan kuliahku saat aku membuka pintu kosanku. Sebuah kamar yang pengap dan tak begitu besar, akan menjadi tempatku tidur selama empat tahun kedepan. Sebuah dipan dengan kasur tipis, meja belajar yang berdecit dan sebuah almari baju, mereka akan jadi temanku. Semoga saja aku bisa menuntaskannya selama empat tahun tepat. Tidak kurang dan tidak lebih. Jika lebih, yah, anggap saja itu bonus. Jika kurang, yah, anggap saja memang beruntung. Mungkin aku memang perlu untuk memahami betul-betul ilmu yang kudapatkan selama kuliah.

Kosan ini masuk-masuk gang. Tempatnya sangat terpencil dan motor masuk saja tak bisa bersimpangan. Kupikir di gang ini, mobil tak bisa masuk. Sepertinya begitu. Kosan ini adalah kosan laki-laki, hanya ada empat kamar di kosan ini. Mereka semua sudah ada di tempat ini sejak lama. Mereka mahasiswa-mahasiswa tua yang nyentrik-nyentrik. Setidaknya, aku bisa melihat penampilannya yang nyentrik.

Saat aku keluar dari kamarku, aku disambut seorang penghuni kosan lain. Aku tak tahu namanya tapi jika dilihat dari tampilannya dia dari timur. Aku bisa melihatnya dari rahangnya yang mengotak, tipikal wajah-wajah orang timur Indonesia. Jika kau perhatikan lagi, wajahnya mirip dengan Glenn Fredly, mirip-mirip seperti itu. Kusodorkan tanganku sambil tersenyum untuk berkenalan dengannya, saat ia memerkenalkan diri, ternyata memang benar dia orang timur.

"Aku dari flores. Aku kuliah ekonomi," katanya.

"Bagaimana kuliah itu?," tanyaku.

Lihat selengkapnya