Yang ada dipikiranku ketika menjadi mahasiswa adalah menjadi seseorang pahlawan. Aku merasa menjadi mahasiswa adalah pahlawan, setidaknya bagi ketidakadilan. Dari berbagai macam ketidakadilan, hanya teman-teman mahasiswa yang bersuara lantang berteriak-teriak di kanan dan kiri telinganya sendiri-sendiri. Kita berharap setidaknya suara kita didengar pemerintah. Tapi sepertinya, suara kita tidak pernah didengar.
Tapi sepertinya, menjadi mahasiswa itu hanya status sosial. Jika kau kuliah di kampus terbaik, mungkin kau akan dianggap pintar. Atau mungkin kau kuliah di kampus biasa-biasa saja, kau akan dianggap tidak begitu pintar. Kupikir, menjadi mahasiswa itu tidak segemilang dan semewah itu. Tidak ada mahasiswa yang menjadi pahlawan. Kupikir, jika ada mahasiswa zaman sekarang yang menjadi pahlawan, itu hanya mahasiswa yang sibuk mencari perhatian.
Jangan salahkan aku ketika aku berpikir begitu. Bukankah ini hal yang benar jika dipikir-pikir. Tapi setelah melihat banyak sekali tragedi yang menimpa mahasiswa. Mungkin mereka benar, mereka benar-benar pahlawan. Setidaknya mereka rela berkorban, mereka rela dihabisi dan menghilang. Siapa lagi pelakunya kalau bukan pemerintah. Aku tidak tahu siapa itu pemerintah, kenapa juga mereka bisa dibenci mahasiswa.
Pemerintah itu berasal dari kata perintah, mereka tidak bosan-bosannya memerintah. Mereka itu punya kebiasaan buruk, mereka hanya suka memerintah tanpa tahu apa yang terjadi. Orang bilang, pemerintah itu tukang perintah. Mereka seperti punya dendam dengan warganya sendiri, aku tak tahu mengapa itu terjadi. Jadi, mereka hanya bisa memerintah. Tidak bisa sebentar saja polanya diganti, menjadi mereka yang diperintah oleh warganya.
Sudahlah, berpikir macam-macam tentang negara ini hanya membuatmu pesimis. Setidaknya, pikiran ini datang karena aku dihadapkan pada poster-poster perjuangan yang menempel di tembok-tembok kampus. Saat aku berjalan pergi ke auditorium untuk mendengarkan sambutan dari rektor, aku melihat banyak sekali poster yang dipasang di tembok-tembok kampus. Sepertinya itu dipasang tadi malam, terlihat masih bersih dan baru.
Itu adalah poster-poster tentang bagaimana rakusnya pemerintah. Sudah rakus, lambat pula gerakannya. Seperti tidak ada gebrakan besar yang bisa merubah lagu pemerintahan. Entah tidak ada atau gebrakan itu tak kuat menabrak kokohnya tembok birokrasi yang ada di Indonesia. Lihatlah lagi, poster itu memuat foto-foto mahasiswa yang hilang di tahun-tahun lalu. Itu poster mahasiswa yang hilang dizaman Presiden Soeharto, ada juga poster mahasiswa yang hilang dizaman Presiden Soekarno.
Banyak orang yang merelakan dirinya seperti itu, jejak mereka hilang tanpa ada siaran kematian dari masjid. Mereka hilang tanpa jejak dan tidak ada orang yang mengingatnya. Sekarang coba bayangkan dirimu, setiap keluar rumah dua sampai empat orang memandangi langkahmu pergi. Mereka selalu ada dibelakangmu, kemanapun engkau pergi. Kau tak pernah kenal mereka, mereka juga tak pernah memberitahu siapa dan apa maksud mereka datang padamu.
Mereka memang orang-orang yang pendiam. Mereka tak akan bicara sepatah katapun padamu. Mereka mengawasimu siang dan malam, kemanapun engkau pergi. Semua orang tahu jika orang-orang bersepatu boots itu datang mengawasimu. Mungkin namamu juga sudah dicatat dalam buku catatan Malaikat Pencabut Nyawa. Hingga ketika kau mulai akrab dengan orang-orang yang mengawasimu itu, mereka hanya bilang padamu satu kata, "Mati kamu!."
