Malam hari setelah hari ospek pertama, aku bertemu lagi dengan Zahra. Tadi saat di kampus, dia mengajakku pergi ke pasar untuk malam ini. Sekedar menikmati lampu yang terang dan makan malam di tepi jalan, itu biasa kita lakukan saat SMA dulu. Aku menunggunya di depan gerbang kosnya, sekedar berdiri dan melihati sekitaran kos yang berlalu lalang motor-motor di gang-gang sempit Kota Surabaya.
Hari sudah malam disini, tapi jika kau lihat langit diatas sana, entah mengapa masih sangat terang. Langit seperti menyala redup dan menyambutku untuk sekedar menikmati malam di Kota Surabaya ini. Aku tak begitu tahu apa sebenarnya hiburan malam di kota ini, sepertinya hiburan yang biasa-biasa saja. Sama seperti di kampung halamanku, dimana malam hanya ada pasar malam dan itu tidak setiap malam ada.
"Kemana kita sekarang?," tanya Zahra.
"Entahlah, aku tak tahu," kataku. "Bukankah kita akan ke pasar?."
"Aku tak tahu. Tapi disana banyak copet katanya."
"Lalu kemana?," tanyaku.
"Kita cari makan malam saja," jawabnya.
Aku mengangguk dan mengikuti dia yang berjalan duluan didepanku menyusuri gang-gang sempit penuh tembok dan rumah di kiri kanannya sampai ke jalan raya. Dimana ketika kau sampai di jalan raya, tepi jalan penuh dengan tenda-tenda penjual yang menutupi trotoar. Kau tahu, disini trotoar itu seperti mitos. Mereka hanya ada siang hari. Kalau malam, mereka hilang ditelan tenda-tenda pedagang ini.
Kendaraan cukup cepat berjalan di sekitar sini. Entah itu motor, mobil, ataupun truk, suaranya memecah keheningan dengan deruman mesin dan suara klaksonnya. Kadang asap-asap kendaraan sedikit menghenyak di hidungku. Aromanya pengar dan itu membuat hidungku gatal. Tapi disaat itu juga, asap penjual sate dan asap nasi goreng berhamburan aromanya memenuhi sudut-sudut jalan.
"Makan apa?," tanya Zahra.
"Terserah," kataku.
"Kau lucu ya. Kadang yang bilang terserah itu perempuan. Tapi sekarang malah dirimu yang bilang terserah," kata Zahra sambil memukul pundakku.
"Kenapa memangnya?," tanyaku santai sambil berjalan disamping Zahra.
"Ya tidak. Tidak mengapa."
"Aku tidak berpikir kalau terserah itu ternyata sepanjang itu maknanya," kataku.
"Iya, lebih baik kita makan pecel saja malam ini."
Zahra tak lagi menanyaiku, ia langsung pergi ke lapak penjual pecel dan memesannya langsung pada penjualnya. Ya itu cukup baik daripada ia menyanyaiku lagi dan aku bilang terserah lagi padanya. Setelah memesan, kita duduk diatas tikar yang sebenarnya ini adalah trotoar. Iya, trotoarnya tertutup oleh tikar-tikar para pedagang ini. Tapi itu sepertinya tidak jadi masalah yang besar, karena nyatanya tak ada pejalan kaki yang lewat diatas trotoar malam ini.
"Bagaimana ospek?," tanyaku pada Zahra.
"Entahlah, aku malas membicarakan itu," jawabnya.
"Mengapa memangnya?," tanyaku.
"Ya, aku malas saja."
Mungkin memang seperti itulah Zahra, ia diam dan melamun lagi untuk saat ini. Dia memang tak banyak bicara, tapi itu cukup membuatku aneh melihatnya. Aku senang saat ia bercerita, entah mengapa aku merasa kecil dan ringan saat itu juga. Itu membuatku terbang dan merasa tenang seperti tertiup angin pergi keatas awan. Tapi saat ia tak bercerita, mungkin aku sedikit kecewa. Entah mengapa, sudahlah.
"Bagaimana Zaini sekarang?," tanyanya padaku.
"Kenapa kau tanya aku," jawabku.
"Ya siapa tahu kau tahu," katanya.
"Aku tidak tahu, memang aku siapanya. Kau kan pacarnya, seharusnya kau tahu,"
"Seharusnya," jawab Zahra sedikit sedih.
Makanan datang, pelayan tadi memberikanku dua teh hangat dan dua piring nasi pecel. Wajah Zahra tiba-tiba sumringah saat makanan datang, ia tersenyum dengan penjual tadi yang sekarang berjalan kembali ke lapaknya. Tapi setelah itu dia kecewa lagi, kupikir dia memang benar-benar ada masalah sekarang. Tapi nanti dululah aku menanyainya. Aku sekarang lapar dan ingin makan pecel ini.
Ini adalah makanan yang memang benar-benar sempurna menurutku. Aku tak melebihkannya, tapi ini memanglah enak. Hanya nasi, dengan lalapan diatasnya dan guyuran saus kacang bernama pecel itu membuat semuanya terasa nikmat. Saat kumasukkan satu sendok ke mulutku, aku tak bisa mengelaknya lagi, ini memang benar-benar nikmat. Itu sangat terasa pada gigitan pertamanya.
"Enak?," tanya Zahra.