Sepertinya, aku benar-benar mengerti kenapa mahasiswa merasa diri mereka sebagai pahlawan. Karena mereka mengidolakan tokoh-tokoh seperti itu. Kupikir aku juga mengidolakannya, tapi aku tidak ingin menjadi pahlawan. Aku sangat hormat dengan orang-orang seperti itu. Niat mereka tulus, mereka tidak ingin cari jabatan. Mau cari jabatan bagaimana, orang mereka sudah hilang tak tersisa kabarnya sampai sekarang.
Seingatku, mahasiswa seperti itu memang disebut sebagai mahasiswa aktivis. Ada dua jenis kalau tidak salah. Ada aktivis populis dan aktivis akar rumput. Aktivis populis itu seperti artis, mereka hidup diantara drama yang membuatku malas mendengarnya. Kau tahu, mereka memang seperti punya sindrom dalam kejiwaan mereka. Semakin mereka dikenal, semakin mereka bahagia. Dengan cara apapun, entah dengan sensasi ataupun dengan kontroversi.
Kau mungkin sering mendengar mahasiswa tiba-tiba meneriakkan kesetaraan gender di siang bolong tanpa ada hujan dan angin menggunakan pakaian seksi ditengah jalan. Aku tak ada masalah sama sekali dengan mereka, tapi yang jadi masalah adalah cara-cara mereka. Kupikir, ada cara lain saat membicarakan kesetaraan gender dengan langkah arif. Bukan dengan sensasi yang kadang membuatku malu sendiri melihat apa yang sebenarnya terjadi akhir-akhir ini.
Itu seperti infotaiment. Berita politik zaman sekarang itu tak ada bedanya dari infotaiment. Skandal sini, skandal sana. Kontroversi dan sensasi, yang omong kosong tak ada logikanya. Malah urusan kebijakan dan transparansi dana tidak tersentuh berita sama sekali. Aku lama-lama malas mendengarnya. Tapi entah mengapa, telinga orang masih betah saja mendengarnya. Saat jadi mahasiswa saja sudah sering buat sensasi, bagaimana jika sudah tua.
Kupikir, mereka akan tua jadi politisi dan pejabat. Mungkin suatu hari, mereka akan ditayangkan di televisi. Dengan tangan terborgol dengan berita kasus korupsi, aku tidak kaget jika mereka akan korupsi nanti. Sejak mahasiswa saja sudah begini, apalagi nanti jika jadi pejabat. Inilah yang benar-benar membuatku malas berlagak menjadi pahlawan saat menjadi mahasiswa.
Aku ingat, kawanku pernah bilang kalau hal itu memang dibuat untuk mendobrak budaya. Budaya kita bukan lagi budaya feodalisme dan patriarki. Sekarang semuanya berubah, serba cepat dan serba tepat. Kupikir, sungguh tega pemuda zaman sekarang. Apa salahnya budaya kita yang bisa membuat manusia bertahan beribu-ribu tahun, malah didobrak seperti ini. Kupikir juga, adalah hal yang salah jika mendobrak budaya. Karena sebenarnya yang didobrak itu bukan budaya, tapi masyarakatnya. Apa iya masyarakat kita mau disalahkan dan normanya dilanggar. Ya, kupikir itu tidak arif dan tidak bijak.
Jika kau tidak sependapat denganku, tidak masalah. Aku dengan senang hati menerimanya. Aku hanya menyayangkan saja kenapa mahasiswa selalu identik dengan hal-hal semacam itu. Mahasiswa itu tidak sebaik dan semulia itu. Aku tahu itu dan meskipun aku belum jadi mahasiswa, tapi aku mengerti itu. Kita muda, kita tak tahu apa-apa dan kita harus banyak-banyak belajar dari apa yang dimulai oleh pendahulu kita.